Mendekati Pemilu 2024, politik identitas hingga balas budi akan rawan bermunculan. Dalam dunia politik, apa pun bisa terjadi. Teman bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi teman. Terutama dalam konteks kampanye politik. Beragam cara akan dilakukan untuk mendapatkan suara. Salah satunya dengan menyasar masyarakat etnoreligius.
Keterkaitan antara kampanye politik dan masyarakat etnoreligius memunculkan perdebatan. Oleh karenanya, saya akan mengulas perdebatan tersebut. Sebelum merumuskan argumen, mula-mula saya mengajukan dua pertanyaan. Pertama, apakah kelompok etnoreligius merupakan kekuatan politik sesungguhnya? Kedua, apakah kelompok etnoreligius merupakan ancaman negara? Berangkat dari pertanyaan tersebut, saya menganalisis dan menggali jawaban untuk membangun pemahaman tentang masyarakat etnoreligius dan dampak-dampaknya menjelang Pemilu 2024 yang akan datang.
Mengenal Masyarakat Etnoreligius
Masyarakat etnoreligius didefinisikan sebagai kelompok berlatar belakang etnis agama yang sama. Etnoreligius dipandang sebagai masyarakat negara yang berusaha mengidentifikasikan etnis dengan rujukan tradisi leluhur dan kitab suci. Kelompok etnoreligius tidak diklasifikasikan oleh agama umum saja. Sebagai contoh, di Indonesia etnoreligius diklasifikasikan menjadi 7 kelompok. Kelompok tersebut meliputi masyarakat penganut agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan.
Melalui keberadaan kelompok etnoreligius tersebut, dalam dinamikanya masyarakat Indonesia mampu membuat kelompok turunan baru. Seperti dalam Islam, pemahaman etnoreligius agama ini dibagi kembali menjadi 2 golongan besar, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Baca juga:
Banyak ahli berpendapat bahwa etnoreligius merupakan bentuk potensi konflik yang terjadi karena adanya eksklusivitas golongan. Namun, tidak semua ahli memandang etnoreligius sebagai potensi konflik. Menurut Prof. Dr. Abdullah Idi, M.Ed, etnoreligius merupakan cerminan dari bangsa yang plural. Ia menegaskan bahwa istilah etnoreligius ini merupakan takdir dari bangsa-bangsa yang ada di Asia Tenggara. Keberadaan masyarakat etnoreligius tidak relevan jika dipandang sebagai ancaman, melainkan dapat dijadikan peluang untuk menciptakan sikap pluralitas yang baru. Adapun sikap pluralitas yang dibutuhkan, khususnya dalam masyarakat etnoreligius ini, antara lain sikap saling menghargai, saling percaya, tidak ada superioritas, inter-independen, dan saling melengkapi jika membutuhkan.
Kekuatan Kampanye Berbasis Etnoreligius
Dari argumen Prof Abdullah, bisa dikatakan bahwa etnoreligius merupakan privilese bangsa-bangsa Asia Tenggara, sebab kancah politik Asia Tenggara sudah menghadapi berbagai macam konflik etnoreligius secara tahunan. Bahkan, masa-masa menjelang pemilu di Indonesia selalu diwarnai berbagai drama. Beragam manuver politik kerap dilakukan oleh banyak pihak. Tujuan utamanya adalah sebagai bentuk perjuangan ideologi golongan yang bakal menjadi representasi. Dengan demikian, dalam pemilihan umum yang akan datang, dibutuhkan gagasan-gagasan yang mampu memahami eksistensi etnoreligius secara berkelanjutan.
Dalam pemilu, kelompok etnoreligius ini dinilai sebagai pedang bermata dua. Kampanye politik biasanya menggunakan ideologi politiknya dengan menyasar golongan yang paling kuat terlebih dahulu. Kampanye ini dimaksudkan untuk memperoleh suara dengan memanfaatkan problem-problem yang ada di masyarakat. Sebagai bangsa yang berada di Asia Tenggara, keberadaan kelompok etnoreligius di Indonesia merupakan peluang yang paling nyata, sebab negara ini kerap mengalami konflik etnoreligius. Maka dari itu, strategi politik untuk kampanye dinilai relevan jika memberikan ruang perhatian pada kelompok tersebut.
Dalam mempersiapkan diri menjelang pemilu, masyarakat etnoreligius akan bersikap lebih defensif terhadap segala macam manuver politik. Keberadaan kampanye salah satunya. Dengan adanya kampanye ini, masyarakat etnoreligius akan berpikir cerdas terkait janji-janji kampanye yang datang. Bagaimanapun caranya, masyarakat etnoreligius akan menggunakan pengaruh kampanye-kampanye yang akan datang sebagai bentuk jaminan untuk menjaga eksistensinya secara berkelanjutan.
