Pagar Laut Tangerang: Antara Ruang Liminal dan Relasi Kelas Sosial

Purnawan Andra

3 min read

Fenomena munculnya pagar laut di perairan wilayah Desa Muncung hingga Pakuhaji, Tangerang, Banten, memantik perbincangan luas, mulai dari persoalan lingkungan hingga dinamika sosial-ekonomi nelayan. Pasalnya, pagar laut “misterius” ini masih belum diketahui secara pasti pihak yang mendirikannya, dan bahkan pemerintah pusat maupun daerah “mengaku” tidak pernah memberi izin untuk memagari laut.

Struktur pagar laut Tangerang ini terbuat dari bambu dengan tinggi sekitar 6 meter yang ditambah paranet dan pemberat dari karung pasir. Pembangunannya sudah dimulai sejak Juli 2024, namun baru viral pada awal Januari 2025.

Berdasarkan temuan awal, pemasangan pagar laut di Kabupaten Tangerang dilakukan oleh pekerja yang diupah sekitar Rp 100.000 per orang. Namun, hingga kini belum diketahui siapa pihak utama yang memerintahkan dan mendanai pembangunan tersebut. Dugaan mengarah kepada pihak swasta yang memiliki kapasitas finansial besar. Hal ini didasarkan pada biaya besar yang diperlukan untuk membangun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer dengan bahan baku bambu, anyaman, dan waring, yang ditaksir mencapai miliaran rupiah (kompas.id, 13/1/2025). Pada perkembangannya, fenomena ini menggulirkan isu yang lebih besar (dan penting) tentang hak penggunaan laut oleh kelompok pemilik modal tertentu.

Baca juga:

Dalam tradisi masyarakat Indonesia, pagar memiliki makna simbolis yang mendalam. Ia tidak hanya menjadi batas fisik tetapi juga simbol kekuasaan, perlindungan, dan eksklusi. Pada masa lalu, pagar dalam bentuk tembok desa atau benteng kerajaan menegaskan otoritas penguasa, membedakan wilayah “aman” dari ancaman luar.

Dalam kehidupan agraris, pagar sawah atau ladang berfungsi melindungi hasil panen sekaligus menjadi simbol hak milik. Dalam konteks ini, pagar laut di Tangerang merepresentasikan warisan konsep pagar sebagai kontrol ruang, meskipun kini diterapkan pada dimensi maritim.

Namun, pergeseran fungsi pagar ke ruang laut menunjukkan dinamika baru dalam sejarah relasi manusia dengan alam di Indonesia. Laut, yang dahulu dianggap sebagai ruang bebas dan kolektif dalam tradisi hukum adat (common property), kini semakin sering menjadi objek klaim dan pembatasan. Pagar laut yang berfungsi sebagai pembatas akses atau zona eksklusif di wilayah perairan tertentu, bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga cerminan kompleksitas relasi kuasa, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Transformasi ini tidak terlepas dari pengaruh modernisasi, globalisasi, dan kebutuhan akan pengelolaan sumber daya yang lebih terstruktur.

Kebijakan tentang Laut

Dalam konteks hukum laut internasional, seperti diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), negara memiliki hak untuk mengelola wilayah perairan teritorialnya. Namun, prinsip ini harus diimbangi dengan penghormatan terhadap hak-hak tradisional nelayan lokal dan akses terhadap sumber daya laut. Pagar laut di Tangerang, yang sering kali muncul tanpa konsultasi memadai dengan komunitas nelayan, dapat dianggap melanggar prinsip-prinsip ini.

Di tingkat nasional, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menegaskan pentingnya keseimbangan antara pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Sayangnya, implementasi kebijakan sering kali mengabaikan aspek keadilan sosial. Pagar laut justru menciptakan segregasi ruang yang merugikan nelayan kecil, memprivatisasi akses laut yang seharusnya menjadi milik bersama.

Di satu sisi, nelayan tradisional di Indonesia merupakan kelompok yang sering kali berada di garis depan dalam menghadapi dampak kebijakan maritim. Mereka hidup dari laut, tetapi akses mereka semakin terbatas oleh regulasi, ekspansi industri, dan perubahan ekosistem. Pagar laut di Tangerang menjadi manifestasi nyata dari marginalisasi ini, di mana nelayan kehilangan ruang tangkap mereka, terjebak dalam ketidakpastian ekonomi, dan sering kali harus bersaing dengan aktor-aktor besar seperti perusahaan perikanan atau pengembang infrastruktur.

Dalam sosiologi, laut sering dipandang sebagai ruang liminal—ruang yang berada di antara struktur sosial daratan dan kebebasan tanpa batas. Laut menawarkan peluang, tetapi juga mencerminkan ketidakpastian. Dengan adanya pagar laut, ruang ini semakin terstruktur dan dikuasai oleh aktor-aktor yang memiliki akses terhadap kekuasaan politik dan ekonomi. Fenomena ini mencerminkan relasi kelas dalam kehidupan masyarakat pesisir, di mana nelayan kecil berada di posisi subordinat dibandingkan pemilik modal besar.

Politik Kekuasaan

Filsafat kekuasaan Michel Foucault dapat digunakan untuk memahami fenomena pagar laut sebagai bentuk biopolitik—pengaturan populasi melalui kontrol terhadap ruang dan sumber daya. Dalam konteks ini, pagar laut menjadi alat untuk mengatur akses, memisahkan yang dianggap “produktif” dari “tidak produktif” sesuai dengan logika kapitalisme maritim.

Di sisi lain, fenomena ini juga mencerminkan kebijakan politik di Indonesia yang sering kali lebih berpihak pada investasi daripada pemberdayaan masyarakat lokal. Pemerintah, dalam upayanya menarik investasi asing dan domestik, sering kali mengabaikan suara masyarakat kecil. Kebijakan maritim yang seharusnya inklusif malah menjadi eksklusif, melayani kepentingan segelintir pihak yang memiliki modal dan akses politik.

Baca juga:

Dalam konteks politik kebudayaan Indonesia, fenomena pagar laut juga menunjukkan ketegangan antara tradisi lokal dan modernitas. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki tradisi panjang dalam memandang laut sebagai ruang bersama. Namun, modernisasi dan tekanan global telah menggeser paradigma ini, menjadikan laut sebagai ruang ekonomi yang harus dieksploitasi dan diatur dengan cara-cara yang sering kali mengabaikan nilai-nilai lokal.

Fenomena pagar laut di Tangerang memberikan pelajaran penting tentang perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam pengelolaan wilayah laut. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan maritim tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga memperhatikan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dialog antara pemangku kepentingan, termasuk nelayan tradisional, akademisi, dan pemerintah, harus diperkuat untuk menghindari konflik dan memastikan kebijakan yang inklusif.

Selain itu, masyarakat perlu terus mengkritisi kebijakan yang berpotensi menciptakan ketidakadilan. Inspirasi dapat diambil dari gerakan masyarakat pesisir di berbagai belahan dunia yang berhasil memperjuangkan hak mereka melalui advokasi, pendidikan, dan kerja sama lintas sektor.

Pagar laut menjadi simbol dari tantangan besar dalam menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian budaya. Refleksi dan aksi nyata diperlukan untuk memastikan bahwa laut tetap menjadi milik bersama, bukan sekadar milik segelintir pihak yang berkuasa. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Purnawan Andra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email