International Relations Graduate

Asian Value VS Demokrasi: Telaah Posisi Etika dalam Politik Negara

Muh. Leoputraman

7 min read

Manusia adalah makhluk politik. Konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles ini menekankan bahwa ide-ide politik terkait dengan proses dan produk dari aktivitas politik dalam suatu sistem pemerintahan didasarkan pada hakikat manusia. Artinya, manusialah yang menjadi tolok ukur dan tujuan utama dari suatu aktivitas politik (Cheryl, 2016). Meskipun dalam beberapa realitas politik, orang-orang seringkali mengabaikan kenyataan bahwa manusia pada dasarnya bersifat ambivalen, yang artinya kekuasaan di mana pun dan kapan pun selalu berpotensi untuk tidak hanya digunakan dengan baik tetapi juga disalahgunakan. Oleh karena itu, sejak dahulu, manusia terus berusaha melawan penyelewengan kekuasaan, terutama terhadap apa yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan politik (Maurice, 1998).

Istilah etika sendiri, dalam filsafat moral bisa diartikan sebagai kumpulan nilai dan norma moral yang mendasari perilaku individu atau kelompok. Etika menyediakan landasan moral bagi dunia politik (Silvano, 2022). Jika etika diabaikan dalam proses berpolitik, hal ini akan mengarah pada praktik politik Machavellistis, yaitu politik yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan apa saja, tanpa melibatkan penilaian antara baik atau buruk, tanpa memperhatikan moralitas, norma, dan seolah-olah bebas dari nilai-nilai etis, atau dengan kata lain “tidak ada hukum lain kecuali perintah penguasa”.

Falsafah Pancasila

Secara etimologis, Pancasila dapat diartikan sebagai lima prinsip kewajiban moral. Dalam hal ini, term moral ditujukan pada seluruh aturan dan pemahaman yang menentukan buruk dan baiknya sikap serta perilaku manusia. Dengan memahami terminologi tersebut, manusia akan mengetahui apa yang perlu dilakukan dan apa yang harus dihindari (Nufikha et al., 2021). Pancasila pada dasarnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pada penjelasan UUD 1945, ditegaskan bahwa pokok-pokok pikiran yang termuat dalam Pembukaan (terdiri dari empat unsur yaitu persatuan, keadilan, kerakyatan, dan ketuhanan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab) dijabarkan ke dalam pasal-pasal Batang Tubuh. Lebih lanjut, menurut TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, Pancasila dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hal ini berarti bahwa Pancasila adalah satu-satunya sumber nilai yang berlaku di Indonesia. Dari sumber tunggal ini diharapkan muncul dan mengalir nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan yang berkeadilan.

Baca juga:

Pada positivisme hukum di Indonesia yang diadopsi dari pemikiran Hans Kelsen, yakni teori Stufenbau. Dinyatakan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem bertingkat di mana setiap norma hukum yang lebih rendah harus bergantung pada norma hukum yang lebih tinggi. Norma hukum tertinggi, seperti konstitusi, harus berlandaskan pada norma hukum yang paling fundamental (grundnorm) (Hans dan Matthias Jestaedt, 1934). Artinya, produksi hukum haruslah didasarkan pada norma asal yang dianut oleh masyarakat (Pancasila, dan norma-norma yang melahirkannya).

Berangkat dari falsafah Pancasila dan norma-norma asal di masyarakat, muncul suatu upaya demokratisasi negara yang dilakukan oleh founding fathers Indonesia agar segala kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetap berada pada koridor asal yakni sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat. Dalam penerapannya, pemerintahan demokratis sebenarnya jauh lebih kompleks dibandingkan dengan bentuk pemerintahan lainnya. Terdapat banyak konflik dan ketegangan yang mengharuskan para penyelenggara negara untuk bekerja dengan tekun agar demokrasi dapat berhasil. Demokrasi tidak didesain untuk efisiensi, melainkan untuk pertanggungjawaban (Inter-Parliamentary Union, 1998). Pemerintahan demokratis mungkin tidak dapat bertindak secepat pemerintahan diktator, namun ketika tindakan diambil, publik biasanya akan mendukung. Setiap jenis demokrasi adalah sistem yang tumbuh dan berkembang, sehingga setiap negara harus merancang pemerintahannya berdasarkan sejarah dan budaya masing-masing. Meskipun ada prinsip-prinsip umum yang harus ada dalam setiap demokrasi, seperti prosedur pembuatan undang-undang yang dapat bervariasi, proses ini harus selalu mengikuti prinsip dasar keterlibatan rakyat agar mereka merasa terlibat dan memiliki aturan tersebut.

