Fenomena Unik Menjelang Pesta Politik

Diana N

4 min read

Fenomena menjelang pemilu presiden memang selalu menarik untuk dikupas. Mulai dari perbincangan soal isu politik uang, tebak-tebakan calon presiden yang diusung parpol, Rakernas yang selalu menjadi perhatian publik, sampai debat kusir antara para pendukung setia. Tak heran jika berita-berita mengenai aktivitas partai politik selalu laku di kalangan masyarakat. Peristiwa-peristiwa unik tersebut terjadi lima tahun sekali dan akan semakin memanas saat mendekati acara sesungguhnya.

Biaya Politik

Menjelang pemilu, hal-hal yang berkaitan dengan biaya politik selalu menjadi perbincangan. Biaya politik yang begitu mahal sudah menjadi rahasia umum. Apakah nominal tersebut benar-benar dikeluarkan secara mandiri oleh sang calon? Bantuan dana dari pihak lain membuka celah terjadinya penyelewengan pejabat terpilih dengan pihak berkepentingan. Hubungan bisnis berkedok “balas budi” antara si pemberi dan penerima dana adalah peluang emas untuk mengeruk keuntungan pribadi oleh sang pemberi pinjaman. Praktik politik uang yang terjadi terus-menerus mencederai iklim demokrasi yang menghalangi keberlangsungan demokrasi secara ideal. 

Anda pasti bertanya-tanya mengenai terjadinya praktik politik uang akibat nihilnya peraturan yang mengatur mengenai biaya politik. Menurut pasal 325 Ayat (2)  dan 329 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dana kampanye bersumber dari partai politik atau koalisi parpol untuk pilpres, calon, dan sumbangan sah menurut hukum dari pihak lain. Di dalam UU tersebut sayangnya tidak disebutkan mengenai batasan biaya yang bersumber dari perseorangan dan partai politik. Akibatnya, ada kemungkinan pengeluaran biaya besar-besaran guna mendukung kampanye bahkan memengaruhi pemilih. Agus Riewanto (2019) menegaskan bahwa kondisi tersebut memicu pembatasan partisipasi aktif anggota parta politik. Dominasi kelompok elite parpol terjadi akibat terbukanya peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk mengeluarkan nominal sumbangan besar bagi parpol. 

Menurut Agus, apabila berkaca dari pelaksanaan pemilu 2009 dan 2014, hal yang melatarbelakangi praktik politik uang adalah berlakunya sistem proporsional berdasarkan suara terbanyak . Peran partai politik terbatas pada alat untuk terjun pada dunia politik dan berpartisipasi pada pemilu. Selebihnya didominasi oleh kompetisi antarcalon legislatif secara perseorangan.  Zulkifli Hasan (Asumsi.co) menegaskan bahwa pemilu transaksional menghalangi implementasi demokrasi secara ideal. Realitanya, tokoh yang berkarakter dengan program yang bagus bisa jadi kalah bersaing dengan yang memiliki sumber dana yang besar. 

Lantas, langkah apa yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan politik uang? Menurut Almas Sjafrina (2019), diperlukan komitmen partai politik dan kandidat terkait perbaikan proses rekrutmen di dalam internal partai yang mengedepankan integritas dan kualitas. Partai politik juga bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Praktik ilegal seperti membeli suara (vote buying) harus dihindari. Parpol perlu menyiapkan tim sukses yang mampu membaca dan memprediksi perilaku pemilih kemudian menerapkannya ke dalam strategi yang efektif.

Ambang Batas Presiden

Hal unik lainnya dari pemilu di Indonesia adalah berlakunya ambang batas presiden atau presidential threshold. Presidential threshold idealnya dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif, khususnya menyangkut proses perumusan kebijakan. Menurut Pasal 221 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, calon presiden dan wakil presiden diusulkan dalam satu pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Syarat pengusulan calon didasari oleh perolehan kursi dengan persentase minimal 20% dari total jumlah kursi atau 25% dari suara sah nasional pemilu legislatif lima tahun sebelumnya. Oleh karena itu, partai politik beramai-ramai membentuk koalisi satu dan yang lain. 

Arie Putra (Asumsi.co) menyatakan bahwa presidential threshold memberi kontrol bagi organisasi politik terhadap individu untuk mengambil kekuasaan. Berlakunya ambang batas memberi kesempatan bagi partai politik untuk mengajukan figur terbaiknya—baik berdasar tingkat elektabilitas maupun kualitasnya sebagai seorang individu—sebagai calon presiden. Mengingat kembali bahwa partai politik memiliki peran mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam urusan pengisian jabatan di pemerintahan, menurut Pangeran Siahaan, presidential threshold menjadi filter untuk membatasi pihak-pihak yang sesuai atau tidak untuk mengisi jabatan presiden. 

Di sisi kontra, ada kemungkinan pilihan calon diisi oleh figur “itu-itu saja” dan tidak memungkinkan adanya calon alternatif lain. Berlakunya presidential threshold dianggap mengambil hak konstitusional partai politik terkait pencalonan presiden serta membatasi hak masyarakat dalam memilih calon presiden. Akibatnya, pilihan publik atas calon presiden yang sesuai dengan harapan mereka terbatas dan terkesan ditentukan berdasarkan keputusan partai politik. Terlepas dari kontroversi presidential threshold, Arie Putra menyebutkan bahwa partai politik seharusnya lebih terbuka kepada publik mengenai pembahasan kandidat calon yang akan diusung.  Hal lain yang lebih perlu dibenahi adalah pembangunan kompetisi internal partai politik. Arie menambahkan bahwa penting bagi organisasi politik untuk mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul dari angka 20% dalam presidential threshold

Baca juga:

Rakernas Partai

Agenda yang ramai diperbincangkan lainnya adalah Rakernas partai. Momen ini adalah ketika partai politik saling membahas sikap dan pilihan kemudian hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat. Contohnya adalah saat Partai Nasdem bermanuver dengan tidak mengusung nama-nama pihak internal. Mereka mengklaim bahwa penentuan calon berdasarkan hasil musyawarah atas rekomendasi Dewan Pimpinan Wilayah (DPW). Calon-calon tersebut antara lain Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa. 

