Bocah-Bocah Kosong dan Bias Gender dalam Industri Hiburan

Alvin Nur Romadon

3 min read

Istilah ‘Bocah Kosong’ muncul dari tiga artis muda, yaitu Vior, Meyden, dan Catheez, yang menggunakan sebutan tersebut untuk menggambarkan diri mereka dalam suatu acara TV. Julukan ‘kosong’ ini merujuk pada pesona mereka yang menampilkan karakter perempuan tidak cakap, polos, dan lugu.  Berkat daya tarik tersebut, mereka menjadi semakin dikenal, sering diundang ke berbagai acara TV dan Podcast, hingga akhirnya memiliki program sendiri dengan nama ‘Bocah-Bocah Kosong’ (BBK) di YouTube.

BBK berhasil meraih perhatian penonton dalam jumlah besar. Hampir setiap episodenya dilihat oleh lebih dari satu juga penonton, bahkan ada yang menyentuh tujuh juta penonton.  Kemudian, sebenarnya seperti apa respons audiens terhadap tayangan ini? Jika kita melihat kolom komentar di YouTube dan media sosial, tanggapan terhadap BBK tampak beragam. Sebagian besar penonton menerima dan menilai sebagai hiburan yang menyenangkan, tetapi ada juga yang menyadari fenomena ini merupakan tayangan yang problematik.

Memang, jika diamati lebih dalam, pesona kosong merupakan tren berulang, tidak hanya ditampilkan oleh mereka bertiga. Beberapa acara juga menempatkan karakter semacam ini. Misalnya Dita Fakhrana, yang namanya mulai populer setelah menjadi host di acara Malam-Malam NET TV bersama Tora Sudiro dan Surya Insomnia. Acara tersebut menampilkan dan mengembangkan Dita sebagai perempuan polos dan lugu. Contoh lain adalah acara Lapor Pak TRANS 7, yang juga mengembangkan karakter Ayu Ting-Ting sebagai perempuan dengan pesona ‘kosong’. Ketidaktahuan mereka terhadap berbagai hal menjadi salah satu sajian komedi yang disuguhkan acara-acara tersebut.

Secara historis, penggambaran perempuan semacam ini bukanlah barang baru. Pada awal 2000-an, sinetron komedi ‘Bajaj Bajuri’ TRANS TV membentuk Rieke Diah Pitaloka sebagai Oneng, karakter perempuan yang lamban, tidak rasional, emosional dan tidak mandiri. Bahkan sebutan ‘oneng’ selanjutnya berkembang menjadi sebutan populer bagi perempuan yang lambat dalam berpikir. Kendati tokoh-tokoh perempuan lain tidak memiliki karakter yang sama dengan Oneng, menurut Liestyaningsih, secara umum penokohan dalam sitkom populer ini masih timpang gender.

Baca juga:

Dalam ranah global, pola penggambaran perempuan bodoh memiliki akar sejarah yang panjang, terutama dalam budaya populer Barat. Salah satu contohnya adalah karakter The Dumb Blonde, atau ‘Si Pirang Bodoh’. Marilyn Monroe dalam film Gentlemen Prefer Blondes (1953) dan Goldie Hawn dalam acara komedi sketsa Rowan & Martin’s Laugh-In (1968-1973) merupakan contoh bagaimana industri hiburan menampilkan mereka sebagai perempuan cantik berambut pirang yang bodoh. Selain dua contoh tersebut, karakter-karakter lain ’Dumb Blonde’ menghiasi hampir semua media hiburan publik di Amerika; dari film, acara TV, komik, poster, bahkan dalam lelucon (anekdot) sehari-hari.

