IG: @kang.jojo

Anthony de Mello dan Setan yang Mencerahkan

Joshua Pradipta

2 min read

Anthony de Mello SJ (4 September 1931 – 2 Juni 1987) adalah seorang pastor dari ordo Jesuit asal India. Tak heran bila langgam sufisme dan zen buddhism sangat terasa dalam setiap tulisannya. Mungkin hal ini dipengaruhi juga karena India–tempat kelahirannya–adalah salah satu pusat spiritualitas terbesar di dunia hingga hari ini. De Mello mengadakan banyak retret rohani dan dianggap sebagian pihak sebagai seorang pembicara publik yang piawai. Ia mengunjungi banyak negara untuk belajar dan kemudian mengajar agama, terutama di Spanyol dan Amerika Serikat. De Mello juga mendirikan sebuah pusat doa di India.

Hidup de Mello tak selalu berjalan mulus. Dia pernah dikecam oleh Vatikan karena pemikirannya yang berbeda dengan cara pandang gereja Katolik. Pada intinya, keunikannya terletak pada bagaimana dirinya, sebagai seorang pastor Katolik, memaknai ajaran Yesus melalui sudut pandang alternatif yang dipenuhi oleh semangat spiritualitas timur dan bernuansa “eksoterik”. Di tengah kekakuan liturgi gerejawi, dengan tata cara bakunya, ia justru membawa pembacanya menuju sebuah kesederhanaan, melalui keheningan, yang menekankan pada aspek perenungan “ke dalam”.

Salah satu buku buku de Mello yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Burung Berkicau atau The Song of Bird dalam versi bahasa Inggris (1984). Salah satu cerita dalam buku tersebut yang tampaknya cocok untuk membaca fenomena keresahan umat beragama hari ini adalah sebuah cerita berjudul Setan dan Temannya. Cerita ini mengisahkan sosok setan yang kala itu sedang berjalan-jalan bersama temannya. Di tengah perjalanan, mereka melihat seorang manusia yang menemukan sesuatu tergeletak di tepi jalan. Ternyata benda itu adalah “sekeping kebenaran”. Salah satu setan itu merasa gelisah, ia takut manusia tadi akan bertaubat, hidup dalam kebenaran, dan meninggalkan perbuatan dosa yang setan-setan sukai. 

Namun, teman setan itu malah tertawa gembira. Ia justru membiarkan manusia itu mengambilnya. Katanya, sekeping kebenaran itu akan dijadikan “kepercayaan” oleh manusia tadi di masa depan. Manusia itu akan merasa bahwa dirinya telah memiliki kebenaran yang utuh dalam genggamannya, mengalami stagnasi, dan tidak berupaya untuk mempertanyakan kebenaran yang ada di tangannya. Berhenti hanya pada kepercayaan agama sebagai sebuah “tanda”, bukan “keutuhan”. 

Penggunaan tokoh setan dalam cerita ini  memiliki pesan yang mendalam. Setan yang pada umumnya dianggap sebagai musuh kebenaran, justru digunakan dalam cerita ini untuk membuka pikiran para pembacanya menuju kesadaran. Melalui dialog antara setan dan temannya, pembaca  dibawa menuju sebuah perenungan akan bagaimana kehidupan beragama terjadi di tengah masyarakat saat ini. Kehidupan orang-orang beriman yang sering kali menaruh fokus pada agama sebagai kebenaran tunggal, dan berupaya mengonversi orang lain untuk bergabung dalam agamanya. 

Dalam hal kekristenan, orang-orang memberi tolok ukur kerohanian melalui seberapa sering ia beribadah ke gereja setiap minggu atau seberapa sering ia berdoa. Orang yang tidak pernah melakukan ritus-ritus keagamaan akan dianggap sebagai domba yang tersesat. Namun, apalah arti agama, jika pada akhirnya memimbulkan kericuhan antar manusia? Jika dianalogikan, hal ini sama seperti meributkan antara kendaraan mana yang terbaik untuk pergi ke Bandung, mobil atau kereta? Akhirnya, manusia terjebak dalam lingkaran perselisihan yang tak berujung dan malah melupakan tujuan utamanya.

“Tidak,” jawab setan. “Saya akan membiarkan dia menjadikannya kepercayaan agama.” Kepercayaan agama merupakan suatu tanda, yang menunjukkan jalan kepada kebenaran. Orang yang kuat-kuat berpegang pada penunjuk jalan, tidak dapat berjalan terus menuju kebenaran. Sebab, ia mengira seakan-akan sudah memilikinya.

Anthony de Mello memberikan pandangan alternatif bahwa agama hanyalah sebuah petunjuk atau jalan, yang mana bukanlah tujuan atau kebenaran itu sendiri yang seutuhnya. Ekstremisme agama dengan sendirinya menghanyutkan manusia pada kemelekatan, sekaan-akan ia telah memperoleh kebenaran yang absolut di tangannya. Memberi penghalang untuk melihat realitas apa adanya, oleh karena lensa yang digunakan tidak lagi transparan, melainkan terbungkus oleh doktrin dan dogma. 

Baca juga:

Ketika seorang penjelajah hendak menyeberang sungai, ia perlu menggunakan sampan untuk menyeberang. Namun, setelah berhasil tiba di seberang, ia harus meninggalkan dan tidak melekat pada sampan itu lagi. Jika ia melekat dan terus membawa sampan itu ke mana pun ia pergi, tentunya itu akan membebani dirinya sendiri, membuat dirinya tidak bebas untuk menemukan berbagai peluang lain dalam perjalanan berikutnya. Terlalu menyedihkan, jika ia harus diselimuti rasa takut akan masa depan yang membuat dirinya melekat pada sampan itu. 

Alih-alih menakuti manusia dengan dosa dan ancaman neraka yang belum pasti, mengapa tidak nikmati saja momen saat ini dengan kesadaran, lalu merayakannya? Menjadi insan yang merdeka dari belenggu ketakutan akan masa depan, menikmati setiap tarikan napas sebagai kebertubuhan dengan Yang Maha Hadir. Memanifestasikan doa-doa dan keterhubungan dengan Sang Ilahi, semesta, atau apa pun namanya melalui denyut jantung yang terus berdetak mengisi keheningan. Bukankah penebusan Yesus di kayu salib memberi makna atas kemerdekaan dan kebebasan manusia dari belenggu ketakutan?

***

Editor: Ghufroni An’ars

Joshua Pradipta
Joshua Pradipta IG: @kang.jojo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email