“Apakah kita semua orang asing?”
Pertanyaan itu mungkin harus didahului dengan pertanyaan “mengapa intelektual Barat selalu menjadi patron dalam produksi pengetahuan Asia?” Sebab, untuk mengidentifikasi keterasingan membutuhkan penjelasan yang mendasar. Kebergantungan menjadi poin penting atas hubungan Asia dan patron tokoh dari berbagai disiplin ilmu tempat intelektual Barat selalu menjadi patron; seolah Asia sebagai masyarakat bermental inferior perlu “menjadi mereka” untuk dapat mengkaji bidangnya.
Secara historis memang kolonialisme melakukan aktivitas produksi pengetahuan soal Asia melalui institusi aparatus kuasa kolonial. Pada mulanya, aktivitas ini dilakukan dengan kesadaran pencerahan bahwa masyarakat terjajah perlu diperadabkan melalui pengetahuan modern. Kolonialisme dalam hal ini secara tidak langsung membuat Asia sebagai terjajah, tercabut dari akarnya.
Ketika Perang Dunia II berakhir, wacana Perang Dingin menjadi momok baru atas tatanan lama kolonialisme. Konflik Amerika Serikat dan Uni Soviet di Asia tak hanya sebatas dinamika geopolitik, tetapi berpengaruh sampai tahapan produksi pengetahuan. Setelah Amerika Serikat kalah diganyang Vietnam, ujung tombak Amerika Serikat untuk melakukan hegemoninya adalah akademisi. Jika Amerika tidak dapat mengalahkan Vietnam secara fisik, maka penaklukan epistemik menjadi jalan baru untuk ditempuh.
UU Pendidikan Bela Negara (NDEA) Amerika yang berupaya untuk mengkaji, mempelajari, dan meriset Asia Tenggara tak lain adalah cara menjajah baru melalui kerja akademik. Aktivitas mempelajari dan mengkaji subjek Asia Tenggara ini serupa dengan politik pengetahuan kolonial Eropa. Dalam proyek dominasi ini mereka tak hanya menyasar Vietnam, tapi juga Filipina hingga Indonesia.
Baca juga:
Dalam kasus Indonesia, Harry J. Benda dan Clifford Geertz menjadi patron intelektual setelah beberapa publikasinya terbit. Patronasi intelektual ini rupanya tidak berhenti begitu saja selepas terbit. Hingga kini, Geertz masih dianggap acuan otoritatif dalam menjelaskan fenomena sosial di Indonesia. Bahkan, universitas sebagai lumbung intelektual menginternalisasi mode produksi pengetahuan ini sebagai pakem tunggal yang tidak dapat diganggu gugat.
Keterasingan Asia dan Siklus Kolonialitas
Dalam bukunya yang berjudul Asia Sebagai Metode, Chen menjelaskan bagaimana realita sosio-kultur masyarakat Asia berjarak dengan dirinya sebagai Asia. Chen berargumen bahwa upaya dekolonisasi dan deimperialisasi yang berkembang setelah Perang Dunia Kedua telah mengalami gangguan dari formasi struktur Perang Dingin. Gampangnya, belum selesai dengan urusan deimperialisasi dan dekolonialisasi, struktur Perang Dingin justru hadir sebagai bentuk imperialisme dan kolonialisme baru.
Dalam menjembatani imperialisme-kolonialisme dan struktur Perang Dingin, Chen menjelaskan reposisi tatanan lama (imperialisme-kolonialisme) ke tatanan baru (struktur Perang Dingin). Di tahun 1945, ketika Jepang telah dikalahkan, status penjajah Jepang berubah cepat menjadi terjajah.
Sejalan dengan itu, dalam periode Perang Dingin, banyak negara di Asia yang terpecah dan menjadi oposisi biner. Bineritas itu terjadi ketika Amerika menjadi simbol kapitalis dan Uni Soviet menjadi simbol komunis memecah Korea menjadi Korea Selatan dan Utara, Taiwan dan China, atau bahkan Indonesia dengan peristiwa 65.
Di bawah struktur Perang Dingin di Asia, rezim yang ter-Amerikanisasi sangat terpenetrasi dalam kehidupan sosial masyarakat dan institusi pendidikan. Dalam pikiran intelektual muda, ini menjadi sebuah kebanggaan. Gambaran akan Amerika yang kuat, beradab, maju, dan kaya menjadi pendirian yang kokoh. Bahkan, hingga kini, kalimat “lebih baik belajar di Amerika” adalah nilai tertinggi bagi pelajar muda di Asia. Dalam konteks ini, Chen menggunakan istilah “leaving Asia for America” (tuoya rumei).
Istilah “leaving Asia for America” sangat tergambarkan dalam banyak kasus di Asia. Contoh kasus yang paling dekat dengan kita adalah rezim Orde Baru. Kala itu, seluruh simbol kemajuan Indonesia dan negara di sekitarnya berkiblat pada Amerika. Amerika masuk dalam bentuk perkembangan ekonomi, institusi pendidikan, dunia perfilman, atau bahkan institusi militer.
Seluruh struktur lantas berkiblat pada Amerika. Pada bidang ekonomi, investasi Amerika di PT Freeport dianggap menjadi satu-satunya jalan keluar dari keterpurukan. Para sarjana dibiayai oleh negara untuk menempuh studi di Amerika dan kembali untuk menjadi patron produksi pengetahuan. Film Rambo mengambil hati masyarakat untuk masuk dalam dunia militer dan mengecam Vietnam yang komunis. Institusi militer sebagai perpanjangan tangan rezim turut memproduksi propaganda anti komunis, mulai dari pemutaran film hingga pembuatan narasi anakronisme sejarah. Realitas ini berbanding terbalik dengan rumusan Konferensi Asia-Afrika.
