Selain di dalam kekuasaan eksekutif, dinasti politik juga kerap ada di dalam tubuh kekuasaan legislatif. Maraknya dinasti politik menyebabkan penyalahgunaan tugas dan fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Indonesia Corruption Watch atau ICW melaporkan bahwa sebanyak 174 dari 580 anggota DPR hasil Pemilu 2024 terindikasi terlibat dinasti politik (Ayuningtyas, n.d.). Itu artinya, 30% dari jumlah anggota DPR telah terlibat dalam praktik nepotisme. Kemudian, menurut peneliti ICW, Yassar Aulia, persebaran dinasti politik terbanyak berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat sebanyak 36, Jawa Timur sebanyak 19, dan Jawa Tengah sebanyak 18. Untuk persebaran dinasti politik berdasarkan partainya, Partai Golkar menjadi partai terbanyak dengan 38 anggota, Gerindra dengan 28 anggota, NasDem dengan 25 anggota, PDIP dengan 18 anggota, PKB dengan 17 anggota, Demokrat dengan 16 anggota, dan terakhir PAN dengan 10 anggota (Muarabagja, n.d.).
Dinasti politik di tubuh DPR dapat mengancam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dinasti politik ini juga dapat mengganggu penerapan check and balance antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Lantas, mengapa dinasti politik bisa terjadi di DPR?
Buruknya Sistem Kaderisasi Partai Politik
Praktik dinasti politik yang terjadi di DPR tidak bisa lepas dari kontribusi partai politik di Indonesia. Hilangnya ideologi dalam tubuh partai politik di Indonesia membawa partai politik kepada jurang pragmatisme politik yang kronis. Ketiadaan ideologi membuat partai politik rela untuk menggadaikan apa saja untuk kepentingan politiknya termasuk dalam rekrutmen kader partai.
Baca juga:
Pemilu tahun 2024 setidaknya dapat menjadi contoh betapa pragmatisnya partai politik di Indonesia dalam menentukan kader-kadernya untuk terlibat dalam pencalonan anggota DPR. Pada Pemilu 2024, partai politik berbondong-bondong merekrut kalangan artis atau pengusaha yang memiliki modal besar untuk dicalonkan dalam kontestasi pemilihan anggota DPR.
Langkah ini tentunya menjadi bukti betapa pragmatisnya partai politik. Pasalnya, kebanyakan dari kader yang baru direkrut secara mendadak tersebut belum tentu memahami ideologi partai politik yang bersangkutan, atau memang partai politik saat ini sudah tidak memiliki ideologi?
Mekanisme rekrutmen yang tidak jelas ini juga berdampak kepada peluang terjadinya politik uang. Seorang pengusaha yang memiliki modal besar tentu akan lebih mudah mendaftarkan baik dirinya sendiri ataupun anggota keluarganya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR. Hal ini kelak akan berdampak kepada lahirnya dinasti politik di tubuh partai politik, yang tidak menutup kemungkinan juga terjadi di tubuh DPR.
Lemahnya Regulasi
DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat memiliki posisi yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sebagai wakil rakyat, anggota DPR mempunyai kewajiban untuk meyalurkan segala bentuk aspirasi rakyat kepada pemerintah. Namun, banyak anggota DPR yang tidak memahami tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Hal ini terbukti dari banyaknya tindakan DPR yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat atau tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Peristiwa seperti ini terjadi karena dari segi regulasi yang mengatur persyaratan untuk menjadi anggota DPR, syarat-syarat formal saja yang dicantumkan. Regulasi yang rapuh tersebut membuat lembaga ini rentan diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten. Contohnya belum ada peraturan tertulis yang mengatur bahwa ketika seorang anggota keluarga menjadi anggota DPR, anggota keluarga yang lain tidak diperbolehkan menjadi anggota DPR juga.
Ketiadaan peraturan seperti ini tentu memudahkan terjadinya praktik dinasti politik di DPR. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang persyaratan anggota DPR juga membuka peluang terjadinya politik uang yang berdampak pada maraknya praktik dinasti politik. Jika kita meyakini bahwa DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, sudah seharusnya regulasi terkait persyaratan menjadi anggota DPR juga diperbaiki.
Baca juga:
Reformasi Partai Politik dan Penguatan Regulasi
Seruan reformasi partai politik di Indonesia sepertinya harus terus disuarakan, hal ini tidak lepas dari kondisi partai politik di Indonesia yang memiliki wewenang begitu besar tapi minim kontribusi kepada masyarakat. Reformasi partai politik dapat dilakukan dengan mewajibkan kepada setiap partai politik untuk memiliki sistem atau pola rekrutmen kaderisasi yang jelas sehingga seorang yang baru bergabung ke dalam partai politik tidak lantas langsung bisa menjadi seorang ketua umum.
Kemudian, dalam mencalonkan seseorang menjadi anggota DPR, partai politik juga diwajibkan untuk mencalonkan kandidat yang memang telah menempuh jenjang kaderisasi yang jelas sehingga dapat mencegah terjadinya politik uang yang berdampak kepada maraknya praktik dinasti politik.
Selain itu, dari segi regulasi persyaratan anggota DPR, masyarakat perlu mendesak DPR untuk membentuk regulasi yang mengatur rekam jejak dan uji kelayakan anggota DPR yang disesuaikan dengan bidang yang ditekuni. Hal seperti ini dilakukan agar orang-orang yang duduk menjadi anggota DPR adalah orang-orang yang kompeten dan telah melalui verifikasi yang jelas. Cara ini juga menuntut agar partai politik benar-benar melakukan seleksi ketat kepada setiap kader yang akan dicalonkan menjadi kandidat sehingga modal popularitas saja tidak cukup untuk menjadi anggota DPR.
Editor: Prihandini N