Menyoal Asian Values

Berkaitan dengan falsafah nasional yang telah dimiliki Indonesia, belakangan ini kembali berkembang wacana dengan cakupan geografis yang lebih luas, yakni Asian Values atau nilai-nilai Asia. Dalam ranah populer, Asian Values dikaitkan dengan arah moral perpolitikan Indonesia dan dinamika politik menyangkut Pemilu Serentak 2024, sehingga menjadi buah bibir publik. Lalu apa yang dimaksud dengan Asian Values?

Konsep Asian Values sendiri sebenarnya memiliki tingkat absurditas yang menempatkan gagasan bahwa masyarakat dari Turki hingga Jepang, serta negara-negara Asia lainnya, berbagi satu set nilai-nilai yang dapat didefinisikan secara umum tanpa perlu penelitian mendalam. Pemikiran bahwa ada sekumpulan nilai-nilai umum yang menekankan “ketertiban” dan hak-hak kelompok di atas hak-hak individu, dengan menempatkan keluarga dan penghormatan otoritas di atas kepentingan pribadi harus dipahami sebagai sebuah ideologi (Khoo, 1999). Khoo Boo Teik pada “The value(s) of a miracle: Malaysian and Singaporean elite constructions of Asia” menjelaskan bahwa ideologi Asian value ini merupakan ekspresi identitas yang bermakna setidaknya bagi sebagian orang atau setidaknya hal ini terjadi pada tahun 1990an, karena Khoo berkomentar bahwa konsep tersebut mungkin kurang relevan setelah krisis ekonomi tahun 1997 dan pergolakan politik setelahnya.

Berangkat dari penjelasan di atas, tulisan ini kemudian akan berusaha membahas dan mengkaji bagaimana posisi etika dimaknai pada proses pengambilan keputusan para pemangku kebijakan dalam tatanan politik Indonesia. Kemudian mengikut dari persoalan tersebut, tulisan ini juga berupaya untuk mengkaji relevansi Asian value terhadap demokrasi, serta apakah nilai ini berpotensi menggeser etika pada kanvas politik Indonesia?

Etika, Demokrasi, dan Realitas Politik

Pada kondisi perpolitikan Indonesia, di tengah euforia menjelang Pilpres pada tahun 2023, suatu narasi politik dilematis muncul di tengah-tengah masyarakat terkait rencana naiknya Gibran Rakabuming Raka untuk ikut serta dalam kontestasi Pilpres pada saat itu. Tidak tanggung-tanggung, berbagai pihak dalam kontestasi ini cukup banyak mendukung realisasi atas narasi tersebut. Beberapa di antaranya adalah PDI-P melalui Puan Maharani yang beberapa kali menaikkan narasi agar Gibran dapat berpasangan dengan Ganjar Pranowo sebagai pasangan Capres dan Cawapres (CNN Indonesia, 2023), hal yang sama juga digaungkan oleh Nasdem melalui Ahmad Ali yang mengisyaratkan agar Gibran dapat menjadi pasangan Anies Baswedan dalam kontestasi Pilpres (Adhyasta dan Diamanty Meiliana, 2022). Tak terbatas pada kedua tim calon presiden tersebut, koalisi pengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden juga beberapa kali menyiratkan pesan untuk Gibran menjadi pasangan Prabowo pada Pilpres yang saat itu akan datang (Adhyasta dan Jessi Carina, 2023). Mengikut dengan naiknya narasi-narasi tersebut, per tanggal 16 Oktober 2023 Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinahkodai oleh Anwar Usman kemudian membacakan sebelas putusan pengujian undang-undang sekaligus. Beberapa dari keputusan tersebut berhubungan dengan pengujian konstitusionalitas pasal 169 huruf q dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menetapkan batas usia 40 tahun bagi calon presiden dan calon wakil presiden. Salah satu keputusan yang menjadi perhatian publik adalah persetujuan MK pada Putusan No. 90/PUU-XXI/2023, yang meminta agar persyaratan usia 40 tahun bagi capres dan cawapres dapat dikecualikan jika calon tersebut pernah menjabat sebagai kepala daerah.

