Mereka Dihadirkan, Tapi Tidak Terwakili

Beni Bayu Sanjaya

2 min read

Narasi orang pinggiran atau yang termarginalisasi selalu kurang mendapat perhatian. Mereka seringkali menjadi korban, utamanya oleh sistem sosial bekerja. Sistem patriarki, kapitalisme, dan neoliberal menjadi momok yang menjadi kerikil-kerikil tajam dalam perjuangan hidup mereka. Sehingga seringkali kondisi itu membuat mereka harus melawan, mendobrak, dan menentang sistem sosial tersebut. Tak pelak ketegangan akibat perjuangan terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Hal-hal tersebut diulas dalam kompilasi beragam riset yang telah dilakukan oleh Dewi Candraningrum dkk. Buku terbitan Cantrik Pustaka dengan judul Free from Discrimination & Violence (Gender, Ecology, and Media) ini membantu kita memahami secara mendalam isu seputar diskriminasi dan kekerasan dalam perspektif gender, ekologi, dan studi media.

Kita akan mendengar suara perempuan, penyandang disabilitas, dan anak-anak, terkhusus juga mereka yang termarginalisasi untuk berusaha lepas dari kekangan sistem yang ada. Meskipun tidak selalu berhasil, namun mereka selalu berjuang untuk mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, memperbaiki keadaan, dan memberikan kebermanfaatan terhadap sesama dan lingkungan alam atau ekologi.

Baca juga: 

Keberpihakan Perempuan terhadap Ekologi

Isu ekologi juga tidak terlepas dalam pembahasan di buku ini. Yang tentu saja, banyak aktor-aktor peduli lingkungan justru datang dari para perempuan. Mereka menjadi garda terdepan dalam aktivisme tersebut. Perlawanan mereka selalu vis-a-vis dengan sistem patriarki dan maskulinitas buruk yang serangkali menjadi sumber bagi segala krisis lingkungan yang ada. Hal ini juga bukan tanpa sebab, dalam bingkai teori ekofeminisme yang juga banyak diulas dalam buku ini, salah satunya menurut (Gamble, 2010) “ecofeminists state that domination of nature is directly related to economic, cultural and psychological factors that create hierarchies, and in practice oppress women and exploit nature”.

Banyak contoh kasus juga diuraikan dalam buku ini yang menunjukkan ketika terjadi krisis lingkungan perempuan merupakan orang yang pertama merasakan dampaknya. Hal itu bukan saja karena keterlibatannya dalam lingkungan ekosistem, namun juga karena mereka adalah pengasuh utama keluarga dan rumah tangganya. Sehingga ketika perempuan mengalami dampak tersebut akan berdampak besar juga pengaruhnya terhadap orang di sekitarnya.

Baca juga: 

Dalam topik tentang pembahasan ini akan diberikan berbagai contoh praktik yang dilakukan oleh perempuan untuk menjaga ekologi. Satu diantaranya melalui produksi batik eco-print yang memanfaatkan dedaunan dari beragam tanaman yang ditanam dan dirawat oleh para perempuan tersebut. Penggunaan pewarna natural dari dedauan sekaligus menjadi bentuk resistensi terhap metode yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan juga lifestyle fast fashion.

if we follow the manufacturing process, the message we get will be very closely related to ethical practices of care, where traditionally, women take care of life protect the ecosystem, and combine it with local culture,” (hal. 100)

They are presented, but not representated

Secara pribadi, bagian terbaik pada buku ini adalah bab tentang analisis perempuan di dalam lukisan. Di sana kita akan melihat bagaimana perempuan selalu terpinggirkan. Mereka selalu menjadi pelengkap dan hanya menjadi objek. Hal ini karena dunia lukis erat kaitannya dengan nuansa maskulin. Kehadiran figur perempuan pada lukisan tidak berarti ia sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap maskulinitas. Sebab, jika diamati lebih dekat, figur perempuan dalam lukisan justru hanya menjadi objek yang digambarkan lemah dan memerlukan bantuan, menjadi pelengkap untuk memberi narasi cerita hidup sang pelukis, dan bahkan sebatas objek tatapan.

Menarik bagaimana sang penulis meneliti tentang lukisan dan sejauh mana perempuan di representasikan oleh para pelukis. Pembahasan yang dibuka dengan membandingkan kehadiran lukisan yang dipilih oleh kolektor untuk dipamerkan pada pameran nasional.

Dari sejumlah lukisan yang dipamerkan dengan figur perempuan di dalamnya, hampir sebagian lukisan tidak ada yang menatap langsung ke arah pandangan mata pelukis.Hal itu berkebalikan dengan banyak figur laki-laki dalam lukisan. Yang mana dalam artian ini, figur perempuan hanya sebagai objek dan bukan subjek dalam lukisan tersebut. Karena menjadi bahan tatapan, terutama bagi mata yang mengandung nilai-nilai maskulin dan merasakan kepuasan ketika menatap figur-figur perempuan tersebut yang menjadi subjeknya dan bukan figur perempuan di lukisan.

Often they are the center of representation but not as a representation of the subject. Their bodies are present as the center of attention, but on behalf of others. They are presented, but not represented.” (hal. 186)

Memperbaharui Pandangan

Buku ini sangat disarankan untuk siapapun yang tertarik dengan isu-isu seputar diskriminasi dan kekerasan terhadap gender, penyandang disabilitas, hingga ekologi. Bacaan yang dapat memperbaharui pandangan kita yang barangkali telah usang dan memerlukan persemaian bagi pengetahuan serta pandangan yang lebih berkeadilan.

Tidak hanya bagi perempuan, buku ini sangat dianjurkan dibaca oleh laki-laki. Karena bagaimana pun subordinasi, diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan nantinya turut berdampak secara tidak langsung terhadap laki-laki itu sendiri. Terlebih dalam isu seputar ekologi seperti yang sudah diuraikan diatas.

Berpihak kepada mereka yang termarginalisasi, terutama perempuan, tidak mengharuskan kita untuk mengganti kelamin. Namun kita hanya perlu mengganti cara berpikir. Sejauh ini, itu juga yang sedang saya lakukan. Salah satunya dengan membaca dan belajar dari buku dengan judul Just Indonesia ini. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Beni Bayu Sanjaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email