Dalam salah satu unggahan reels-nya, Okky Madasari membahas bahasa Indonesia dan pengajarannya. Pembahasan itu dimulai dengan pertanyaan yang cukup menggelitik terkait alasan di balik pelajaran Bahasa Indonesia membosankan dan berakhir tidak penting.
Saya menyepakati pandangan Mbak Okky bahwa Bahasa Indonesia ditempatkan sebagai rumus-rumus. Pendidikan kita—tidak hanya sebatas pembelajaran bahasa—harus diakui masih dilaksanakan di tataran menghafal. Nilai dan keberhasilan pendidikan dipandang dari mampu-tidaknya peserta didik menghafal berbagai teori. Kemampuan menerapkan teori itu pun sebatas pada soal-soal yang harus diakui sering kurang aplikatif.
Nah, hal ini bisa jadi merupakan imbas dari pemahaman yang kurang tepat terhadap taksonomi pembelajaran. Memang, tataran dasar dalam pengetahuan (C1) adalah mengingat. Tapi, ya, ndak terus semua-muanya diingat saja atau diperlakukan sebagai sebuah ingatan saja. Lagi pula, pembelajaran, ‘kan, tidak melulu soal pengetahuan. Masih ada aspek keterampilan dan sikap yang perlu mendapat perhatian juga.
Baca juga:
Jika kita cermati, Bahasa Indonesia sebenarnya ditetapkan sebagai mata pelajaran penghela ilmu pengetahuan. Artinya, pembelajaran Bahasa Indonesia melesap dalam pembelajaran lain. Dampaknya, guru tidak perlu memperlakukan mata pelajaran ini sebagai rumus dan melepasnya dari fungsi bahasa itu sendiri. Justru, guru perlu mengajak peserta didik melihat dan menggunakan bahasa untuk mendukung pemahaman mereka di mapel lain.
Pada tataran lebih lanjut, pengajar bahasa perlu mengajak peserta didik menggunakan pengetahuan bahasanya itu dalam kehidupan sehari-hari. Setelah sampai pada tingkatan ini, pembelajaran bahasa jadi tidak membosankan, kok. Pembelajaran bahasa jadi sangat aplikatif dan dinamis.
Masalahnya, ide bagus itu belum tentu terlaksana secara baik di tataran praktik. Kita semua tahu, kualitas pendidikan kita memang belum merata di banyak aspek. Guru Bahasa Indonesia yang inspiratif dan sungguh melaksanakan pembelajaran bahasa sesuai cita-cita mulia itu tidak tersebar merata. Itu belum soal sarana prasarana, kearifan lokal yang berpengaruh pada penggunaan bahasa Indonesia, dan banyak hal teknis lain.
Selama tiga tahun saya ikut dalam Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi yang melibatkan universitas tempat saya bekerja dan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Penelitian ini menemukan data terkait kompetensi guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris di enam wilayah di Indonesia yang kami teliti. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2018-2020 ini menunjukkan bahwa guru yang kami teliti memiliki kemampuan yang memadai. Hanya saja, pada tataran praktik, ada guru yang gagap menjadi contoh nyata.
Pemahaman guru terkait fungsi dan penggunaan bahasa merupakan hasil dari pendidikan sebelumnya dan pengalamannya mengajar selama bertahun-tahun. Tapi, persoalan klasiknya adalah mereka belum tentu mampu memberi contoh pemahaman teori itu dalam praktik yang tepat. Contohnya, ada guru yang menulis esai singkat dengan memberikan titik di setiap kata. Artinya, guru yang bersangkutan tidak menerapkan pemahamannya terkait ejaan dan kalimat.
Saya dan tim juga melakukan penelitian terkait pembelajaran menyimak. Penelitian yang didanai Kemenristekdikti pada tahun 2018 itu mendapati bahwa pembelajaran bahasa di sekolah dasar yang diteliti dilaksanakan secara parsial. Padahal, guru memahami konsep pembelajaran tematik dan posisi mapel Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan tersebut.
