Rasionalitas dan kebenaran dipukul berat oleh suatu berita yang disampaikan oleh perusahaan Meta. Perusahaan induk beberapa situs media sosial tersebut mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan sistem pengecekan fakta oleh pihak ketiga pada semua platform mereka, yakni Facebook, Instagram, Whatsapp, dan Threads, di Amerika Serikat dan seluruh dunia secara bertahap. Sebagai gantinya, sebuah program catatan komunitas (community notes) akan dibuat, di mana komunitas itu sendiri akan mengulas konten-konten yang ada di platform mereka. Mereka mencontoh apa yang telah dilakukan X (Twitter)—media sosial milik Elon Musk—dengan sistem catatan komunitas mereka sendiri.
Meta berargumen bahwa para pengecek fakta pihak ketiga sering kali menunjukkan bias tertentu dalam menargetkan dan memperingati konten-konten yang bermasalah. Alhasil, ini mengancam kebebasan berekspresi semua pengguna platform mereka dan membangkang berbagai pandangan yang berbeda. Oleh karena itu, Meta akan “kembali ke komitmen dasar” dengan mendukung hak beropini dan menggantikan metode pengecekan fakta pihak ketiga dengan catatan komunitas untuk menangani kasus-kasus misinformasi.
Namun, hal tersebut dipandang sebagai suatu kejadian yang negatif oleh berbagai pihak, terutama para pengecek fakta. Pada hakikatnya, kebijakan tersebut bukan cara yang bijak dalam membatasi penyebaran berita palsu ataupun yang sebagian benar. Keberadaan pengecek-pengecek fakta bertujuan menentukan apakah sesuatu benar atau tidak secara cepat dan tegas. Akan tetapi, jika sistem ini diubah menjadi catatan komunitas, pengecekan fakta akan berjalan secara lambat dan tidak efisien.
Karakteristik tersebut dikemukakan oleh Tim Graham, profesor media digital Universitas Teknologi Queensland. Menurutnya, catatan komunitas memiliki kemampuan yang terbatas dalam menghadapi pelbagai konten yang bermasalah karena naturnya yang melibatkan pandangan-pandangan yang berbeda dalam menentukan suatu kebenaran suatu hal, khususnya jika informasi yang diperdebatkan berkaitan dengan politik. Keterlambatan dalam memperingatkan bahwa suatu informasi bermasalah justru membuat kabar tersebut mengelabui lebih banyak orang dan tersebar lebih lama. Tentu saja, kejadian tersebut melemahkan kekuatan fakta dan data serta meningkatkan pengaruh hoaks, misinformasi, dan konten sensasional.
Baca juga:
Peristiwa menyedihkan itu hanya mempertunjukkan bahwa dunia—termasuk Indonesia—sudah memasuki dan bahkan acap kali memperkuat suatu zaman yang dipenuhi kebohongan dan kerelaan untuk mengesampingkan fakta, yaitu era pascakebenaran.
Wabah Pascakebenaran di Indonesia
Konsep pascakebenaran (post-truth) pertama kali disampaikan oleh penulis Amerika Steve Tesich dalam artikelnya, A Government of Lies, mengenai kebohongan-kebohongan pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1992. Gagasannya lahir sebab penilaian bahwa publik sering harus memilih kebenaran atau harga diri dan mereka cenderung memilih pilihan kedua. Ini terlihat ketika peristiwa skandal Contra Ronald Reagan mempertunjukkan bahwa banyak masyarakat Amerika memilih tidak percaya kepada kenyataan yang berdampak buruk kepada tampang negara mereka.
Pascakebenaran adalah suatu zaman yang dikarakteristikkan dengan pelemahan fakta dan data serta penguatan opini, perasaan, dan misinformasi. Dalam konteks kasus Meta di atas, fakta dan data tidak lagi dihargai sebegitu besar dibandingkan berbagai pandangan, opini, dan perasaan yang kerap kali muncul dalam sistem catatan komunitas. Akibatnya, berita palsu, misinformasi, konten sensasional, serta informasi bermasalah lainnya akan memiliki pengaruh yang lebih besar dalam ekosistem digital platform-platform Meta.
Ini menjadi ancaman bagi masyarakat dunia karena misinformasi dapat menimbulkan ancaman-ancaman yang mengeksploitasi perasaan dan mempolarisasi publik. Ancaman-ancaman tersebut sangat fatal di Indonesia secara khusus karena pluralitas yang menjadi identitas negara ini. Kominfo (sekarang Komdigi) menemukan bahwa 12.547 kasus misinformasi diidentifikasi pada periode tahun 2018—2023.
Untuk menavigasi era ini tanpa dimakan oleh arus misinformasi, suatu masyarakat harus bisa berpikir kritis dan logis. Akan tetapi, sayangnya, masyarakat Indonesia belum mendemonstrasikan kemampuan tersebut dan malah menunjukkan hal yang bertentangan. Dalam survei Digitroops, 48,9% dari semua yang mengetahui berita palsu yang menyatakan bahwa Joko Widodo sengaja membanjiri Indonesia dengan tenaga kerja asing mempercayai hoaks tersebut.
Kemampuan berpikir kritis yang kurang juga dapat dilihat pada skor hasil tes Programme for International Student Association (PISA). Skor PISA tahun 2022 menurun dari apa yang diperoleh pada tahun 2018. Hal tersebut seharusnya memprihatinkan, tetapi dianggap baik oleh pemerintah karena peringkat Indonesia naik. Jika kita membandingkan skor PISA 2022 Indonesia—yakni 359 dalam membaca, 366 dalam matematika, dan 383 dalam sains—dengan rata-rata yang dicapai, yaitu sekitar 450—500-an, Indonesia bagaikan siput dalam dunia pendidikan.