Chen merasa perlu merespons struktur bangunan Perang Dingin yang dianggap sebagai bentuk ideal bagi Asia dengan meruntuhkannya. Struktur itu menjadikan kekayaan dan kemakmuran yang didapat Asia seolah-olah adalah anugerah yang ideal. Padahal, bentuk ideal Asia juga membuat perpecahan satu sama lain.
Respons Keterasingan
“Barat sebagai metode” telah menjadi situasi dominan dari produksi pengetahuan. Struktur pengetahuan itu dapat dibaca sebagai suatu hal yang bertolak belakang—Barat lebih maju, metropolis, terindustrialisasi, sedangkan non Barat tertinggal, “desa”, “pertanian”.
Berbanding terbalik dengan itu, negara Dunia Ketiga membingkai dikotomi berupa Timur versus Barat, China versus Barat, Taiwan versus Barat, Indonesia versus Barat, dan lainnya. Hal ini cukup menjelaskan bahwa nasionalisme Dunia Ketiga menjadikan Barat sebagai objek keinginan sekaligus kebencian. Ini memang fenomena ambivalen—kita membenci Barat, tapi juga mengamini produknya.
Kenyataannya, kita memang telah melakukan studi komparasi, tapi perbandingan itu antara teori Eropa-Amerika dan pengalaman lokal kita. Teori modern mereka seolah berlaku secara universal, sedangkan kita hanya memiliki data empiris yang partikular. Akhirnya, kita hanya digunakan sebagai laboratorium untuk memvalidasi teori modern mereka. Terlebih, kita hanya mengontekstualisasikan, atau bahkan menginternalisasikan, teori mereka dalam kacamata dan identitas kita sebagai orang Asia.
Baca juga:
Nah, apakah kita semua orang asing? Jawabannya, kita menjadi orang asing dan termodernisasi melalui westernisasi. Asia yang sebelumnya telah mendapat beban imperialisasi dan kolonialisasi bertambah bebannya seiring dengan bertumbuhnya kenyamanan hasil hegemoni global Eropa-Amerika.
Mungkin kita ingat kutipan René Descartes, “Aku berpikir, maka aku ada,” yang disusun kembali oleh Lacan menjadi, “saya berpikir di tempat saya tidak ada, oleh karena itu, saya ada di tempat saya tidak berpikir.” Mungkin, apa yang dikatakan Lacan tepat untuk menggambarkan relasi intelektual kolonial dengan negeri jajahannya. Namun, dalam konteks keterasingan di Asia, ungkapan yang paling tepat adalah “saya berpikir di tempat saya ada, tetapi saya tidak ada di tempat saya berpikir.” Maksud saya, pemikir Asia tidak benar-benar berpikir dari sudut pandang Asia.
Produksi pengetahuan adalah hal yang sentral dalam struktur imperialisme. Oleh karenanya, gagasan “Asia as method” merupakan kritik untuk mengubah struktur pengetahuan yang ada dan, pada saat yang sama, mengubahnya dengan perspektif kita.
Ini tidak sama dengan aksi meng-Asiakan yang Barat. Kita perlu mengetahui perbedaan antara Asianisasi pengetahuan dan Asia sebagai pengetahuan itu sendiri. Meng-Asiakan yang Barat atau Asianisasi pengetahuan adalah sebuah gerakan yang melihat perlunya meng-Asiakan pengetahuan Barat. Sementara itu, Asia sebagai pengetahuan juga memiliki arti yang sama dengan Asia sebagai metode.
Masalahnya, selama ini, kebanyakan intelektual Asia bertemu dan melakukan kontak di Eropa atau Amerika Utara. Asia sebagai metode diharapkan akan mencapai titik peleburan di Asia. Para pelakunya bukan lagi turis intelektual di London, Paris, dan New York, tetapi melebur pada ritme manusia Singapura, Seoul, Shanghai, Jakarta, dan lainnya. Dalam konteks Studi Asia di jantung imperium pengetahuan, Studi Asia selalu mereproduksi keterasingan, selalu hanya menjadi laboratorium tempat manusia Asia dimutilasi sebagai kelinci percobaan teoretis. Studi Asia di jantung Imperium pengetahuan akan selalu menjadi studi tentang Asia tanpa Asia.
Perbincangan soal Inter-Asia memang bukan hal yang baru. Ia telah ada jauh sebelum konsep negara-bangsa modern. Wacana Jalur Rempah sebagai basis berpikir tentang dekolonialitas dapat dibaca sebagai keterhubungan bangsa-bangsa prakolonial yang berlandaskan kosmopolitanisme, bukan merkantilisme ala Eropa.
Ide itu hampir mirip dengan ide Walter Mignolo tentang konsep de-linking dan re-linking. De-linking adalah menghancurkan keterhubungan, dalam konteks dekolonisasi, deimperialisasi, dan de-Perang Dingin. Sementara itu, re-linking berarti menyambung apa yang selama ini telah terputus.
Selama ini, kita melihat Asia yang berjarak dan saling terasing akibat proses imperialisasi, kolonialiasasi, dan Perang Dingin-isasi. Padahal, Asia bukanlah makna tunggal untuk mendefinisikan letak geografis suatu benua. Di sini, Asia adalah sinonim dari China, Malaysia, India, Sri Lanka, dan Indonesia, serta negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Chen mengingatkan bahwa kita perlu meruntuhkan keberjarakan dan keterasingan Asia.
***
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari seri kolaborasi Omong-Omong Media dan Lingkar Studi Sejarah Arungkala. Tulisan sejarah LSS Arungkala juga dapat dibaca dalam buku Pengantar Dekolonisasi Pengetahuan yang dapat diakses melalui tautan berikut.
Editor: Emma Amelia