Mungkin banyak orang yang sebelumnya tidak pernah membayangkan dan tidak akan pernah menyangka kalau bangsa sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk sekitar 280 juta jiwa, bakal bernasib memiliki seorang Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi yang telah dilantik 20 Oktober 2024 lalu. Wakil Presiden yang lahir dari mengangkangi konstitusi negara yang juga turut dibantu melalui cawe-cawe yang dilakukan ayahnya yang juga kepala negara, dan pamannya, salah satu hakim Mahkamah Konstitusi.
Para analis politik juga menilai bahwa kemunculan Gibran sebagai Wakil Presiden tak lebih dari ambisi Jokowi untuk mempertahankan kekuasaannya melalui bangunan dinasti politik yang coba ia bangun bersama kroni-kroninya setelah hasrat untuk bisa memperpanjang kekuasaannya menjadi 3 periode gagal terwujud. Seperangkat aturan kemudian dibongkar pasang demi si buah hati bisa berlaga di kontestasi pemilu.
Keraguan banyak orang terhadap Gibran ini juga nampaknya semakin sahih dengan munculnya fenomena “fufufafa”, akun anonim di laman Kaskus yang bermuatan seksis, amoral, dan narsistik yang diduga milik Gibran. Hal ini semakin menunjukkan betapa rendah dan busuknya kualitas pemimpin yang sudah terlanjur terpilih ini, yang bukan hanya cacat secara etika hukum dan politik, tapi juga cacat secara psikologis. Bagaimana mungkin orang dengan kepribadian disfungsional semacam itu bisa terpilih menjadi Wakil Presiden?
Warisan Depolitisasi
Terlepas begitu, perdebatan tentang legitimasi dan implikasi dari terpilihnya Gibran, menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam dan kompleks tentang warisan depolitisasi yang telah lama mengakar dalam masyarakat Indonesia. Fenomena keterpilihan Gibran bukanlah sebuah anomali yang muncul tiba-tiba, melainkan buah dari proses panjang pelemahan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Selama lebih dari tiga dekade, rezim otoriter Soeharto secara sistematis melakukan upaya depolitisasi. Konsep Floating Mass atau massa mengambang merupakan bagian dari strategi depolitisasi yang bukan sekadar jargon politik belaka, melainkan sebuah pendekatan komprehensif yang secara efektif memutus hubungan antara rakyat dan proses politik, terutama di tingkat akar rumput.
Massa mengambang merupakan kebijakan yang mengakar pada masa Orde Baru yang memandang bahwa keterlibatan aktif masyarakat dalam politik dianggap dapat memicu instabilitas dan konflik sosial. Soeharto beranggapan bahwa keterlibatan politik rakyat secara massal harus dikendalikan untuk mencegah kembalinya perpecahan politik seperti yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno. Dengan kebijakan massa mengambang masyarakat diasingkan dari aktivitas politik dan diarahkan hanya untuk fokus pada pembangunan ekonomi dan sosial semata.
Aspinall (2005) dalam Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia, menggambarkan bagaimana depolitisasi menjadi salah satu pilar utama dalam mempertahankan kekuasaan rezim Orde Baru. Proses ini tidak terbatas pada struktur formal pemerintahan, tetapi meresap jauh ke dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat. Sistem pendidikan, misalnya, dirancang ulang untuk menekankan nilai-nilai “stabilitas” dan “pembangunan” sambil secara sistematis meminimalkan atau bahkan menihilkan pengembangan pemikiran kritis terhadap isu-isu politik. Parker dan Raihani (2011), misalnya, menunjukkan bagaimana kurikulum sekolah selama era Orde Baru lebih berfokus pada indoktrinasi ideologi negara daripada mendorong analisis kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Media massa, yang seharusnya menjadi salah satu pilar utama demokrasi, juga turut menjadi sasaran dari cengkeraman depolitisasi. Pers masa itu mengalami pengendalian yang sangat ketat. Sensor dan pembredelan menjadi ancaman nyata bagi media yang berani mengambil sikap kritis terhadap pemerintah. Akibatnya, alih-alih menjadi watchdog demokrasi, media lebih sering berperan sebagai corong propaganda rezim dan semakin menjauhkan masyarakat dari diskursus politik yang substantif.