Persoalan-persoalan moral terkait etika politik kemudian muncul sebagai respon atas keputusan MK terhadap undang-undang pemilu tersebut. Pada level analisis sederhana tentunya hal ini sah-sah saja di mata hukum baik secara perdata ataupun pidana (tidak melanggar hukum). Namun ketika beranjak pada level analisis yang lebih mendasar, muncul pertanyaan “apakah kebijakan tersebut, pada prosesnya melibatkan pembacaan etika politik di dalamnya?”, “apakah hubungan antara pengambilan kebijakan terkait UU Pemilu serta fakta bahwa Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden Joko Widodo adalah keluarga hanyalah sebatas kebetulan saja?”, “ataukah pada skenario terburuk, eksistensi etika berusaha dihilangkan pada perumusan suatu kebijakan?”

Baca juga:

Terkait dengan keputusan MK pada Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 dan naiknya Gibran sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo telah memicu wacana nepotisme mengikut dengan pertanyaan-pertanyaan terkait etika perubahan syarat usia capres-cawapres. Tidak sedikit masyarakat dibuat terkejut dan cemas, ditambah lagi dengan respon dari berbagai institusi akademik yang mengeluarkan kritik terhadap indikasi nepotisme dalam proses pemilu 2024 (Kristi dan Yola Sastra, 2023). Hal ini menimbulkan pandangan bahwa keputusan MK tidaklah demokratis, karena pada prinsipnya, esensi dari pembuatan hukum yang demokratis tidak terletak pada prosedur atau tempat di mana aturan tersebut dirumuskan dan dihasilkan, melainkan pada transparansi proses tersebut kepada masyarakat dan pemahaman akan aspirasi serta harapan rakyat. Melihat realitas atas melonjaknya wacana indikasi nepotisme serta kecemasan rakyat pada hasil akhir pemilu mencerminkan bagaimana keputusan tersebut tidak sepenuhnya bersanding dengan dukungan masyarakat, kemudian pada prinsip positivisme hukum Indonesia, pengambilan kebijakan MK pada undang-undang terkait terkesan mengabaikan pembacaan moral asal masyarakat (Pancasila, dan norma-norma yang melahirkannya) utamanya pada nilai kerakyatan yang berkeadilan.

Pada dasarnya, apa yang kemudian menjadi kebijakan MK pada undang-undang pemilu serta bagaimana kebijakan tersebut menimbulkan kecemasan kepada publik memperlihatkan bagaimana buruknya penempatan etika dalam perpolitikan Indonesia. Dalam filsafat moral, terdapat dua pandangan yang menjelaskan etika normatif, yakni konsekuensialis (teleologis) dan non-konsekuensialis (deontologis). Pemikir konsekuensialis (teleologis) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh akibatnya, di sisi lain non-konsekuensialis (deontologis) mengklaim bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh motivasinya, oleh karakteristik, atau oleh fakta bahwa tindakan itu mematuhi seperangkat aturan dan pedoman (Warren, 1950). Melihat fakta bahwa abainya proses pengambilan kebijakan MK terhadap seperangkat pedoman ditambah dengan lahirnya wacana dan ekspresi cemas masyarakat terkait hal tersebut memperlihatkan bahwa kecacatan moral pada kebijakan ini tidak hanya terlihat pada pandangan konsekuensialis, tetapi juga terhadap non-konsekuensialis.

Relevansi Asian Value pada Keberlangsungan Demokrasi Negara

Sebagai akibat dari kontroversi pengambilan kebijakan MK yang kemudian berujung pada lolosnya Gibran sebagai cawapres lalu sekarang telah resmi terpilih menjadi wakil presiden berpasangan dengan Prabowo. Wacana Asian value kemudian hadir di dalam perdebatan publik yang secara terang-terangan menghadirkan ide untuk membolehkan adanya dinasti politik pada panggung perpolitikan Indonesia (Winda dan Dwi Arianto, 2024). Ide tersebut didasarkan pada argumen “dinasti politik tapi semuanya senang”, “orang yang gak berasal dari dinasti politik juga bisa korup”, “orang yang tidak berasal dari dinasti politik banyak kok yang performanya buruk” (Total Politik, 2024, 29:51-33:31), sebetulnya apa yang menjadi dasar dari argumen tersebut adalah suatu kecacatan berpikir causal fallacy yang secara eksplisit menyatakan bahwa “politikus non-dinasti politik tidak menjamin performa yang lebih baik, karenanya performa politikus kalangan dinasti politik pasti lebih baik” di mana argumen semacam itu tidak bisa menyelesaikan permasalahan dasar suatu lingkungan politik yang korup. Permasalahan terkait performa ataupun potensi korupsi dari kalangan politikus harusnya diselesaikan melalui argumentasi yang menyasar pada proses pembentukan kader politik serta bagaimana membangun sistem politik yang transparan sehingga masalah terkait performa dan korupsi dapat diselesaikan dengan lebih progresif, bukan malah beralih pada dinasti politik yang sudah jelas menampakkan lanskap politik yang korup.

