Dengan putusannya terkait syarat usia calon dan ambang batas pencalonan Kepala Daerah, Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat apresiasi yang luas. Putusan MK 70/PUU-XXII/2024 menutup kans Kaesang Pangarep, anak bungsu dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berkontestasi dalam Pemilihan Gubernur, yang sedari awal tak memenuhi syarat berdasarkan UU Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Adapun Putusan MK 60/PUU-XXII/2024 memperkenankan partai politik yang tak memiliki kursi di parlemen daerah untuk mengusung kontestan.
Alih-alih segera menaatinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru grusah-grusuh hendak merevisi UU Pilkada dengan rancangan ketentuan yang menyimpang dari putusan MK. Tujuannya tampak hendak membuka kans yang telah ditutup.
Gerakan masyarakat sipil dengan tajuk “Peringatan Darurat” dan “Kawal Putusan MK” pun merebak. Sejak 22 Agustus, demonstrasi masif menjalar di berbagai kota. Gerakan itu sesungguhnya tak hanya menunjukkan masalah demokrasi elektoral, tetapi lebih dalam terkait gejala keroposnya konstitusionalisme Indonesia. DPR dianggap melakukan “pembegalan konstitusi.”
Riwayat Konstitusionalisme di Indonesia
UUD 1945 pasca-amandemen mengukuhkan Indonesia sebagai negara hukum. “Negara hukum” sendiri memuat asas-asas liberal menyangkut pelindungan hak asasi, kemandirian kekuasaan kehakiman, hingga kontrol kelembagaan.
Konstitusionalisme, dalam catatan Daniel S. Lev (2018: 476) merupakan abstraksi yang lebih tinggi dari “negara hukum.” Konstitusionalisme adalah paham “negara terbatas”, di mana kekuasaan politik resmi dikelilingi atau diawasi oleh hukum. Di titik itu, hukum difungsikan untuk menjinakkan “kekuasaan telanjang.” Konstitusionalisme menekankan pentingnya kepatuhan penguasa terhadap rambu-rambu hukum yang telah digariskan.
Perkembangan praktik konstitusionalisme di Indonesia begitu dinamis. Ia pernah bertahan cukup kuat sebelum tahun 1959. Dengan UUD Sementara 1950, “negara hukum” menjadi ideologi pengabsah jalannya kekuasaan.
Namun seiring Presiden Soekarno mendekretkan kembalinya UUD 1945 awal, Indonesia memasuki tahun-tahun otoritarian. Secara inkonstitusional, Soekarno membubarkan badan pembentuk UUD, Konstituante, juga DPR. Ia pun menundukkan kekuasaan kehakiman. Melalui UU 19/1964, Presiden dapat mengintervensi urusan peradilan untuk kepentingan revolusi, kehormatan negara, dan kepentingan bangsa atau masyarakat yang mendesak.
Pada era Orde Baru, kerusakan konstitusionalisme tak jauh beda. Berdirinya rezim militeristis ini dimulai dengan pembantaian dan pemenjaraan orang-orang yang terafiliasi Partai Komunis Indonesia. Meski Soeharto membeberkan jargon “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”, nyatanya UUD 1945 menjadi kitab sakral. Aspirasi untuk amandemen dibungkam. Kekuasaan kehakiman tunduk pada di bawah Kementerian Kehakiman. Lawan-lawan politik Orde Baru dihadapkan ke pengadilan dengan pasal karet subversi. Hukum dirancang untuk memfasilitasi jalannya pembangunan, tetapi digunakan pula untuk menindas rakyat yang kritis.
Reformasi berupaya menemukan kembali konstitusionalisme. UUD 1945 berubah signifikan. Pada 2003, MK dibentuk untuk mengawal konstitusionalisme. Dengan kewenangan pengujian undang-undang, MK memastikan norma UU yang pembentukannya melibatkan kepentingan aktor legislatif dan eksekutif tetap sesuai dengan konstitusi. Hakikatnya peran MK hendak menjadi pembatas, utamanya membatasi kekuasaan yang mungkin saja bekerja dengan cara yang menyimpang dari konstitusi.
Pengeroposan oleh Oligarki
Dua jilid pemerintahan Presiden Jokowi menunjukkan kecenderungan mengeroposnya konstitusionalisme. Dari pelbagai survei dan amatan analis, Indonesia mengalami kemunduran (regresi) demokrasi. Para analis mempersoalkan legalisme autokratik, politik kartel, hingga politik dinasti. Seiring dengan penggunaan institusi hukum sebagai alat politik kekuasaan, Herlambang Wiratraman (2022) mengamati terjadinya fenomena “yudisialisasi politik oligarki.”
Baca juga:
- Refleksi Hukum 2022: Dicekik Oligarki, Kian Lumpuh dan Sekarat
- Aktivis Pascareformasi: Menantang atau Terserap Oligarki?