Ruang-ruang publik pun tidak luput dari jangkauan upaya depolitisasi. Pengawasan intensif terhadap aktivitas warga, termasuk penempatan aparat intelijen untuk mengidentifikasi dan melaporkan kegiatan yang dianggap subversif, menciptakan atmosfer ketakutan yang melumpuhkan. Diskusi politik kerap terjadi di warung-warung kopi, di sudut-sudut kampung, yang dulunya menjadi bagian integral dari dinamika sosial masyarakat Indonesia, perlahan-lahan menjadi aktivitas yang dianggap berisiko. Fenomena ini membentuk apa yang disebut sebagai “budaya diam”, di mana masyarakat lebih memilih untuk tidak membicarakan isu-isu politik demi menghindari konflik terbuka atau demi keamanan pribadi.
Akibatnya, akumulasi dari berbagai kebijakan dan praktik ini menghasilkan generasi Indonesia yang tumbuh dengan pemahaman bahwa politik adalah sesuatu yang “berbahaya” atau “kotor”. Narasi bahwa politik sebagai sesuatu yang “berbahaya” atau “kotor” ini secara sistematis juga ditanamkan sebagai bagian integral dari strategi depolitisasi rezim. Politik tidak lagi dipandang sebagai sarana partisipasi dalam menentukan arah bangsa, melainkan sebagai arena yang penuh risiko yang sebaiknya dihindari oleh warga biasa dan diserahkan kepada para “ahli” atau elit politik.
Trauma Kolektif dan Apatisme
Dampak dari depolitisasi ini jauh lebih dalam dan bertahan lebih lama dan persisten dari yang mungkin dibayangkan oleh para arsitek Orde Baru. Bahkan setelah era Reformasi, banyak orang Indonesia yang masih merasa tidak nyaman mendiskusikan politik di luar lingkaran terdekat mereka. Kecenderungan untuk menghindari keterlibatan dalam diskusi, debat, atau aktivitas politik ini yang kemudian disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “habitus apolitis”.
Fenomena tabu politik ini bukan sekadar manifestasi keengganan biasa, melainkan refleksi dari trauma kolektif yang telah diwariskan antar generasi. Generasi yang tumbuh di era Orde Baru telah menginternalisasi ketakutan terhadap politik sedemikian rupa, sehingga–bahkan–ketika kebebasan formal telah diberikan, mereka tetap enggan untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses politik. Lebih jauh lagi, kecenderung menghindari politik ini dianggap sebagai sebuah norma, sehingga menciptakan siklus yang terus-menerus mereproduksi apatisme politik.
Sementara di sisi lain, elit politik memanfaatkan apatisme publik ini untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini termanifestasi, misalnya, dalam praktik “politik gentong babi” atau pork barrel politics yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dengan menggelontorkan bansos secara masif menjelang Pemilu 2024. Themis Indonesia, dalam laporan penelitiannya menyebutkan bahwa angka penerimaan bansos menjelang pemilu 2024 naik secara signifikan. Lebih lanjut disebutkan bahwa anggaran yang digelontorkan untuk pemberian bansos—hanya—pada Januari 2024 atau satu bulan menjelang Pemilu, mencapai 78,06 Triliun. Angka ini setara dengan alokasi bansos yang dikeluarkan sepanjang tahun 2023.
Paradoks Demokrasi
Tingginya tingkat apatisme politik di kalangan masyarakat Indonesia tercermin dalam rendahnya partisipasi politik substansial di luar pemilihan umum. Meskipun angka partisipasi dalam pemilu cenderung tinggi, tapi kualitas partisipasi ini patut dipertanyakan. Banyak pemilih cenderung membuat keputusan berdasarkan faktor-faktor non-programatik seperti karisma pemimpin, loyalitas primordial atau politik uang, alih-alih berdasarkan analisis kritis terhadap platform dan kebijakan yang ditawarkan.
