Jujurly, mengsedih, mengkaget. Bahasa gaul anak sekarang terasa semakin nyeleneh. Apakah ini adalah bagian dari bentuk kreativitas?
Kreativitas anak muda semakin nyeleneh dalam menggunakan bahasa. Dari TikTok, tren penggunaan imbuhan ngawur dibuat. Hasilnya, tren bahasa nyeleneh jujurly dan sehonestnya lahir. Pada kata jujurly, kata jujur dari bahasa Indonesia mandapat imbuhan -ly dari bahasa Inggris. Sementara pada kata sehonestnya, kata honest dari bahasa Inggris, mendapat imbuhan se- dan -nya dari bahasa Indonesia. Mungkin saja, ini merupakan plesetan dari kata sejujurnya dan honestly.
Tren lain yang tak kalah nyeleneh adalah penggunaan imbuhan meng- pada kata sifat seperti sedih, capek, dan kaget. Polanya menjadi mengsedih, mengcapek, dan mengkaget. Dalam bahasa Indonesia, imbuhan meng- digunakan untuk membentuk kelas kata kerja. Sementara penggunaan kata sifat seperti sedih, capek, kaget tak perlu menggunakan imbuhan.
Tren bahasa nyeleneh ini marak digunakan di media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, atau Twitter.
“Jujurly, kamu sepertinya pembaca pertamaku yang pakai jujurly hahha.” diiringi emoji tangan menempel dan hati, sembari bergurau, Okky Madasari menyambar twit seorang penggemar yang menyelipkan kata jujurly saat mengekspresikan kebahagiannya setelah membaca novel karya beliau, Maryam. Pada twit tersebut, pemakaian kata nyeleneh jujurly di kalangan anak muda menjadi highlight-nya.
Bahasa Slang dari Masa ke Masa
Pada tahun 70-an, kalangan preman membuat kata-kata baru agar komunikasi mereka tak dapat dipahami orang umum. Maka lahirlah bahasa prokem. Bahasa ini semakin populer berkat novel Ali Topan Anak Jalanan (1977) karya Teguh Esha. Kata yang muncul pada masa itu antara lain nyokap (ibu), bokap (ayah), plokis (polisi), dan bokis (bohong).
Pada tahun 80-an, tren bahasa gaul muncul lewat sandiwara radio dan film. Sandiwara radio Catatan Si Boy (1985) dan film Warkop DKI turut menancapkan pengaruhnya sebagai penyumbang kata-kata gaul pada masa itu. Kata seperti gokil (keren), bokek (tak punya uang), pembokat (pembantu), dan ajojing (dansa) menjadi tren kalangan anak muda.
Bahasa gaul terus berkembang dan beragam bentuknya. Tahun 2000-an, giliran bahasa binan alias bahasa waria yang menjadi tren. Sebut aja kata rempong (ribet), emberan (memang benar), segambreng (banyak), cin (cinta), cucok (cocok), begindang (begitu), sapose (siapa), dan masih banyak yang lainnya.
Bahasa alay mencapai puncaknya pada tahun 2010-an. Jangan lupakan tren kombinasi huruf dan angka yang tentu saja bikin sakit mata orang yang membacanya.
Tahun-tahun berikutnya, tren bahasa slang bermunculan di media sosial. Bentuknya singkatan dari dua kata, seperti kata baper (bawa perasaan), mager (malas gerak), bucin (budak cinta), dan pansos (panjat sosial).
Bahasa asing juga ikut menanamkan pengaruhnya dalam perkembangan tren bahasa. Akhir-akhir ini, kata-kata seperti toxic, ghosting, spill, dan blunder marak disisipkan dalam percakapan di media sosial. Anak muda lebih memilih menggunakan kata dari bahasa Inggris tersebut ketimbang menggunakan padanan katanya.
Pengaruh Psikologis
Omong-Omong berkesempatan mewawancarai Sigit Widiatmoko, Dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta tentang perkembangan bahasa slang ini.
Menurutnya, tren bahasa slang biasanya memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Kata-kata seperti itu hanya muncul pada waktu yang singkat dan wilayah terbatas. Itu sebabnya, ada beberapa kata nyeleneh yang telah redup, meski ada juga yang masih dipakai sampai sekarang.
“Bahasa slang selalu muncul di dalam kehidupan dinamis masyarakat. Dulu zaman ayah ibu kita, disebut bahasa prokem. Di zaman saya, disebut bahasa gaul. Di zaman ini, disebut bahasa alay,” kata Sigit.
Lebih jauh Sigit mengungkapkan bahwa anak muda yang menciptakan tren bahasa dipengaruhi oleh kondisi psikologis. Anak muda selalu ingin mencoba hal baru. Meski pun kadang hal tersebut di luar kepatutan. Banyak faktor yang melatarbelakangi, salah satunya adalah keinginan untuk mendapat pengakuan bahwa dirinya bagian dari suatu komunitas.
Perubahan hormon saat pubertas tak hanya mempengaruhi kondisi fisik, tetapi juga kondisi psikis. Perubahan kondisi psikis ini berpengaruh pada penggunaan bahasa.
Dalam konteks bahasa, dari awal kelahiran, otak manusia berfungsi sebagai alat penyerap (reseptif). Sedangkan saat pubertas, fungsinya berubah jadi produktif sehingga mampu menghasilkan kata-kata yang mungkin secara ketatabahasaan tak benar, tetapi itu merupakan ekspresi psikis dalam dirinya.
Pentingnya Konteks
Sigit menuturkan bahwa kemampuan memahami konteks begitu penting dalam berbahasa. Ketika bergaul dengan teman, tentu boleh menggunakan variasi pergaulan. Namun, saat bicara di forum-forum resmi, bahasa yang digunakan pun harus menyesuaikan. Oleh karena itu, keterampilan bahasa menjadi sangat penting. Seseorang dikatakan terampil berbahasa ketika dia tahu kapan dan di mana harus menggunakan bahasa tertentu.
Media sosial merupakan ruang pribadi. Untuk menyebut bahwa media komunikasi tersebut formal atau tidak, akan bergantung pada konteksnya, yaitu tergantung kapan dan siapa yang diajak bicara.
Menurut Sigit, masih ada anak muda yang tidak tahu bahasa yang harus digunakan di ruang-ruang formal. Sehingga bahasa-bahasa yang seharusnya hanya digunakan di ruang santai, tetap digunakan di ruang formal. Lembaga sekolah dan kampus, sudah selayaknya memberikan ruang bagi siswa dan mahasiswa untuk melatih keterampilan berbahasa di ruang formal.
Etika menggunakan media sosial juga harus menjadi perhatian di kalangan anak muda. Sebab, citra seseorang di media sosial dapat membantu citra di kehidupan nyata.
Tren bahasa akan selalu ada dari masa ke masa. Tak menutup kemungkinan, pada masa yang akan datang, akan lahir tren bahasa baru. Patut ditunggu pola seperti apa yang akan mencuat, dari mana, dan siapa gerangan yang akan mencetuskannya.
2 Replies to “Jujurly, Ada Apa dengan Bahasa Anak Sekarang?”