Bisa menguasai bahasa yang dicap sebagai bahasa internasional ini rasanya tidak lagi menjadi suatu keistimewaan, tetapi kewajiban. Perlahan, bahasa Inggris telah menjadi sesuatu yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang mampu berbahasa Inggris dengan baik semakin dianggap biasa karena semakin banyak anak bangsa yang memiliki keahlian tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang masih belum menguasainya, bahkan menganggap bahasa satu ini sebagai sesuatu yang jauh. Ada pula yang berpikir bahwa menguasai bahasa Inggris bukan hal yang begitu penting dalam hidup mereka.
Baca juga:
Saya sempat memandang aneh sikap tak acuh tersebut. Saya pernah jadi sosok yang begitu emosian terhadap mereka yang gemar melontarkan sindiran “sok Inggris” terhadap siapa pun yang memilih untuk berbicara dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Tiap kali mendapat respons “gak bisa bahasa enggres”, saya kerap terpantik membalas dengan begitu sinis. Masa itu, saya sering kali terpikir, “Memangnya apa susahnya, sih, belajar bahasa Inggris di zaman sekarang?”
Pertanyaan itu terus terngiang di kepala saya selama beberapa waktu. Kemudian, terjadi banyak peristiwa terkait itu yang saya lihat dan alami sendiri. Temuan itu mengantarkan saya kepada jawaban bahwa, ya, belajar bahasa Inggris memang susah. Ada beberapa masalah mendasar yang menyulitkan pelajaran bahasa Inggris.
Perbedaan Kelas
Perbedaan kelas adalah akar dari berbagai masalah. Tidak terkecuali masalah tidak meratanya kemampuan berbahasa Inggris anak Indonesia di zaman serba ada seperti sekarang. Perbedaan kelas terlahir dari adanya kesenjangan sosial yang kemudian menghadirkan suatu relasi kuasa. Dalam perbedaan kelas, akan ada pihak yang berada di posisi lebih superior atau berkuasa dibandingkan pihak lainnya.
Superioritas suatu individu terhadap individu lainnya dapat ditunjukkan melalui berbagai instrumen, salah satunya melalui bahasa. Bahasa adalah instrumen yang erat kaitannya dengan kekuasaan dan dominasi. Ia melambangkan suatu sistem kekuatan. Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1991) mengungkap bahwa pada setiap pembicaraan akan terdapat pihak yang mendominasi dan yang didominasi.
Mereka yang berbahasa inggris, yang berbicara menggunakan kata-kata seperti ‘which is’, ‘literally’, ‘basically’, dan kawan-kawannya sering kali akan dikaitkan atau didefinisikan sebagai anak bergaya Jaksel atau Jakarta Selatan. Jaksel adalah daerah yang identik dengan masyarakat elit, gaul, dan trendy. Letaknya strategis, dipenuhi berbagai pusat bisnis serta hiburan. Lantas, apa hubungannya? Kenapa penggunaan bahasa Inggris dikaitkan dengan Jaksel? Hal ini berkaitan dengan akses.
Sebagian besar dari mereka yang tinggal di daerah kosmopolit semacam Jaksel akan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk menerima bahasa Inggris. Di sana terdapat kemudahan akses untuk mempraktikkan dan mempelajari bahasa satu ini dalam keseharian. Kasarannya, berjalan sedikit saja di daerah Jaksel, kamu pasti terpapar bahasa Inggris. Kondisi ini yang tidak dimiliki banyak daerah lainnya.
Bahasa Inggris lantas diasosiasikan sebagai simbol masyarakat kosmopolitan elit. Simbol yang menunjukkan betapa bahasa ini belum menjadi sesuatu yang dapat diakses semua kalangan serta bukti nyata adanya kesenjangan di masyarakat. Sumber untuk mempelajari bahasa Inggris memang semakin banyak, tapi apakah hal itu diiringi pula dengan semakin banyaknya akses untuk menjangkau sumber-sumber tersebut, terutama untuk mereka yang tidak tinggal di daerah seperti Jaksel? Sampai saat ini, sih, belum.
“Sok Inggris” dan “Gak Bisa Bahasa Enggres”
Sindiran “sok Inggris” dan meme “gak bisa bahasa enggres” adalah dua contoh respons terhadap kesenjangan akses tersebut. Kesannya, ungkapan-ungkapan itu sekadar ekspresi keirian saja—tidak lebih dari itu. Padahal, di baliknya ada perbedaan kelas dan kesenjangan akses yang membuat pelontar ungkapan-ungkapan tersebut merasa terpinggirkan. Ada faktor yang membuat mereka dibedakan ketika sesungguhnya mereka memiliki hak yang sama dengan orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris secara reguler. Namun, realitanya tidak seperti itu.
Kalaupun orang-orang tersebut kemudian bisa menjangkau akses itu dengan susah payah, akan muncul pertimbangan baru. Dengan kondisi tidak mampu, apakah usaha mereka belajar bahasa Inggris akan sia-sia? Apakah hasil yang didapatkan akan setimpal?
Mempelajari bahasa itu proyek jangka panjang. Cenderung sulit untuk bisa menikmati hasilnya secara instan. Terlebih, jika seseorang butuh mendapatkan uang dalam waktu singkat untuk memenuhi kebutuhan hidup paling mendasar bayar tagihan listrik, air, tempat tinggal, bahkan untuk makan sehari-hari. Kalau sudah seperti itu, bisa saja belajar bahasa Inggris justru dianggap menambah beban. Sudah dibuat susah dengan segala kebutuhan sehari-hari, tambah dibuat susah dengan mempelajari bahasa asing yang tidak pasti hasilnya akan seperti apa, lama pula. Tentu saja mereka akan memilih opsi lain yang kalaupun tidak begitu menguntungkan, setidaknya tidak menambah beban dan aksesnya mudah.
Pembelajaran bahasa Inggris di sekolah semestinya bisa menjadi cara agar lebih banyak orang dapat menguasai bahasa satu ini. Namun, di banyak sekolah, pembelajaran bahasa tidak efektif. Meskipun perencanaan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah terlihat semakin diperhatikan dengan berbagai evaluasi serta perubahan kurikulum, praktiknya di lapangan belum membuahkan hasil yang diharapkan.
Baca juga:
Kita seolah terlena dengan kemajuan teknologi yang memberikan berbagai sumber untuk belajar bahasa Inggris sehingga menganggap permasalahan-permasalahan tersebut sudah terpecahkan. Alih-alih terpecahkan, situasinya justru sekarang begini: masalah dari segi pembelajaran dasar di sekolah tidak teratasi, masalah dari segi pembelajaran alternatif dengan memanfaatkan teknologi pun semakin runyam.
Editor: Emma Amelia