Malam itu bapak saya cerita kalau seorang temannya bisa sangat mudah menghitung penambahan, perkalian, pembagian, pengurangan, meskipun dalam nominal yang besar, karena bisa mengoperasikan hape. Di hape itu, kata Bapak, ada kalkulatornya. Enak juga ya, tidak perlu repot-repot mikir. Tinggal pencet-pencet angkanya, langsung keluar hasilnya.
Saya bilang, Bapak juga bisa belajar di sini. Saya menyodorkan hape. Saya bukakan kalkulatornya di situ. Karena Bapak tipe orang selalu ingin tahu hal baru, meskipun dulunya tidak pernah sekolah, dia langsung antusias dengan penawaran saya. Saya memberi tahu kalau penambahan tandanya +, kurang tandanya -, pembagian tandanya :, perkalian tandanya x, sekalian dengan letak-letaknya. Bapak memang sudah paham soal hitung-menghitung, tapi dia tidak tahu simbol-simbolnya.
Bapak memencet angka 7, lalu +, lalu 8. Coba dihitung hasilnya, kata saya. Saya tunjukkan letak =. Untuk tahu hasilnya, harus dipencet tombol ini (=). Lalu keluarlah angka 15. Saya memberi contoh angka yang nominalnya ratus ribuan (saya biarkan Bapak yang memencet sendiri angka-angkanya). Misal Bapak punya uang 150.000, terus ada orang naik becak Bapak dan memberi upah 30.000. Berapa jadinya? Bapak masih meraba-raba, seratus lima puluh ribu itu nolnya berapa. Saya jelaskan, ratusan itu nolnya dua. Ribuan itu nolnya tiga.
Sebenarnya, Bapak bisa hitung-menghitung dan saya tak perlu menjelaskan sampai serinci itu. Hanya saja, Bapak bisa hitung-menghitung ini kalau ada uangnya langsung. Angka-angka seperti ini bagi Bapak susah untuk dikira-kira. Setelah bisa menaruh angka 150.000, tombol +, dan 30.000, saya tunjukkan lagi, harus pencet tombol = untuk tahu hasilnya. Di situ muncul angka 180.000.
Bapak kemudian belajar pengurangan, pembagian, dan perkalian, lewat kalkulator di hape itu. Lumayan lama Bapak belajar ini, karena dia sering lupa mana simbol penambahan, perkalian, pembagian, perkalian, dan terutama sering lupa ratusan itu nolnya berapa, ribuan nolnya berapa.
Setelah mulai bisa, Bapak ingin menghitung kira-kira berapa jumlah uang yang dia keluarkan untuk padinya yang saat ini tinggal menunggu panen? Dengan perkiraan yang mungkin saja kurang, mungkin saja lebih, Bapak menaruh angka 80.000 biaya beli bibit, 250.000 biaya membajak sawah, 250.000 biaya tandur, 300.000 biaya pupuk, 150.000 biaya obat-obatan, 50.000 biaya pengairan satu kali.
Lalu dia menambahkan biaya untuk keperluan panen, 200.000 untuk orang yang ngarit padi, 200.000 untuk orang yang ngangkutin padi, 150.000 untuk orang ngedos (pakai mesin perontok padi). Untuk biaya tambahan seperti membelikan rokok, makanan, dan lain-lain untuk pekerja, Bapak mematok 150.000.
Bapak menemukan hasil penjumlahannya: 1.780.000. Seharusnya ada tambahan biaya lain, seperti nyabutin rumput yang tumbuh di sekitar padi (maton), memberi obat-obatan penangkal hama (nyempret), dan lain-lain, tapi Bapak tidak perlu menambahkannya, karena dia bisa melakukannya sendiri. Tidak perlu pakai tenaga orang lain.
Sebenarnya Bapak tidak punya sawah. Dia hanya menggarap satu petak sawah orang lain yang perjanjiannya kalau panen hasilnya dibagi dua. Satu petak sawah yang dia garap biasanya menghasilkan kira-kira satu ton gabah. Lalu Bapak menghitung kira-kira dapat berapa uangnya. Gabah satu kwintal hari ini dihargai kira-kira 500.000. Saya bilang, dikalikan sepuluh. Satu ton itu sepuluh kwintal. Hasilnya 5.000.000. Dibagi dua (bagian Bapak dan bagian si pemilik sawah) jadinya 2.500.000.
Tentu saja nominal itu hasil yang sedikit, mengingat untuk panen padi ini, membutuhkan waktu tiga bulan lebih. Dalam perhitungan kasar saya, Bapak hanya menerima uang bersih 720.000. Tiga bulan dia bekerja keras hanya menghasilkan uang yang jauh di bawah kata menyedihkan. Tapi Bapak adalah Bapak, sebagaimana petani-petani kecil lain di kampung, tidak ambil pusing (atau sebenarnya pusing, tapi disembunyikan) dengan hasil dari panennya. Bapak jarang sekali menjual gabah dari sawah yang dia garap. Gabah-gabah itu disimpan untuk persediaan pangan beberapa bulan ke depan. Baginya, menanam padi ini seperti menabung. Syukur-syukur dapat tambahan sedikit dari tabungan itu. Kalau tidak ya mau bagaimana lagi. Menjadi petani ini juga bagian dari kegiatan orang di kampung. Kalau orang lain bahas pupuk, kita juga bisa ikut nimbrung. Bahas hama wereng kita juga bisa ikut srawung. Ketika semua gagal panen, kita bisa ikut bingung.
Tapi memang saya tidak melihat kesedihan di raut wajah bapak saya. Dia justru sangat senang karena bisa menghitung dengan kalkulator. Apakah kesedihan itu sengaja tidak dia tampakkan di hadapan anaknya? Apakah kesedihan itu sudah mendarah daging dalam tubuhnya sehingga tidak bisa saya bedakan lagi apakah bapak saya sedang bersedih atau berbahagia? Apakah kesedihan sebenarnya hanya bagian kefanaan, sehingga tidak perlu dirayakan secara berlebihan? Ah, ini sungguh kata-kata yang berlebihan.
Di hape saya ini, Bapak baru saya ajari bagaimana cara mengambil gambar dan video dengan kamera, dan melihat galeri, dan yang terbaru belajar menghitung dengan kalkulator ini. Seandainya saya mengajarinya cara membuka media sosial atau portal-portal berita (dan seandainya dia bisa baca dengan lancar) mungkin dia akan menemukan berita-berita mengerikan, terutama soal pertanian yang relate dengannya. Mungkin dia juga akan melihat berita kalau saat ini, saat panen raya ini, sudah ada sepuluh ribu ton beras impor dari Thailand yang masuk ke Indonesia (dalam hal ini Pasar Cipinang), yang artinya jelas harga beras akan turun drastis, yang mungkin juga akan membuat perhitungan keuntungan dari panen ini salah total.
Tapi saya tidak ingin memberitahukan berita ini kepada Bapak. Saya hanya ingin menikmati raut wajah bahagianya dan mensyukuri keakraban ini, sesuatu yang dulu-dulu jarang saya temui.
*****
Editor: Moch Aldy MA