Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 24 partai politik sebagai peserta Pemilu 2024, terdiri dari 18 partai politik nasional dan 5 partai politik lokal Aceh. Penetapan partai politik peserta Pemilu 2024 diwarnai temuan adanya pelanggaran dalam proses verifikasi partai politik oleh KPU selaku penyelenggara pemilihan umum.
KPU Pusat diduga melakukan intimidasi terhadap KPU di tingkat bawah untuk meloloskan dan tidak meloloskan partai politik tertentu. Padahal, sebagai panitia pemilihan umum, KPU semestinya bekerja sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tanpa ada tindakan mengintervensi dan diintervensi. Imbas dari dugaan pelanggaran ini, Komisioner KPU dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Baca juga:
Skandal intimidasi dalam KPU itu hanyalah satu di antara banyak masalah yang kembali mengecilkan harapan untuk memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia melalui Pemilu 2024 nanti. Jika sedari awal penyelenggaraan pemilihan umum tidak bekerja sesuai dengan undang-undang, maka pesta demokrasi 2024 hanya akan menghasilkan ketidakadilan, konflik, dan pembusukan demokrasi.
Masalah yang mengancam perbaikan demokrasi kita berikutnya datang dari partai politik. Selama ini, partai politik tak pernah cukup kreatif dan berani untuk menggunakan strategi penggalangan dukungan tanpa membuat masyarakat jadi fanatik dan terkotak-kotakkan.
Alih-alih memanfaatkan waktu kampanye untuk membangun kesadaran berpolitik yang sehat dan berbasis program, partai politik lebih pilih mengambil jalan pintas memenangkan pemilihan umum dengan politik lato-lato. Sama halnya dengan bermain lato-lato, partai politik membentur-benturkan masyarakat sehingga menghasilkan bunyi riuh kekerasan sesama masyarakat yang berbeda pilihan politik menggunakan informasi yang keliru dan narasi yang provokatif.
Tak cuma oleh partai politik, politik lato-lato juga rentan dipraktikkan oleh penyelenggara pemilihan umum. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menunjukkan baik Bawaslu maupun KPU sama-sama menjadi pemicu kerawanan pemilihan umum. Sekurangnya, ada tiga dimensi yang dijadikan tolok ukur IKP, yakni konteks sosial dan politik, kontestasi, dan partisipasi. Penyelenggara pemilihan umum yang tidak berintegritas dan dipertanyakan independensinya bisa memantik amuk masyarakat, terutama yang fanatik mendukung partai politik dan calon.
Harus diakui, kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilihan umum adalah kunci untuk menyukseskan pesta demokrasi 2024. Bersamaan dengan itu, ujian bagi independensi dan integritas KPU dan Bawaslu semakin berat. Banyak pihak memprediksi bentuk pelanggaran berupa seleksi penyelenggara pemilihan umum di tengah tahapan pemilu berjalan akan marak terjadi sepanjang tahun 2023 hingga 2024.
Untuk itu, agar Pemilu 2024 sukses mengawali perbaikan demokrasi Indonesia yang kualitasnya kian merosot dari tahun ke tahun, KPU dan Bawaslu mesti bersih dan taat aturan. Kemudian, partai politik mesti kreatif memasyarakatkan pendidikan politik dan merancang program yang tepat guna untuk mengatasi berbagai permasalahan di negara ini.
Baca juga:
Sudah bukan zamannya partai politik memainkan politik adu domba! Sudah waktunya stop ingin menang pemilu pakai kekerasan dan intimidasi! Mari, awasi berlangsungnya pemilihan umum dan orang-orang yang bertanggung jawab atasnya agar kita tidak lagi dimain-mainkan seperti lato-lato oleh para elit politik!
Editor: Emma Amelia