Maskulinitas Program MBG

Purnawan Andra

3 min read

Program makan bergizi gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintahan Prabowo menyasar siswa dari PAUD hingga SMA. Program ini menawarkan makanan gratis untuk mendukung kesehatan generasi muda. Namun, sejak dilaksanakan 6 Januari lalu, berbagai respon muncul di lapangan.

Tak sedikit siswa yang tampak seperti terpaksa menyantap menu yang disediakan, bahkan ada sebagian siswa yang tidak menghabiskan menunya. Beberapa siswa menyebut ”rasanya mengecewakan, hambar, rempahnya sedikit. Menunya juga tidak ada dagingnya, seperti ayam goreng dan tidak ada susu seperti yang diinfokan sebelumnya. Porsinya juga sedikit, kurang mengenyangkan. Bekal dari ibu jauh lebih enak karena lebih gurih dan lebih banyak. Makanan kantin juga lebih enak dan banyak menu yang bisa dipilih” (kompas.id, 7/1/2025)

Tidak hanya bagi siswa, beberapa pihak seperti guru, pedagang kantin sekolah, dan ibu rumah tangga, juga merasakan dampak pelaksanaan program MBG ini. Bukan kebetulan sepertinya bahwa pihak-pihak yang merasa langsung terdampak adalah perempuan.

Kekuasaan

Meskipun berniat baik, program ini berisiko memperkuat struktur kekuasaan yang maskulin dengan berpotensi menambah beban hingga mereduksi dan mengesampingkan, bahkan mengeksploitasi, peran perempuan dalam konteks sosial dan budaya.

Dalam kajian cultural studies, kebijakan publik sering kali mencerminkan struktur kekuasaan yang mendominasi. Program makan bergizi ini, meskipun terlihat inklusif, berpotensi mempertegas hierarki gender yang telah mapan. Program ini tidak hanya membebankan perempuan sebagai pelaksana utama, tetapi juga mengabaikan dinamika sosial yang melibatkan perempuan dalam berbagai peran, seperti yang dicontohkan sebelumnya.

Baca juga:

Peran domestik paling awal seperti ibu rumah tangga terdampak oleh program ini, khususnya dalam aspek hubungan emosional dengan anak. Menyiapkan bekal makanan sering kali bukan sekadar rutinitas, tetapi juga bentuk kasih sayang dan perhatian yang diberikan seorang ibu.

Dalam pandangan feminisme, kebijakan seperti ini mengambil alih ruang-ruang personal perempuan, di mana mereka memiliki otonomi untuk mengekspresikan diri dan memberikan pengaruh positif kepada anak-anak mereka. Selain itu, penghapusan ritual menyiapkan bekal juga dapat mengurangi peran perempuan dalam mengajarkan nilai-nilai seperti pengalaman dan tanggung jawab, kemandirian, dan pemahaman tentang makanan sehat kepada anak-anak mereka.

Ketika MBG mengambil alih peran ini, terjadi “penghilangan ruang” bagi perempuan untuk mengekspresikan kasih sayang melalui peran tradisional mereka. Ini dapat menciptakan jarak emosional dalam keluarga, yang bertentangan dengan tujuan holistik pembangunan manusia.

Dengannya, kebijakan ini justru mencerminkan pendekatan maskulin, di mana solusi dirancang secara terpusat, dengan sedikit perhatian pada keberagaman pengalaman perempuan. Dalam penelusuran data, detail mekanisme pelibatan perempuan dalam pentahapan program ini tidak tersajikan dengan jelas. Informasi mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP) program ini juga belum tersedia secara lengkap.

Efeknya, guru (yang mayoritas di Indonesia adalah perempuan) menjadi kelompok yang paling terdampak. Program ini menjadikan guru kini tidak hanya bertanggung jawab mengajar, tapi sekaligus sebagai perpanjangan tangan kebijakan. Mereka harus memastikan distribusi makanan, menjaga kebersihan, dan mendampingi siswa saat makan. Beban ini sering kali tidak diiringi dengan pelatihan, dukungan, atau insentif yang memadai, sehingga menambah beban kerja mereka.

Dari perspektif feminisme, peran tambahan ini memperkuat stereotip gender bahwa perempuan adalah “pengasuh alami.” Alih-alih memperlakukan guru sebagai profesional yang bertugas mendidik siswa secara holistik, kebijakan ini memperlakukan mereka sebagai pelaksana kebijakan negara.