Dengan pola pikir tersebut, dapat dinilai bahwasanya dalam konteks negara demokrasi, keberadaan masyarakat etnoreligius merupakan bentuk entitas yang menjadi peluang kemenangan pemilu. Calon-calon politisi yang mampu menarik hati masyarakat etnoreligius lewat advokasi nyata, akan mendapatkan suara rakyat. Meski demikian, kampanye yang menyasar masyarakat etnoreligius juga tidak bisa berjalan mudah. Kampanye ini membutuhkan suara rakyat yang berkelanjutan, supaya masyarakat yang merasa suaranya teradvokasi menegaskan hak dukungan politiknya.
Ancaman Saling Mematikan Kelompok Etnoreligius
Setelah membahas eksistensi kekuatan masyarakat etnoreligius dengan kampanye politik, pada bagian ini saya akan menggali kembali etnoreligius dari sisi ancaman keberadaanya. Menurut Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, terdapat delapan akar masalah yang memicu konflik etnoreligius. Jika dikaitkan dengan kampanye pemilihan umum, masalah tersebut akan berpotensi menjadi ancaman besar. Kedelapan akar masalah tersebut adalah sentralisasi identitas, konflik intra-state, sentralisasi agama dan institusi keagamaan, penggunaan narasi keagamaan, dampak kolonialisme, krisis legitimasi, serta pemahaman kitab suci.
Pertama, sentralisasi identitas. sektor ini merupakan salah satu cara yang dibutuhkan masyarakat etnoreligius dalam menjaga eksistensinya. Masyarakat yang tidak bisa memahami keberadaan masyarakat etnoreligius seutuhnya akan merasakan frustasi identitas. Dengan demikian, kampanye pemilu yang tersentralisasi akan menimbulkan eksklusivitas dan kecemburuan sosial.
Kedua, konflik intra-state. Dalam sektor ini, fokus perhatian utama masyarakat etnoreligius adalah perbedaan antara agama dan budaya yang dibatasi dalam kehidupan. Ketika kampanye pemilu masuk ke salah satu dari dua hal tersebut, maka akan ada gesekan kepentingan. Dengan demikian, salah satu pihak akan dirugikan dan menutup ruang ekspresi.
Ketiga, sentralisasi agama dan institusi. Menyambung dua sektor sebelumnya, ketika pemilu datang, sentralisasi etnoreligius akan menjadi-jadi sehingga menumbuhkan keterwakilan politik yang tersentralisasi dari institusi keagamaan. Dengan demikian, tidak semua yang mewakili memiliki pemahaman pluralisme.
Keempat, penggunaan narasi agama. Dalam kampanye, penggunaan narasi agama sering digaungkan, sebab legitimasi dari tokoh etnoreligius begitu kuat dan absolut dalam menarasikan politik. Dengan demikian, jika narasi tersebut digaungkan, konflik akan terpicu karena adanya potensi dominasi sentralisasi.
Kelima, kekuatan identitas. Dalam kampanye, aktor politik membutuhkan sebuah identitas yang menjadi latar belakang, terutama dalam menggaet suara rakyat. Jika aktor politik mengalami kesusahan menarik simpati rakyat, manipulasi dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan identitas secara pragmatis.
Baca juga:
Keenam, dampak kolonialisme. Sebagai negara demokrasi bekas penjajahan, masyarakat Indonesia masih memiliki trauma berkepanjangan, khususnya tentang etnoreligius. Pada zaman dahulu, etnoreligius digunakan untuk menjajah secara kultural. Oleh karena itu, masyarakat masih terbawa pemahaman bahwa hal tersebut tabu sehingga tidak layak jika ada pengakuan mengenai keberadaannya.
Ketujuh, krisis legitimasi. Masyarakat etnoreligius merupakan golongan sosial yang kerap mengalami krisis legitimasi, khususnya di negara demokrasi. Jika terlalu mendominasi, akan dicap radikal. Dan jika tidak mendominasi, akan termarginalkan. Apalagi jika kampanye pemilu mulai mendekat, keberlanjutan posisi masyarakat etnoreligius akan tidak bisa ditebak.
Kedelapan, pemahaman kitab suci. Dalam kampanye, pemahaman kitab suci ini merupakan bentuk pemahaman yang terkadang tidak disesuaikan dengan konteks. Salah satunya jika gagasan kampanye aktor politik terlalu radikal terhadap golongan etnoreligius. Dengan demikian, muncul beragam ujaran kebencian dengan mengatasnamakan agama tanpa mempertimbangkan konteks pluralitas.
Setelah memahami peluang dan ancaman di atas. Salah satu pemahaman yang dapat ditekankan ialah masyarakat harus memiliki sikap menghargai pluralisme yang kuat. Sikap ini dibutuhkan dengan mengacu pada konteks dan bukan fanatisme belaka. Menjelang pemilu ini, eksistensi dan sentralisasi masyarakat etnoreligius pasti akan terjadi. Dan perlu dipahami juga, bahwasanya dengan adanya pemilu ini, semua keberadaan masyarakat etnoreligius bukan menjadi ancaman, melainkan peluang menumbuhkan pluralitas gaya baru.
Editor: Prihandini N