Menurut Limor Shifman dan Dafna Lemish, di era post-modern, lelucon yang mengandalkan atribusi perempuan bodoh merupakan sebuah bentuk camouflaged sexism (seksisme terselubung). Seksisme di sini adalah prasangka dan anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior daripada jenis kelamin lain dengan perempuan lebih sering menjadi korban. Disebut terselubung karena pada umumnya bentuk humor ini tidak secara eksplisit diatribusikan kepada semua perempuan, berbeda dengan era 1940 hingga 1980-an, di mana ‘kebodohan’ adalah ciri utama lelucon tentang wanita. Pola ini bisa terlihat dalam fenomena Bocah-Bocah Kosong’ beberapa tahun terakhir, di mana perempuan digambarkan dengan sifat polos dan naif sebagai daya tarik utama.

Dari Representasi ke Stereotip

Selain melanggengkan tradisi seksisme dalam representasi perempuan di media, tayangan seperti BBK juga berpotensi menimbulkan dampak yang lebih serius—sebagimana yang terjadi pada fenomena The Dumb Blonde’.

Stereotip perempuan pirang bodoh tidak hanya melekat pada karakter fiksi dalam tayangan hiburan atau aktor yang memerankannya, tetapi juga meluas ke dunia nyata, memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap perempuan berambut pirang secara umum. Anggapan ‘bodoh’ yang awalnya hadir dalam layar, berkembang menjadi stigma sosial yang mendiskriminasi perempuan berdasarkan penampilan fisik, memperkuat bias gender yang merugikan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, stereotip The Dumb Blonde juga memperkuat norma patriarkal yang selama ini banyak merugikan perempuan. Menurut Katarina Smoljo, stereotip ini telah ikut serta membangun pemahaman bahwa perempuan yang dianggap menarik adalah mereka yang pasif, tunduk kepada pria, serta memiliki daya tarik fisik—cantik, menggoda, dan sensual. Pemahaman tersebut lahir karena masifnya karakterisasi perempuan pirang sebagai sosok yang bodoh, dan penampilan mereka dirancang sedemikian rupa untuk tujuan fetishisasi, melayani male gaze, tatapan pria yang memandang perempuan sebagai objek visual semata.

Meskipun fenomena ‘Bocah Kosong’ tidak semasif The Dumb Blonde, dan muncul di era serta latar budaya yang berbeda, namun pola yang sama mulai terlihat dalam cara tayangan hiburan Indonesia mengkonstruksi citra perempuan. Media sama-sama menciptakan dan menjual daya tarik perempuan dengan mengobjektifikasi—baik dari aspek fisik maupun intelektual.

Baca juga:

Seperti halnya The Dumb Blonde, karakter ‘Bocah Kosong’ berpotensi melahirkan stereotip yang mempersempit citra perempuan di masyarakat. Perempuan yang sesuai dengan gambaran ini dianggap menarik karena memenuhi ekspektasi patriarkal: penurut, minim kompleksitas, dan hanya dinilai berdasarkan daya tarik visual.

Lebih jauh, stereotip ‘kosong’ dapat memengaruhi cara masyarakat melihat perempuan secara umum, terutama dalam konteks media hiburan. Tayangan seperti BBK, Malam-Malam, dan Lapor Pak tidak hanya menormalisasi stereotip ini, tetapi juga memperluas penerimaannya di kalangan penonton, baik sebagai hiburan ringan maupun sebagai lelucon yang dianggap tidak berbahaya. Akibatnya, perempuan di luar layar pun berisiko menghadapi stigma serupa, terutama jika mereka dianggap sesuai dengan citra yang dibangun oleh media.

Selain kritik terhadap media—sebagai produsen utama—sorotan juga perlu diarahkan kepada audiens yang juga secara langsung mendukung perpetuasi stereotip melalui konsumsi tayangan semacam ini. Penonton, dengan menikmati dan memberikan perhatian besar pada program seperti ‘Bocah-Bocah Kosong’, turut memperkuat popularitas representasi perempuan yang problematis. Di era media sosial, audiens berperan penting dalam tren budaya melalui kerja algoritma. Oleh karena itu, audiens perlu lebih selektif dan kritis dalam memilih konten hiburan, serta mendukung representasi perempuan yang lebih adil.

 

 

Editor: Pihandini N

Alvin Nur Romadon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email