Baca juga:
Sebenarnya, pendidikan itu penting untuk menghadapi masa ini. Kita tidak bisa mengontrol apa yang dilihat masyarakat di media sosial, sehingga masyarakat itu sendiri yang harus cerdas dalam menghadapinya. Namun, pendidikan Indonesia tidak siap menghadapi era pascakebenaran karena manusia-manusia yang dihasilkan kurang dapat berpikir kritis. Sering kali, alasan-alasan yang dilontarkan adalah sikap banyak pembimbing murid yang kurang menghargai pendapat berbeda dan pertanyaan, seperti apa yang disampaikan dalam artikel “Mengapa Pelajar di Indonesia Sulit Berpikir Kritis” (Kompas.id, 22 November 2020). Namun, pembatasan opini dan pertanyaan ini memiliki akar yang lebih dalam dan sudah tumbuh begitu lama bahkan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
Warisan Kolonial
Pendidikan formal modern diperkenalkan oleh Belanda pada 1901 karena politik etis. Kebijakan yang diprakarsai beberapa kritikus Belanda itu bertujuan “membalas budi” kepada penduduk Hindia Belanda karena eksploitasi sumber daya alam yang telah dilakukan pemerintah kolonial. Akan tetapi, pendidikan ini memiliki tujuan terselubung yang kurang mulia, yakni memproduksi pekerja murah bagi Belanda. Oleh karena itu, pendidikan di Hindia Belanda diwarnai sebuah karakteristik yang kurang berkenan kepada pemikiran kritis, yaitu keterbatasan tujuan.
Keterbatasan tujuan merujuk kepada peran terbatas sekolah yang berfungsi hanya untuk membuat para warga Hindia Belanda menjadi pegawai/pekerja murah. Hal ini juga berhubungan dengan konsep banking yang dikemukakan oleh Paulo Freire dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed. Paulo menjelaskan bahwa konsep banking adalah suatu metode pendidikan yang memperlakukan murid sebagai objek dan guru sebagai subjek. Guru adalah pelaku utama dan narator yang mengisi otak-otak murid dengan pengetahuan dan gagasan. Tugas murid hanyalah menerimanya saja, tanpa berpikir lebih jauh ataupun berdialog.
Paulo berargumen bahwa konsep banking didesain untuk merepresi kemampuan kritis, analitis, dan kreatif murid-murid dengan cara membatasi peran mereka dalam pendidikan. Dengan demikian, mereka dibentuk semau-maunya oleh guru atau sistem pendidikan yang menerapkan konsep ini. Karena Belanda bertujuan membentuk pegawai/pekerja murah yang tentu saja harus memiliki loyalitas sepenuhnya kepada mereka, keterbatasan tujuan dan banking digunakan secara intensif dalam sistem edukasi.
Namun, 79 tahun setelah Indonesia merdeka, sisa-sisa kedua unsur ini masih terdapat dalam pendidikan kita dan juga menyebabkan kelalaian integritas akademik. Sekarang, seperti yang disampaikan Siti Murtiningsih, pendidikan kita berangsur-angur bergeser dari tujuan seharusnya, yakni menghasilkan manusia yang bermartabat dan bisa berpikir kritis, analitis, serta kreatif, menjadi ajang untuk mencari pekerjaan saja. Oleh sebab itu, tujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan ijazah yang mereka peroleh menjadi prioritas peserta didik.
Konsep Banking juga masih menghantui pendidikan modern Indonesia. Menurut Alim Harun Pamungkas—pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang—kebiasaan siswa dalam bertanya merupakan unsur yang dapat membangun kemampuan berpikir kritis. Namun, dengan membatasi pertanyaan siswa, siswa menjadi takut bertanya dan hal tersebut mengikis kemampuan berpikir kritis mereka. Alim juga mengobservasi tren yang menunjukkan kemauan siswa bertanya terkikis seiring berjalannya hidup. Anak-anak pada jenjang SD sering bertanya dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Akan tetapi, saat duduk di bangku kuliah, mereka jarang bertanya dan pertanyaan hanya dipandang sebagai suatu ritual perolehan nilai partisipasi, bukan sesuatu untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia ini dan melatih cara kita berpikir tentang suatu topik.
Alhasil, masyarakat Indonesia belum siap dengan dunia pascakebenaran. Fenomena penggantian pengecek fakta dengan catatan komunitas Meta menjadi indikasi bahwa dunia akan semakin dipenuhi dengan kebohongan dan ketidakpedulian akan fakta dan data. Sistem pendidikan yang didesain untuk abad ke-20 masih digunakan lebih dari 100 tahun kemudian.
Kita perlu meninjau ulang kembali tujuan pendidikan kita yang seharusnya menghasilkan manusia-manusia yang dapat berpikir kritis, logis, dan analitis serta tidak dengan mudah termakan berita-berita palsu di internet. Dalam hal ini, kita berharap bahwa ke depannya, dalam merealisasikan visi Indonesia Emas 2045, generasi muda sekarang dapat membawa perubahan dan mengisi kemerdekaan dengan inovasi-inovasi pendidikan. Semoga kecerdasan generasi Z dalam literasi digital mampu melumat berbagai tantangan di era revolusi digital yang semakin cepat ini. (*)
Editor: Kukuh Basuki