Berlanjut pada relevansi Asian value terhadap keberlangsungan demokrasi suatu negara. Pada dasarnya konsep ini terlalu memaksa untuk menyeragamkan nilai yang dianut oleh masyarakat, yang pada dasarnya akan selalu berbeda-beda. Kemudian konsep Asian value juga secara tidak langsung adalah bentuk pembenaran dari suatu sistem otoritarian di mana nilai penghormatan atas otoritas dan hierarki acap kali digunakan untuk menekan oposisi, di mana hal ini jelas cacat dalam keberlangsungan demokrasi. Tesis yang ditawarkan pemerintah tanpa adanya anti-tesis dari oposisi hanya akan melahirkan kekuasaan yang absolut dan kekuasaan absolut sudah pasti akan melahirkan lingkungan yang korup, sebagaimana yang dipaparkan oleh John Dalberg-Acton:

…Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority: still more when you superadd the tendency or the certainty of corruption by authority. There is no worse heresy than that the office sanctifies the holder of it…” (Acton, dalam sebuah surat, April 5, 1887)

Dengan dasar tersebut, wacana terkait Asian value yang beberapa kali disuarakan pada berbagai ruang dialektis sebenarnya merupakan ajang untuk menyelipkan diskursus yang mendukung otoritarianisme. Dengan menekankan nilai-nilai seperti ketertiban, kepentingan kelompok di atas individu, serta penghormatan terhadap otoritas, terdapat risiko bahwa prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan berpendapat, hak individu, dan partisipasi publik dapat tergerus. Demokrasi yang pada prinsipnya mengandalkan keterlibatan aktif warga negara dalam proses politik dan penegakan hak-hak individu, jika dipertemukan dengan nilai-nilai yang memprioritaskan ketertiban dan hierarki, hanya akan mempersempit ruang untuk debat publik dan kritik terhadap pemerintah. Ini bisa mengakibatkan pengurangan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, karena kritik dan oposisi mungkin dilihat sebagai ancaman terhadap stabilitas daripada sebagai bagian penting dari proses demokratis.

Selain itu, perkembangan demokrasi yang ditempuh melalui inovasi sosial dan politik, sejatinya didorong oleh kebebasan berpikir dan berekspresi. Penekanan berlebihan pada nilai-nilai tradisional dan konservatif dapat menghambat perkembangan ide-ide baru yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan modern. Hal ini bisa menyebabkan stagnasi politik dan sosial, di mana pemerintah lebih fokus pada mempertahankan status quo daripada merespons kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pada akhirnya, glorifikasi wacana Asian value berpotensi merusak fondasi demokrasi dengan membatasi hak-hak individu, mengurangi partisipasi publik, dan memperkuat kontrol otoritarian.

Kesimpulan

Berkaca pada keputusan MK pada Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 diikuti dengan maraknya wacana Asian Values pada diskursus publik sebenarnya cukup mencerminkan bagaimana para pemangku kebijakan serta aktor-aktor politik abai dalam mempertimbangkan posisi moral dalam suatu kebijakan. Berangkat dari hal tersebut, tergambar bagaimana penafsiran demokrasi pada panggung politik Indonesia agaknya terkesan asal-asalan dengan dasar referensi yang tidak jelas, yang pada akhirnya melahirkan narasi “demokrasi” untuk mendukung nilai-nilai tertentu, padahal sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi universal.

Lingkungan politik semacam ini sebenarnya secara halus berupaya untuk melanggengkan praktik-praktik politik yang hanya menguntungkan para pemegang kekuasaan, serta berupaya mengontrol dan mengeksploitasi diskursus politis di masyarakat agar sejalan dengan kepentingan penguasa. Hal tersebut jelas berpotensi untuk mempersempit ruang kritis serta menurunnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Jika diskursus anti-demokratis ini terus berkembang dan diwajarkan, bukan tidak mungkin demokrasi Indonesia akan mencapai titik nadir barunya di masa yang akan datang. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Muh. Leoputraman
Muh. Leoputraman International Relations Graduate

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email