Sore itu, seorang penimba ilmu bertanya kepada seorang penulis, “Apakah kau sudah membacanya semua?” Tersenyum mendengar pertanyaan bocah itu, ia membalas, “Hanya beberapa buku saja yang telah aku baca sampai habis.” Selanjutnya, penulis berujar, “Aku membaca sekilas agar tak mengasingkan rasionalitasku.”
Seorang “gila buku” pasti akan membuat pepat ruangannya dengan buku. Buku sering kali dianggap sebagai cerminan dari seorang pemikir yang haus terhadap ilmu dan pengetahuan. Buku seakan jadi sahabat karib untuk mengarungi dunia ide.
Buku yang bertumpuk-tumpuk membuat udara di sekeliling ruangan beraroma khas buku selalu memantik sebuah pertanyaan. Apakah mereka sudah dibaca semua?
Baca juga:
Selain untuk dibaca, buku jugalah untuk menjaga ingatan. Buku yang mangkrak di perpustakaan kita itu, bukan hanya untuk dibaca saja, tetapi juga berfungsi untuk menjaga ingatan. Sebab, ingatan manusia sangatlah terbatas. Kita sering kali dibenturkan dengan risiko lupa.
Sebuah perpustakaan di Kebun Raya Bogor, misalnya, menjaga ingatan lewat koleksi buku-buku sejak 1842. Perpustakaan itu jadi rujukan bagi periset untuk mencari referensi penelitian yang mereka garap.
Otto Soemarwoto, seorang pakar lingkungan, mengklaim bahwa perpustakaan Kebun Raya Bogor mengoleksi karya-karya bertopik tumbuhan hingga pertanian selama tiga abad (1586-1906). Buku-buku keriput telah menguning, tetapi merekalah yang sebenarnya menghidupi ide dari waktu ke waktu.
Perpustakaan adalah bagian penting dari sebuah peradaban. Setiap peradaban pasti memiliki perpustakaan. Sebelum British Library mengklaim diri sebagai perpustakaan terbesar di dunia, Baitul Hikmah yang berdiri di Baghdad sekitar abad ke-7 dan 8 telah mencontohkan bagaimana buku yang belum terbaca betul-betul dihargai untuk menyongsong sebuah peradaban. Konon, perpustakaan Baitul Hikmah merupakan perpustakaan terbesar di masanya.
Buku tak harus habis dibaca keseluruhannya untuk menjaga pengetahuan. Sebagai penjaga ketika manusia mafhum lupa mengingat kembali pengetahuan yang ia punyai, bukulah yang mengetuk pikir, mengingatkan kita kembali. Manusia kembali ingat suatu ilmu ketika halaman demi halaman buku ia baca lamat-lamat.
Pemikir dan pegiat buku Pierre Bayard dan Umberto Eco berdebat cukup sengit perkara buku mangkrak. Pierre Bayard pernah mengajukan pertanyaan ini dalam sebuah diskusi, “Buat apa membaca, toh, kita bisa berdiskusi secara mendalam tanpa harus membaca buku?”
Pertanyaan tersebut membuat kaget. Bila ia ditelan mentah-mentah oleh orang yang benar-benar alergi buku, maka akan semakin menjamur saja gerombolan alergi buku tersebut. Pertanyaan Bayard tadi sebenarnya bermaksud mengkritik orang yang banyak mengutip referensi buku tanpa membaca secara serius buku-buku yang dikutip dalam perbincangan ataupun penulisan.
Dengan kata lain, Bayard mengkritik snobisme (perilaku sok-sokan). Pergulatan intelektual mafhum dengan ritus membaca, menulis, dan mengajar. Melenceng dari semestinya proses intelektual, snobisme adalah perilaku seseorang yang menyoal buku-buku yang belum pernah ia baca atau hadapi langsung.
Menimpali Bayard, Umberto Eco beranggapan bahwa snobisme itu tak sepenuhnya salah. Baginya, ada sebab snobisme terjadi, utamanya adalah banyaknya jumlah buku yang beredar sehingga tak mungkin dapat dibaca seluruhnya oleh umat manusia. Kemudian, sistem pendidikan saat itu yang memang tak mengajak agar pelajar aktif bergelut dengan banyak buku. Eco bahkan menuduh beberapa kampus membuat peserta didik jadi pendengar saja, bukan pembaca.
Eco menyigi pentingnya buku yang tidak terbaca sebagai penjamin ingatan. Buku adalah jaminan bagi umat manusia agar tetap mengetahui dan tidak kikuk dengan pembahasan topik-topik tertentu sepanjang masa.
Menyeru agar orang berhenti membeli buku dengan alasan buku ini-itu belum selesai dibaca terasa begitu eman. Sayang sekali kalau dalam hidup kita yang hanya sebentar kita tidak meluangkan diri untuk membaca buku walaupun tak kunjung rampung dan berakhir mangkrak. Buku-buku yang mangkrak itu membuat kita sepakat dengan Eco. Kita pun tak lagi memandang mereka sebagai masalah, melainkan teman yang merawat nalar menjadi lebih kuat ketika ingatan kita riskan menurun.
Fernando Baez dalam buku berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2013) terbitan Marjin Kiri, menjelentrehkan penyebab buku yang belum dan sudah terbaca hilang dari peradaban. Benturan politik hingga serangan kutulah yang menjadi biang kerok buku-buku lenyap dari hidup kita.
Robertus Robert, penyumbang kata pengantar dalam buku itu, menghadirkan istilah “librisida”, yakni fenomena penghancuran dan penghilangan buku-buku sepanjang sejarah peradaban manusia. Agak bertentangan dengan pendapat Eco yang pro menimbun buku, librisida di sini justru disinyalir dipicu oleh kondisi ketika orang-orang malas membaca dan marak snobisme sehingga kapasitas rasional orang-orang itu tidak berfungsi dengan semestinya.
Berbeda dengan Eco yang menghargai buku dan memuliakannya walaupun buku tersebut belum dibaca, pelaku librisida yang pasif membaca dan terbelenggu dogma tertentu justru menjadi kabar buruk bagi peradaban perbukuan.
Contoh terkini librisida adalah razia buku gubahan Franz Magnis Suseno yang berjudul Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme oleh segerombolan orang di Makassar. Padahal, jika mereka baca buku tersebut, mereka akan paham bahwa isinya justru kritik terhadap pemikiran Marx.
Baca juga:
Tak ada kewajiban merampungkan membaca seluruh buku. Namun, kita tak boleh abai akan kejadian berulang ketika buku-buku dibiarkan tak terbaca, akan ada orang-orang kurang bijaksana yang terlenakan kedunguannya dan tak segan-segan menyeret orang lain menjadi dungu dengan memusnahkan bacaan.
Editor: Emma Amelia