Ada dua kecenderungan keyakinan manusia dalam memandang sifat dasar manusia. Pertama, manusia itu jahat, egois, dan bersaing satu dengan lainnya. Sebaliknya, anggapan yang kedua, manusia itu pada dasarnya baik, ramah, dan suka membantu satu dengan lainnya.
Gagasan pertama didukung oleh filsuf Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679). Keyakinannya tentang sifat buas dan kejam manusia yang didasari karena rasa takut akan orang lain dan kematian mengharuskan adanya penguasa mutlak Leviathan yang sangat kuat untuk menguasai, mengatur, dan mengendalikan tabiat manusia. Leviathan dalam dunia nyata menjelma menjadi institusi atau lembaga resmi seperti agama dan negara yang selalu hadir dalam setiap jengkal hidup manusia. Sederet hukum dibuat untuk membatasi kebebasan manusia.
Gagasan kedua didukung oleh filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseau (1712-1278). Rousseau meyakini bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Manusia menjadi jahat dan brutal justru karena adanya institusi, lembaga, dan hak milik. Masyarakat madani adalah bencana. Peradaban justru merusak manusia. Pandangan filsafat Rousseau ini banyak dipakai oleh kalangan anarkis untuk membangun fondasi pemikiran mereka.
Pada buku Humankind: Sejarah Penuh Harapan, sejarawan muda Belanda Rutger Bregman mencoba mengadu dua kutub pemikiran yang saling bertolak belakang ini dengan fakta empiris sains dan bukti sejarah. Dengan ketekunan mengumpulkan bukti, merunut fakta, dan mengonfirmasi informasi khas sejarawan akademis, Bregman menyajikan hasil sintesisnya dengan bahasa yang ringan, jelas, dan penuh keoptimisan. Setiap babnya seolah bisa dijadikan sebagai buku-buku terpisah saking banyaknya hal baru yang bisa kita dapat.
Baca juga:
Homo Puppy
Salah satu kebaruan dalam karya Bregman ini adalah munculnya istilah Homo Puppy. Istilah ini digunakan Bregman untuk mengistilahkan bahwa Homo sapiens adalah spesies yang paling ramah di antara saudara-saudara dekatnya seperti Homo denisova, Homo erectus, Homo floresiensis, Homo neanderthalensis, dan Homo luzonensis. Kondisi manusia yang super ramah itulah yang membuatnya lebih bisa bertahan menghadapi seleksi alam.
Keramahan manusia memungkinkan mereka untuk dapat saling berinteraksi, bekerjasama, dan berkomunikasi untuk dapat bertahan hidup. Hal ini sangatlah unik; menurut fakta arkeologis, Homo sapiens bukanlah homo yang terkuat dan juga bukan yang paling cerdas. Jika dibandingkan dengan Neanderthal, Sapiens mempunyai tubuh yang relatif kecil dan ringkih. Yang lebih mengejutkan lagi, jika kita menganggap superioritas Sapiens adalah kecerdasan, asumsi itu patah ketika kita mengetahui bahwa rata-rata otak Neanderthal (1.500cm3) 15% lebih besar daripada daripada otak Sapiens (1.300cm3).
Walaupun cerdas dan kuat, Neanderthal kalah dalam hal bersosialisasi dengan Sapiens. Keadaan individualis tersebut membuat kecerdasan mereka tidak mudah menyebar sehingga banyak pengetahuan penting untuk bertahan hidup lenyap seiring kematian satu Neanderthal sebelum diwariskan ke Neanderthal lainnya. Sebaliknya, pengetahuan yang muncul di komunitas Sapiens menyebar dengan pesat dari satu Sapiens ke banyak Sapiens lainnya. Lalu, bagaimana transformasi nenek moyang Sapiens menjadi Homo Puppy?
Dengan jeli, Bregman memaparkan penelitian Profesor Dmitri Belayev bersama mahasiswinya, Lyudmila Trut, tentang usaha memahami pertanyaan bagaimana binatang-binatang jinak yang terdomestikasi mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil dan wajah yang lebih imut dibandingkan nenek moyangnya yang liar. Dengan menggunakan hewan rubah liar, Belayev dan Lyudmila berhasil mengembangkan spesies terjinak dari rubah tersebut yang berliur dan mengibaskan ekor. Sifat rubah perak yang dibiakkan ini tidak agresif dan lebih suka bermain seharian. Penjinakan itulah kiranya juga terjadi pada anjing, babi, kelinci, domba, dan manusia. Sang Homo Puppy yang mempunyai ciri khas wajah yang bisa memerah ketika merasa malu.
Noda Peradaban
Saat manusia belum mengenal peradaban, kehidupan manusia sangat egaliter, kolektif, dan berpindah-pindah. Namun, dalam buku ini, Bregman tidak terlalu meromantisasi masa lalu nenek moyang manusia.
Benci dan amuk adalah emosi yang sudah lama tertanam dalam sejarah evolusi manusia. Manusia juga sesekali menyerang. Namun, yang menjadi pembeda adalah politik prasejarah sangat membenci dominasi dan ketidaksetaraan. Keputusan diambil secara musyawarah dan semua anggota kelompok boleh berpendapat.
