Pandemi Covid-19 begitu menghancurkan jiwa dan raga. Mencabut begitu banyak nyawa. Namun bagi rezim ia menguntungkan. Eksploitasinya menggunakan apa yang disebut Michel Foucault sebagai biopolitik.
Wabah, tulis Foucault dalam Discipline and Punish, melahirkan utopia dari kota yang diatur secara sempurna. Wabah merupakan pelaksanaan ideal dari kekuasaan yang mendisiplinkan. Namun, pada penghujung abad ke-18, bukan wabah yang jadi masalah, tapi endemik. Penanganan endemik, yang berbeda karakteristik dengan pandemi, menjadi objek paling awal dari penerapan teknologi kekuasaan baru bernama biopolitik.
Menurut Foucault, kekuasaan atas hidup, dimulai sejak abad ke-17, berevolusi jadi dua bentuk mendasar. Yang pertama ia sebut sebagai anatomo-politics of the human body. Kekuasaan ini menganggap tubuh sebagai mesin: pendisiplinan, pengoptimalan kapabilitas tubuh, penghisapan atas kekuatannya, peningkatan pararel dari kegunaan dan kepatuhan tubuh, pengintegrasian kepada sistem yang efisien dan kontrol ekonomis. Semua ini dijamin oleh prosedur kekuasaan yang karakternya adalah pendisplinan.
Bentuk kedua, yang terbentuk lebih belakangan, fokus pada tubuh spesies, tubuh yang dikaruniai mekanisme kehidupan dan berfungsi sebagai proses dasar biologis: perkembangbiakan, kelahiran, kematian, tingkat kesehatan, harapan hidup, dan usia lanjut, dengan semua kondisi yang bisa menjadi sebab hal-hal tersebut berubah. Pengawasannya akan berdampak melalui serangkaian intervensi dan kontrol regulasi. Dengan kata lain biopolitik terhadap populasi.
Mekanisme yang diperkenalkan biopolitik, yang sangat berbeda dengan mekanisme pendisplinan, termasuk di antaranya adalah ramalan, perkiraan statistik, dan perhitungan secara keseluruhan. Tujuannya bukan untuk memodifikasi pada tingkatan individual, tapi mengintervensi pada level keumuman. Angka kematian harus dimodifikasi atau diturunkan; angka harapan hidup harus ditingkatkan; angka kelahiran harus distimulasi. Tujuan terpentingnya adalah tercapainya keadaan equlibrium atau keteraturan. Orang-orang tak lagi didisiplinkan pada level individu, tapi diatur pada level populasi.
Biopolitik beririsan dengan konsep Foucault lainnya, yakni govermentality. Gagasan ini diturunkan dari kata Perancis gouvernemental yang berarti “tentang pemerintah.” Namun Foucault menghasilkan konsep baru dari kata ini, yang ia sebut “the conduct of conduct” yang maknanya adalah bahwa negara liberal barat yang maju punya cara cerdas dalam mengontrol penduduknya melalui beragam teknik seperti otonomi, aktualisasi diri, realisasi diri, dan harga diri. Berbeda dengan disiplin, yang berusaha mereformasi kelompok yang ditunjuk melalui pengawasan mendetail di tempat terbatas (penjara, asilum, dan sekolah), fokus pemerintah adalah kesejahteraan populasi. Tujuannya adalah mengamankan kekayaan populasi, peningkatan kondisi hidup, meningkatkan kekayaan, harapan hidup, kesehatan dan lain sebagainya.
Untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan cara yang khusus. Pada level populasi, tak mungkin melakukan koersi pada setiap individu dan meregulasi tindakannya setiap menit. Sebaliknya, pemerintah beroperasi melalui pendidikan hasrat, konfigurasi kebiasaan, aspirasi dan keyakinan. Pada akhirnya ini akan menetapkan kondisi dan mengatur hal-hal sehingga orang, dengan mengikuti kepentingan mereka sendiri, akan melakukan apa yang “seharusnya”.
Bujukan mungkin diterapkan, karena pihak berwenang berusaha mendapatkan keuntungan dengan persetujuan. Namun ini bukan satu-satunya jalan. Ketika kekuasaan beroperasi di kejauhan, orang tidak selalu menyadari bagimana perilaku mereka dilaksanakan dan mengapa mereka melakukannya. Dengan demikian pertanyaan mengenai persetujuan tidak akan mengemuka.
Begitu juga dengan biopolitik. Melalui biopolitik, pemerintah tak perlu lagi memaksa penduduk melakukan ini itu. Warga negara akan mengikuti program Keluarga Berencana dengan sukarela karena ia menganggap hal itu memang patut dilakukan. Meskipun larangan-larangan tidak lenyap dalam bio-pouvoir atau kekuasaan biopolitik, mereka termarjinalisasi oleh proses yang menganjurkan perilaku dengan bantuan perintah, kewajiban positif, dan sikap yang dipaksakan secara mendetail (Haryatmoko 2016, 30).
Dari uraian singkat di atas, kita tahu penerapan biopolitik tak perlu menunggu endemik tiba. Semenjak pandemi Covid-19 menjalar seperti lidah api yang menyapu hutan belantara, pemerintah sudah menerapkannya dengan efektif. Sedari awal aturan-aturan (dan anjuran) seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan membatasi operasional pusat keramaian, terus didengungkan. Yang tak mengikuti dianggap sebagai warga yang bebal.