Dalam feminisme, pendekatan seperti ini sering disebut sebagai “patriarki institusional,” di mana perempuan diletakkan pada posisi subordinat sebagai pelaksana kebijakan tanpa diberi ruang untuk berperan dalam pengambilan keputusan, termasuk dampaknya terhadap kesejahteraan mereka.

Hal ini juga bertentangan dengan prinsip pendidikan kritis Paulo Freire, yang menekankan pentingnya membebaskan dan memberdayakan pendidik untuk menciptakan transformasi sosial, bukan menambah beban administratif atau membatasi kreativitas kontekstual.

Elemen sekolah lain yaitu pedagang kantin, yang mayoritas perempuan, juga mengeluhkan kebijakan MBG. Makanan yang disediakan gratis oleh pemerintah mengurangi peluang mereka untuk mendapatkan pendapatan yang sebelumnya mereka andalkan untuk menghidupi keluarga.

Hal ini menimbulkan ironi: di satu sisi, program ini bertujuan mengatasi kemiskinan dan kekurangan gizi, tetapi di sisi lain, mengurangi mata pencaharian perempuan yang terlibat dalam sektor informal. Dalam konteks ekonomi informal, perempuan sering kali menjadi aktor utama, dan kebijakan ini secara tidak langsung meminggirkan peran mereka dalam ekosistem ekonomi sekolah.

Ivan Illich dalam kritiknya terhadap institusionalisasi menekankan bahwa program-program besar sering kali mengabaikan kearifan dan kebutuhan lokal. Dalam konteks ini, program makan bergizi tidak hanya merugikan pedagang lokal, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekonomi berbasis komunitas.

Selain itu, jika bahan makanan diadakan melalui pemasok besar atau impor, maka peluang ekonomi untuk petani dan pedagang lokal semakin tergerus. Solusi yang lebih inklusif adalah melibatkan pedagang lokal dalam penyediaan makanan bergizi, sehingga manfaat program ini lebih merata.

Baca juga:

Jangan Sentralistik

Dalam konteks politik Indonesia, program makan bergizi ini bisa dilihat sebagai alat politik yang menunjukkan kecenderungan sentralistik, di mana keputusan dan implementasi dilakukan dari atas ke bawah dan tidak sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pendekatan ini berisiko mengabaikan konteks sosial dan budaya setempat yang seharusnya menjadi dasar dari kebijakan publik.

Keputusan diambil di tingkat pusat, tanpa melibatkan perempuan sebagai pemangku kepentingan utama. Dalam feminisme, pendekatan kebijakan maskulin ini disebut sebagai “silencing“, di mana suara perempuan tidak diakui dalam proses pengambilan keputusan.

Kebijakan ini seharusnya lebih inklusif dengan melibatkan perempuan dalam desain dan implementasinya. Misalnya, ibu rumah tangga, guru, dan pedagang lokal dapat dilibatkan dalam penyusunan menu, distribusi makanan, hingga evaluasi dampak program. Pendekatan ini tidak hanya memberikan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan ini lebih sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Program ini justru bisa menjadi pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh, alih-alih menyediakan makanan gratis, pemerintah bisa memberikan pelatihan kepada ibu-ibu tentang nutrisi, sehingga mereka dapat lebih mandiri dalam mengelola kebutuhan gizi anak-anak mereka. Pendekatan ini lebih berkelanjutan dan mendukung prinsip-prinsip pemberdayaan perempuan dalam jangka panjang, termasuk misalnya dalam isu penanganan stunting yang masih jadi masalah hingga kini.

Diperlukan perhatian penuh dari pemerintah mengenai struktur pelaksanaan program ini dan sejauh mana perempuan dilibatkan dalam setiap tahapannya, mulai dari pengambilan keputusan, mekanisme pemilihan menu, pengadaan hingga distribusi dan SOP pelaksanaan program.

Dengan pendekatan yang lebih inklusif, partisipatif dan sensitif terhadap konteks lokal, program ini dapat menjadi lebih dari sekadar kebijakan kesehatan. Ia dapat menjadi alat untuk memperkuat solidaritas sosial, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, bukan sekadar kebijakan simbolis yang justru menciptakan beban baru bagi perempuan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Purnawan Andra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email