Arogansi dan rasa menguasai segelintir manusia hanya akan mendatangkan pengasingan bahkan kematian karena mayoritas menginginkan kehidupan yang setara. Pemburu-pengumpul nomaden sangat memperhatikan kebebasan. Mereka mudah berganti kelompok tanpa dicurigai. Para anggota kelompok juga mengembangkan rasa malu agar semua bisa rendah hati.
Satu yang menarik adalah leluhur laki-laki Sapiens cenderung tidak macho; lebih feminin, dan cenderung mirip dengan perempuan dibandingkan spesies lainnya yang mempunyai perbedaan lebih mencolok antar jenis kelamin. Keadaan yang setara ini juga memengaruhi Sapiens untuk lebih fleksibel dalam berkelompok dan berjejaring sehingga bisa lebih cerdas secara sosial karena lebih banyak teman dibandingkan Neanderthal yang lebih individualis dan patriarkis.
Manusia memasuki era peradaban ketika menemukan cara bercocok tanam. Titik yang dimulai 10.000 tahun yang lalu itu menandai bergantinya era berburu dan mengumpulkan makanan menjadi era bercocok tanam. Manusia yang awalnya nomaden berangsur-angsur mencari tempat yang baik untuk bercocok tanam, lalu hidup menetap dan membentuk pemukiman.
Keadaan ini membuat manusia mulai mengenal hak milik. Tanah yang sudah diolah dianggap menjadi hak milik pribadi dan orang asing yang tanpa izin memasuki wilayahnya dianggap musuh. Manusia mulai membentuk sistem pembagian kerja untuk mengolah tanah dan tentara untuk melindungi dari serangan kelompok lain. Di sinilah dimulainya perang dalam skala besar. Perang yang dikendalikan oleh kepala suku, raja, pemimpin agama, dan presiden di era-era berikutnya. Hal ini tidak mungkin terjadi pada manusia era pemburu-pengumpul.
Riset Problematis
Bregman juga memaparkan riset-riset problematis beberapa ahli psikologi sosial yang menguatkan teori kulit luar manusia yang meyakini kebaikan manusia hanyalah kulit tipis. Kulit yang segera terkelupas sehingga ketika situasi dan kondisi sedikit diubah akan terlihat sisi buas manusia yang jahat dan egois.
Dengan mengumpulkan fakta historis dan riset-riset terbaru, Bregman mengkritisi riset-riset psikologi sosial yang sudah mapan dan masih diajarkan pada kelas-kelas psikologi dasar. Dimulai dari penelitian Stanford Prison Experiment yang melambungkan nama Philip G. Zimbardo menjadi tokoh psikologi sosial ternama. Belakangan, diketahui bahwa penelitian itu penuh cela secara metodologis. Ada unsur ketidakjujuran yang manipulatif, yakni mahasiswa yang berperan menjadi sipir ternyata sudah diperintah untuk berbuat brutal, bukan hal yang terjadi dengan sendirinya tanpa terkondisikan.
Selanjutnya, Bregman juga membuka tabir yang menutupi Robbers Cave Experiment yang digagas ahli psikologi Turki, Muzafer Sherif. Perkemahan yang melibatkan dua kelompok anak itu juga berlangsung damai-damai saja. Mereka malah saling membantu, bermain, dan bernyanyi bersama. Beberapa provokasi yang dibuat tim peneliti yang frustasi karena tak ada konflik yang diharapkan membuat keabsahan hasil penelitian itu dipertanyakan.
Penelitian besar lainnya yang dikritik habis oleh Bregman adalah mesin setrum Stanley Milgram. Pernyataan Milgram bahwa manusia cacat secara pemrograman sehingga bisa patuh melakukan hal-hal yang paling mengerikan sangat tidak relevan setelah diketahui hampir separuh partisipan sebenarnya tidak percaya bahwa setrum itu sungguhan. Alhasil, beberapa dari mereka mau menekan tuas listrik. Mereka mau melakukan hanya karena ingin berkontribusi membantu penelitian itu karena mereka yakin suatu penelitian ilmiah akan menghasilkan sesuatu yang baik.
Baca juga:
Lalu, jika penelitian-penelitian tentang sifat jahat manusia itu terpatahkan, mengapa manusia masih banyak yang meyakini bahwa manusia pada dasarnya mempunyai sifat jahat?
Jawabannya adalah berita dan media massa. Baik televisi, koran, majalah, tabloid, film, radio, dan, belakangan, media sosial sering kali lebih suka menyiarkan berita dan hal-hal yang lebih mengaduk emosi. Menyiarkan berita tentang kekerasan, kebrutalan, dan kejahatan yang menghebohkan jelas akan sangat menarik dan menaikkan rating dibandingkan memberitakan tentang sifat asli manusia yang penuh kebaikan, welas asih, dan cinta damai.
Editor: Emma Amelia