Ikut vaksin baik. Mereka yang menolak adalah orang yang tak bertanggungjawab. Sanksi dan paksaan juga diterapkan agar semua patuh. Memakai masker dan sertifikat vaksin menjadi syarat utama beraktivitas, sehingga semua harus mematuhi aturan. Sesuai dengan mekanisme biopolitik, selama pandemi pemerintah menghitung, memperkirakan (dan mengintervensi) kapan kurva akan dan mesti melandai, harus berapa jumlah kematian di bulan a, b, dan c, dan menetapkan berapa semestinya jumlah penderita pada waktu tertentu supaya kenormalan baru bisa segera diterapkan.
Kemunculan pandemi membuat kontrol negara atas populasi semakin kuat. Giorgio Agamben dalam The Invention of an Epidemic menulis bahwa epidemi adalah dalih ideal, ketika isu terorisme sudah mulai usang, untuk menerapkan state of exception yang sangat membatasi kebebasan dan melahirkan militerisasi otentik. Pembatasan sosial dan protokol kesehatan sangat membatasi lingkup penyampaian pendapat, tapi di sisi lain memberi kesempatan emas bagi rezim bertindak lalim.
UU Cipta Kerja, pelemahan KPK, memenjarakan lawan politik, menunda pilkada serentak 2022 (tapi pilkada 2020 tetap lanjut demi tegaknya dinasti), dan pembungkaman suara kritis, adalah beberapa contoh. Warga yang hendak melawan dengan turun ke jalan segera dipadamkan dengan sengit atas nama protokol kesehatan. Sementara mengkritik lewat media sosial dihantam buzzer. Menyampaikan aspirasi melaui seni, mural-muralnya dihapus.
Pandemi juga tak membuat konglomerat jatuh miskin. Kekayaan politisi cum pengusaha secara umum tetap tambah. Artinya pandemi tak banyak mempengaruhi. Malah ia membuat orang-orang yang berkecimpung di bisnis kesehatan menghasilkan untung melimpah. Hanya orang-orang kecil yang semakin terpuruk dalam kemiskinan tanpa diberi jaring pengaman mencukupi. Banyak yang kehilangan penghidupan. Mereka dibiarkan berjuang sendirian, dan tak sedikit yang akhirnya terjerat pinjol, dan bunuh diri karena tak kuasa melunasi utang. Para penguasa tak akan peduli pada rakyat melarat kecuali mendekati pemilu. Tak ada urusan pula dengan jumlah kematian yang begitu besar selama itu bukan orang-orang terdekat dan dirinya. Yang penting adalah mengamankan kekuasaan sebanyak mungkin dan menambah pundi uang.
Pandemi adalah keuntungan (bagi mereka yang berkuasa). Karena menguntungkan, ia harus dipertahankan selama mungkin. Ini tentu prasangka buruk, tapi kecurigaan ini memiliki dasar. Kita tahu bahwa rumus baku pengendalian virus telah tersedia seperti formula untuk mengerjakan persamaan matematika. Namun pemerintah kita tidak melaksanakannya secara sungguh-sungguh. Penyebaran virus tak dikendalikan betul-betul, tapi di saat bersamaan tak boleh terlihat mengharu biru. Di sinilah biopolitik kembali dikerahkan. Tak perlu karantina wilayah supaya ekonomi tetap meroket. Buat apa menghidupi ternak dan masyarakat bila uangnya bisa dikorupsi. Toh hukumannya ringan. Data perlu dimanipulasi. Tes dan lacak tak perlu ditingkatkan secara drastis. Kasus positif yang muncul secara otomatis juga tak bombastis. Kematian tak perlu dilaporkan banyak-banyak.
Biopolitik tak selalu otoriter, karena penerapan biopolitik demokratis saat pandemi memungkinkan untuk diwujudkan, yakni praktek kolektif yang membantu kesehatan populasi, termasuk modifikasi tingkah laku dalam skala besar, tanpa ekspansi paralel dalam bentuk paksaan dan pengawasan. Menurut Panagiotis Sotiris dalam tulisan berjudul Against Agamben: Is a Democratic Biopolitics Possible, Foucault pada karya-karya akhirnya menunjuk ke arah tersebut, di sekitar gagasan mengenai kebenaran, parrhesia, dan kepedulian terhadap diri. Pada dialog original dengan filsuf kuno, khususnya filsuf Helenis dan Romawi, Foucault menyarankan alternatif politik dari bios yang merupakan kombinasi kepedulian individual dan kolektif, berdasarkan kewajiban dan keberanian untuk mengatakan kebenaran, dengan cara yang non-koersif.
Dalam perspektif tersebut, keputusan membatasi pergerakan dan pembatasan sosial pada masa pandemi merupakan hasil dari keputusan kolektif yang didiskusikan secara demokratis berdasarkan pengetahuan yang tersedia dan sebagai bagian dari usaha kolektif untuk peduli pada sesama dan diri sendiri. Ini adalah kemungkinan dari biopolitik yang demokratis, yang juga bisa dilandasi dari demokratisasi pengetahuan.
Meningkatnya akses terhadap pengetahuan, bersama dengan kebutuhan kampanye popularisasi memungkinkan terjadinya proses keputusan kolektif yang didasari oleh pengetahuan dan pemahaman, dan bukan otoritas dari para ahli. Pada tingkat lokal biopolitik demokratis sudah diterapkan. Pada awal-awal virus menyebar di Indonesia, banyak kecamatan dan desa di Yogyakarta dan Bali yang menerapkan karantina lokal yang diinisiasi oleh warga sendiri. Namun secara nasional biopolitik yang demokratis sulit diwujudkan di tengah rezim yang kian represif.