- Yang Perlu Dikritisi Ketika Membicarakan Oligarki
Dalam lima tahun belakangan, setidaknya terdapat deretan skandal ketatanegaraan. Di antaranya ialah UU Cipta Kerja dan UU Ibu Kota Nusantara yang dibentuk dalam tempo sangat singkat, menyisakan pertanyaan tentang partisipasi bermakna. Ada pula pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto, hakim yang memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemberhentian itu tak lain merupakan upaya pendisiplinan Mahkamah. Puncaknya, Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 yang sangat problematis mengubah syarat usia calon Presiden dan wakilnya, meloloskan anak Jokowi, Gibran Rakabuming, untuk melenggang dalam kontestasi mendampingi Prabowo Subianto.
Dari ragam skandal tersebut, tertampak jelas bagaimana institusi hukum dan proses pembuatan norma hukum di parlemen ditunggangi kepentingan ekonomi-politik. Hal demikian memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh kelompok pemodal terhadap politik hukum Indonesia (Hutagalung dan Robet, 2020: 66). Pembuatan dan operasionalisasi hukum ditujukan untuk mengamankan kepentingan oligarki dalam mendulang pundi-pundi renten.
Jamie S. Davidson (2018) memetakan tiga aktor yang paling mungkin membunuh demokrasi Indonesia, yaitu: oligarki, kelompok berbasis agama, dan militer. Pemetaan itu juga tentu dapat diterapkan untuk menganalisis konstitusionalisme. Menurutnya, kelompok kedualah yang paling rentan merobohkan demokrasi, sebagaimana gerakannya berbasis pada keyakinan ideologis.
Betapa pun, kelompok ideologi agama senyatanya tak memiliki basis yang cukup untuk menjungkal demokrasi. Tepat untuk menyebut bahwa kelompok oligarki yang sementara menggerus demokrasi dan konstitusionalisme. Meski oligarki memiliki faksi-faksi, ragam kepentingan dapat bertemu dalam satu klik, menghasilkan jejaring kekuatan politik yang nyaris merangkul semua faksi demi bekerja dalam logika yang sama: mendulang renten. Gejala ini terlihat cukup jelas selama rezim Jokowi.
Ketidakpatuhan Konstitusi
Dua putusan MK terkait UU Pilkada tentu mengubah arah ‘permainan’ (game-changing) politik. Namun lebih dari itu, MK tampak menginsyafi dengan penuh bahwa palu hakimnya telah didayagunakan untuk tujuan-tujuan yang justru membuat konstitusionalisme kian keropos.
Perbaikan berangsur-angsur mulai terjadi, dari putusan etik terhadap mantan ketua Anwar Usman, yang notabene merupakan paman Gibran, hingga putusan pendapat berbeda dalam sengketa Pemilihan Presiden yang menjadi sinyalemen independensi peradilan. Putusan perselisihan pemilihan umum itu memiliki makna historis tersendiri, sebagaimana MK senantiasa bulat mufakat dalam memutus perkara.
Baca juga:
- Membajak Mahkamah Konstitusi, Mengorupsi Demokrasi
- Terperangkap Jebakan Inkonstitusionalitas
- Momen Ketika Politisi Mengontrol Mahkamah Konstitusi
Konstitusionalisme lebih dalam mempersoalkan kepatuhan konstitusi. Peraturan Pengganti UU Cipta Kerja yang diterbitkan Jokowi adalah contoh paripurna akan ketidakpatuhan konstitusi. Alih-alih memproses pembentukan UU yang melibatkan partisipasi bermakna, istana mengambil kebijakan nirpartisipasi dengan dalih kegentingan memaksa. Grusah-grusuh DPR yang hendak merevisi UU Pilkada juga mengindikasikan gejala ketidakpatuhan konstitusi oleh kekuasaan legislatif.
Pengujian UU Pilkada mungkin membangkitkan kembali perdebatan klasik terkait kewenangan MK yang seharusnya berperan sebatas ‘negative legislator’, pembatal hukum. Namun dari presedennya, MK sendiri sudah mengambil peran dalam mengubah dan membentuk hukum itu sendiri. Hal demikian jelas menciptakan tegangan antar lembaga. Peralihan MK sebagai ‘positive legislator’ secara terbatas bisa dijustifikasi dengan dasar pertimbangan untuk mengawal konstitusionalisme dan pelindungan hak asasi serta demokrasi, mengisi kekosongan hukum, preseden, dan praktik di berbagai negara yang mulai mengglobal (Lihat Brewer-Carías, 2011).
Setelah tekanan masyarakat dan dinamika politik yang berubah, DPR mungkin mulai menunjukkan penerimaan aspirasi publik. Betapa pun, babak pengeroposan konstitusionalisme berikutnya dapat dicermati dengan rencana mengevaluasi MK. Evaluasi ini bukan lain akan mengarah pada pendisiplinan, demi mendomestikasi kekuasaan kehakiman. (*)
Editor: Kukuh Basuki