Pembelajaran bahasa juga sering kali dilaksanan secara kurang tepat. Misalnya, pembelajaran menyimak dilaksanakan dengan cara meminta peserta didik bergantian membacakan teks. Hal itu menyebabkan pembelajaran menyimak tidak berjalan optimal, bahkan bergeser menjadi pembelajaran membaca.
Ketimpangan pelaksanaan pembelajaran yang berujung pada persepsi terhadap pelajaran Bahasa Indonesia ini menurut saya disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, saya menyepakati pendapat Mbak Okky bahwa pembelajaran bahasa tidak dikaitkan dengan masyarakat. Pengajar bahasa tahu bahwa bahasa bersifat dinamis. Tapi, mereka lupa membawa pengetahuan akan kedinamisan bahasa itu ke ruang kelas. Dampaknya, pengajar bahasa tidak adaptif, kemudian memilih tindakan aman dengan berlindung di rumus-rumus atau tata bahasa. Pelajaran bahasa pun jadi kaku kayak kanebo. Wajar jika kemudian berakhir dengan keluhan bosan.
Baca juga:
Pengajar bahasa sering tidak bisa menerima ungkapan/ jargon/ bahasa slang yang muncul di masyarakat. Bahkan, jangan-jangan, takut berpendapat tentang inovasi bahasa itu. Sementara itu, peserta didik yang ada di rentang usia muda, lekat dengan berbagai media sosial dan berada di pusaran berbagai informasi menjadi bingung. Di ruang kelas, mereka belajar tentang bahasa yang begitu jauh dari praktik berbahasa yang ditemukannya sehari-hari.
Pada tataran praktik, hal ini didukung dengan kerepotan lain sebagai guru. Kita mesti mengakui bahwa guru kita diperlakukan sebagai manusia serbabisa. Ada begitu banyak tuntutan dan urusan administratif yang mesti diselesaikan. Oh, melelahkan sekali, bestie. Urusan administratif itu membuat fokus mengajar jadi bergeser. Jadi, ya, begitulah, boro-boro mengajak peserta didik praktik berbahasa. Tenaga yang terkuras itu menyebabkan kreativitas para guru meredup tiba-tiba.
Faktor kedua adalah kepraktisan. Harus diakui, ketika pengajar menempatkan teori dan rumus sebagai sesuatu yang penting, penilaian bisa diakali menjadi lebih praktis. Lebih mudah bagi pengajar bahasa jika pembelajaran dilakukan dengan menghafal struktur dan teori. Sebab, soalnya jelas dan kunci jawabannya baku.
Terkait kepraktisan juga menjadi sebab pembelajaran bahasa dilaksanakan secara parsial. Alasannya, laporan hasil belajar parsial. Dampaknya, bahasa tidak dimanfaatkan untuk mengonstruksi dan mendukung pemahaman materi pada mapel lain.
Faktor ketiga adalah pendekatan pembelajaran yang digunakan. Pendekatan pembelajaran ini besar dampaknya dalam proses pembelajaran dan cara pandang terhadap bahasa. Pengajar bahasa sebenarnya punya pilihan mengajak peserta didiknya membangun pengetahuan dan mengaplikasikannya. Tak hanya itu, pengajar bahasa juga punya pilihan memberi perhatian secara adil pada kemampuan lisan dan tertulis peserta didik. Ia juga perlu mengamati perkembangan empat keterampilan berbahasa peserta didiknya.
Baca juga:
Berbicara tentang bahasa dan pembelajaran bahasa memang ruwet. Hal indah dalam pembelajaran bahasa menjadi angan-angan yang entah kapan terwujud. Tantangan pembelajaran bahasa adalah persoalan yang kompleks.
Namun, saya masih optimis. Kita tidak miskin pengajar bahasa yang hebat dan mumpuni, kok. Tak hanya itu, bangsa ini juga memiliki banyak sumber daya manusia yang memiliki perhatian pada bahasa Indonesia dan pembelajaran bahasa Indonesia. Jadi, ya, tinggal menyikapi keruwetan ini sebagai tantangan bersama, bukan?
Editor: Emma Amelia