Hal ini yang kemudian menciptakan situasi di mana Indonesia memiliki semua perangkat keras demokrasi—pemilu reguler, kebebasan pers, multipartai—namun kekurangan perangkat lunak yang diperlukan: warga yang kritis dan terlibat aktif dalam proses politik. Fenomena ini kemudian –dalam konteks politik Indonesia– membuka peluang bagi pembentukan dan pelanggengan dinasti politik, sehingga bocah yang mengidap disfungsi kepribadian seperti Gibran bisa dengan mudah—dan tentu melalui bantuan cawe-cawe Jokowi—memenangkan kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.
Implikasi Sosial: Melampaui Politik Formal
Lebih jauh lagi, depolitisasi telah melampaui arena politik formal. Secara sosiologis kita bisa melihat bagaimana hal ini telah membentuk struktur sosial masyarakat Indonesia, terutama di akar rumput, secara keseluruhan. Nilai-nilai harmoni sosial yang ditekankan oleh rezim Orde Baru sering kali digunakan untuk menekan perbedaan pendapat, tidak hanya dalam politik tetapi juga dalam kehidupan sosial secara umum.
Tidak sampai di situ, depolitisasi juga berkontribusi pada pelanggengan kemiskinan struktural di Indonesia. Hadiz (2004) dalam analisisnya tentang desentralisasi dan demokrasi di Indonesia, menunjukkan bagaimana keterbatasan partisipasi politik aktif masyarakat telah menghalangi upaya-upaya untuk mengubah struktur ekonomi yang tidak adil. Tanpa tekanan politik yang signifikan dari bawah, elit ekonomi dan politik dapat dengan mudah mempertahankan status quo yang menguntungkan mereka, sementara sebagian besar masyarakat tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Dalam studi terbarunya, bertajuk “Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin”, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), misalnya, menemukan bahwa ketimpangan di Indonesia telah berada di titik di mana kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia. Laporan yang baru dirilis beberapa waktu lalu ini menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 6 tahun ke depan, Indonesia akan memiliki kuadriliuner pertama dalam sejarah. Sementara, pada saat yang sama, butuh waktu 133 tahun untuk menghilangkan kemiskinan di Indonesia.
Apatisme politik semacam ini pada akhirnya memberi ruang bagi elit dan korporasi untuk memanfaatkan situasi ini demi memperkaya diri. Tanpa pengawasan dan tekanan publik yang memadai, kebijakan-kebijakan yang menguntungkan segelintir orang dapat dengan mudah diloloskan. Misalnya, regulasi perpajakan yang lebih menguntungkan korporasi besar, alokasi konsesi lahan yang tidak transparan, atau privatisasi sumber daya alam yang merugikan kepentingan publik, dlsb.
Ketiadaan partisipasi politik yang kritis dari masyarakat juga membuat proses pengambilan keputusan ekonomi menjadi domain eksklusif para elit. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil cenderung bias terhadap kepentingan kelompok atas, sementara aspirasi dan kebutuhan masyarakat luas terabaikan. Fenomena ini menciptakan lingkaran setan di mana ketimpangan ekonomi semakin memperkuat apatisme politik, dan apatisme politik pada gilirannya melanggengkan ketimpangan ekonomi.
Gibran: Manifestasi Depolitisasi
Dalam konteks inilah penting pula untuk dipahami bahwa fenomena keterpilihan Gibran sebagai Wakil Presiden bukan sekadar cerita tentang ambisi politik Jokowi semata, melainkan manifestasi dari warisan panjang depolitisasi yang telah lama mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Apatisme dan personalisasi politik yang kuat berkonsekuensi langsung dalam mengikis pemahaman publik tentang pentingnya institusi yang demokratis. Alih-alih berfokus pada penguatan sistem dan institusi, perhatian publik lebih sering tertuju pada figur-figur dan citra politik. Akibatnya, berbagai pelanggaran terhadap aturan hukum dan manipulasi terhadap aturan main demokrasi menjadi jauh lebih mudah dilakukan dan dapat dengan mudah untuk dinormalisasi.
Proses ini yang pada akhirnya membuka jalan bagi Gibran, dengan segala kontroversinya, dapat duduk menjadi orang nomor dua di republik dengan 280 juta penduduk. (*)