Lain halnya dengan PAN, Golkar, dan PPP yang membentuk koalisi dengan nama Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Menurut Zulkifli Hasan (Asumsi.co), koalisi KIB dibentuk untuk menghadirkan calon ketiga mengingat permasalahan pada pemilu 2014 dan 2019 terjadi karena calon presiden yang tersedia hanya dua pasang calon. Kondisi tersebut menimbulkan fanatisme para pendukung yang terbagi menjadi dua kubu. Polarisasi di antara kedua kubu cukup rawan konflik akibat adanya sentimen atau isu primordial yang sering bergesekan selama agenda kampanye calon. Saiful Mujani (2020), dalam studinya menemukan problematika demokrasi di Indonesia yang salah satunya disebabkan oleh lemahnya perkembangan pluralisme dan toleransi politik antara para elite dan pendukungnya. Hasil yang diperoleh menjelaskan adanya hubungan antara perkembangan demokrasi dengan intoleransi politik pada sebagian besar masyarakat Indonesia pada tahun 2004-2019. 

PDIP, satu-satunya yang lolos presidential threshold berdasarkan hasil pemilu serentak 2019, dalam Rakernas-nya membahas fokus utama partai adalah untuk menentukan strategi terbaik memenangkan Pemilu 2024 dan mengawal kebijakan Presiden Jokowi. Megawati secara tegas mengingatkan bahwa hak menentukan calon mana yang akan diusung di bawah kuasanya. Mungkinkah kita akan segera mengetahui calon dan koalisi PDIP dalam waktu dekat ini? 

Tidak sampai di situ, pemberitaan tentang Rakernas juga tak jarang dibumbui momen menarik lainnya, seperti candaan oleh seorang petinggi partai yang sempat mengisi trending di media sosial. Ada yang menganggapnya sebagai gimmick, menyayangkan tindakannya, sampai menentang opini beliau berbasis perspektif masing-masing. Sedikit banyak kita tahu bahwa ternyata isu politik bisa menjadi topik yang begitu sensitif. 

Momentum tebak-tebakan capres menjadi bumbu pedas menjelang kontes politik. Perdebatan tentang siapa yang dianggap “pantas” oleh publik mewarnai ruang diskusi politik. Misalnya, belakangan ini mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, bahkan turut dideklarasikan sebagai calon alternatif oleh kelompok relawan politik tertentu. AG Herdiansah (2019) mengemukakan ada tiga hal yang saling berkaitan berkenaan dengan voluntary electorate. Pertama, melemahnya kepercayaan publik terhadap partai politik yang membuka kemungkinan maraknya gerakan masyarakat yang berpengaruh pada political result. Kedua, meningkatnya kompleksitas sistem politik multipartai pada pemilu serentak 2019 serta pembaruan aturan terkait ambang batas parlemen partai politik. Relawan partisan sebagai alternatif lebih fleksibel dalam memfasilitasi kerja partai politik yang terhambat oleh kompetisi selama pemilihan legislatif. Ketiga, konsep sukarelawan yang berkaitan dengan calon dimanfaatkan sebagai strategi untuk melibatkan pemilih di luar basis tradisional parpol.

Merujuk pada pertanyaan seperti “apakah yang dinilai publik dari suatu calon?” atau “apakah kepopuleran calon di mata publik berbanding lurus dengan kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitasnya?” yang terlintas di benak kita saat menyaksikan kabar seputar pemilu, kita bisa jadi cukup penasaran tentang jumlah koalisi yang akan terbentuk beserta calon masing-masing. Apakah para tokoh politik mampu menangkap keresahan publik dan mengusung tokoh strategis dan kompeten? Partai politik tentunya menyadari urgensi isu-isu potensial sebagai daya tarik pemilih. Sudah seharusnya ada pergeseran desain politik untuk tidak sekadar “menjual” isu yang dibalut gimmick menuju program yang lebih rasional, progresif, dan to the point.

Partai politik harus benar-benar mempertimbangkan perspektif publik terhadap partai politik itu sendiri. Berdasar survei tentang kepercayaan terhadap institusi politik, isu mutakhir, dan dinamika elektoral menjelang pemilu 2024 yang dikeluarkan oleh Lembaga Indikator Politik, parpol menjadi lembaga yang menempati peringkat paling bawah dalam hal kepercayaan publik. Kondisi tersebut disebabkan oleh catatan tindak pidana korupsi oleh para elite parpol yang terjadi belakangan ini. Berdasar kondisi demikian, parpol harus menitikberatkan perhatian khusus untuk mengakomodasi ekspektasi publik sekaligus menjadi lebih sensitif terhadap isu-isu yang marak di masyarakat. Hal lain yang patut dilakukan adalah berhenti mengumbar janji kampanye tanpa adanya jaminan realisasi. 

Diana N

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email