Peringatan Darurat Indonesia menjadi tajuk yang sangat bersejarah dalam proses dinamika demokrasi bangsa hari ini. Rakyat sedang dihadapkan pada masalah nyata betapa culasnya para penguasa di negeri ini. Mulai dari politik dinasti sampai tipu daya penguasa dan penyokongnya yang terus membodohi rakyat seakan-akan negeri ini masih baik-baik saja.
Beragam tagar muncul di jagat maya, membawa satu isu penting yang diwakili tagar #peringatandarurat. Kita dihadapkan pada kondisi mencekam ketika aparat kepolisian bertindak represif dan brutal terhadap rakyat yang sedang menyuarakan kondisi kritis bangsanya. Tagar #Daruratkekerasanaparat menggambarkan bahwa rakyat dipaksa berhadapan dengan sosok yang seharusnya menjadi pelindung mereka, yang saat ini justru menjadi pelindung para penguasa culas yang mungkin adem ayem di tengah konflik yang merebak.
Baca juga:
Pada edisi laporan khusus yang bertajuk “Nawadosa Jokowi”, Tempo memaparkan 18 dosa pemerintahan Jokowi yang melingkupi seluruh sektor, mulai dari hukum, politik, ekonomi, hubungan luar negeri, konflik pertanahan, isu militer dan kepolisian, lingkungan hidup, hingga pelemahan demokrasi. Berdasarkan laporan khusus itu, Jokowi ibarat sedang masuk ke labirin kaca, setiap ia ingin menghadap kiri-kanan-depan-belakang, semua dosanya kelihatan. Dosa-dosa itu tidak akan hilang dan akan terus tercatat dalam ingatan rakyat Indonesia.
Merusak Budaya Hukum hingga ke Akarnya
Di berbagai aspek kehidupan bernegara, Jokowi memperoleh rapor buruk. Terlebih lagi dalam hal penyelundupan hukum. Ia pun kerap enggan mengindahkan etika. Tidak sedikit pakar yang mengkritik cara penyelenggaraan negara, khususnya bagaimana Jokowi dapat memuluskan bangunan dinasti politik keluarganya. Bahkan ia berhasil membuat sesama rakyat kebinggungan dan saling tuduh sehingga banyak orang bertanya “ada masalah apa sebenarnya?”. Sebagai bagian dari civitas akademika kampus, saya tidak akan lupa bagaimana para guru besar berbondong-bondong menyuarakan kritik terhadap peran Jokowi dalam merusak demokrasi.
Baca juga:
Cara yang digunakan dalam memanipulasi kekuasaannya pun sangat modern, bukan lagi mengandalkan peluru, tetapi melalui hukum. Seperti yang kita ketahui, hukum adalah ukuran sah tidaknya suatu perbuatan. Busyro Muqqodas pernah menguraikan bahwa dalam pandangan filsafat hukum, suatu produk hukum (perundang-undangan) merupakan kristalisasi moral dan etika yang hidup dalam masyarakat, sehingga oleh karenanya hukum dijadikan pedoman hidup. Berbanding terbalik dengan uraian tersebut, melalui hukumlah Jokowi melanggengkan seluruh agendanya agar nampak sah, padahal hukum produknya bukanlah murni bentuk kristalisasi moral dan etika. Praktik inilah yang saat ini sering kita dengar sebagai otokrasi hukum (autocratic legalism).
Dalam beberapa tahun terakhir, cara pandang masyarakat terhadap hukum jadi makin buruk. Muncul banyak kritik bahwa hukum bukan hanya tumpul ke bawah, tetapi juga harus viral dulu baru bisa ditegakkan. Saya mengamati saat ini orang-orang menjadi permisif terhadap penyelewengan hukum, bahkan tidak sedikit yang menganggapnya biasa saja. Saya berpendapat hal ini disebabkan oleh contoh buruk yang diperlihatkan para elite. Akhirnya budaya hukum yang makin bobrok terbentuk dalam nadi bangsa ini.
Jika berkaca pada teori sistem hukum Lawrence Friedman, substansi (isi hukum), struktur (aparat penegak hukum), dan budaya hukum yang saling memengaruhi berperan penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya penegakan hukum. Kolaborasi masing-masing kekuasaan negara, baik lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif memperlihatkan adanya perilaku otokrasi hukum yang kemudian terkristalisasi menjadi acuan nilai moral dan etika masyarakat. Namun sayangnya, kolaborasi ini justru dimaknai secara negatif. Kolaborasi dilakukan untuk memenuhi hasrat dan kepentingan penguasa.
Baca juga:
Lantas sampai kapan praktik demikian akan terus dipertahankan demi memuaskan hasrat para penguasa? Apakah sampai hukum tak lagi menjadi instrumen yang dipercaya untuk mencapai keadilan? Apakah sampai di titik biarkan hukum rimba yang berkuasa? Di titik inilah rakyat memiliki hak penuh untuk bersuara, salah satunya lewat gerakan #Peringatandarurat.
Kaca Kotor Penuh Dosa
Dari lubuk hati saya bertanya, apa yang ada dalam bayangan Jokowi saat bercermin setiap hari? Apakah ia melihat betapa suramnya penderitaan rakyat karena deretan kebijakannya? Atau ia justru merasa bersih bercahaya karena telah menjadi raja yang mampu menancapkan pengaruhnya dengan kokoh?
Analogi di atas mengingatkan saya pada satu uraian menarik mengenai “teori cermin” yang diungkapkan oleh Imam Al Ghazali dalam buku Filsafat Kebahagiaan karya Fahruddin Faiz. Al Ghazali mengungkapkan bahwa hakikat diri itu bagaikan cermin, semakin nafsu menguasai maka semakin gelap dirimu. Satu dosa (maksiat) meninggalkan satu noda di cermin. Semakin banyak dosa maka cermin akan semakin bernoda dan gelap, sampai-sampai pantulan kebaikan jadi kian tertutupi rentenan dosa yang hitam menggumpal.
Dalam kondisi kebatinan saat ini, saya rasa Jokowi perlu bertamasya ke labirin kaca dirinya. Ia perlu merefleksikan betapa gelap hakikat dirinya selama 10 tahun terakhir dengan beragam ingkar janji, bersikap seolah-olah tak tahu persoalan, membegal konstitusi, mencarikan pekerjaan keluarganya melalui jalur nepotisme, hingga meruntuhkan kepercayaan rakyat dan merusak lingkungan.
Sudah saatnya Jokowi melihat bahwa labirin kaca yang seharusnya asik ditelusuri jalan keluarnya, telah menjadi gelap dan tak mampu menunjukkan jalan keluar. Dalam kondisi gelap tersebut, ia tak lagi bisa mengandalkan mata. Hanya pendengaran yang bisa ia andalkan untuk menuntunnya ke jalan keluar. Suara itu adalah suara rakyat yang saat ini terus menggema. Jika Jokowi menolak untuk mendengar, ia akan terus terperangkap dalam labirin kaca penuh kegelapan yang menggambarkan dirinya.
Editor: Prihandini N