Di acara Zikir dan Doa Kebangsaan 79 Tahun Indonesia Merdeka, Presiden Joko Widodo mengutarakan permintaan maaf. Ia berujar bahwa sebagai manusia biasa ia tak bisa menyenangkan dan memenuhi harapan semua pihak. Sekilas permintaan maaf Jokowi tampak membuatnya sebagai negarawan. Namun, sebaiknya jangan tersihir dengan retorika pas-pasan dan tiada artinya itu.
Kita lazim mendengar: sangat baik orang yang meminta maaf, dan jauh lebih baik orang yang memaafkan. Ungkapan tersebut bernada religius dan lazim dijadikan prinsip. Namun dalam konteks ini, sebaiknya kita tak mudah untuk memaafkan orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja dan menikmatinya.
Enak betul apabila Presiden yang begitu sewenang-wenang saat menjabat, mendobrak berbagai batasan konstitusional untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, dengan mudah meminta maaf dengan dalih ia manusia biasa yang tak sempurna. Padahal ia sudah membuat pilar-pilar demokrasi tak lebih tinggi dari gunung ambisi pribadi. Di saat banyak rakyat masih terjerembab dalam kemiskinan, ia bermegah-megah di Ibu Kota Nusantara dengan para kacung influencer sewaannya. Begitu miris.
Baca juga:
Majalah Tempo edisi Minggu 28 Juli 2024 dengan kritis menyajikan list ‘dosa’ Jokowi selama sepuluh tahun menjadi presiden. Judul laporannya begitu menohok: Satu Dasawarsa Memutar Balik Demokrasi. Dari sekian banyak ‘dosa’ Jokowi, kemunduran demokrasi menjadi hal yang paling memprihatinkan. Ya, orang yang sangat tidak paham demokrasi itu berperan besar terhadap kemunduran demokrasi. Demokrasi begitu tidak ada artinya bagi Jokowi sehingga pelanggengan dinasti menjadi tujuan yang pasti.
Persekongkolan telanjang dengan sang adik ipar di Mahkamah Konstitusi untuk meloloskan putra mahkota berhasil digolkan. Seluruh sumber daya dan instrumen kekuasaan dikerahkan untuk memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka ke tampuk kekuasaan wakil presiden. Berdirinya dinasti Jokowi berjalan beriringan dengan semakin terpuruknya demokrasi. Tanpa mengecilkan kesalahan lain, kemunduran demokrasi era Jokowi akan selalu mencoreng legitimasinya.
Mengapa kemunduran demokrasi begitu menyakitkan dan sangat disayangkan? Bayangkan, demokrasi era reformasi yang kita nikmati adalah hasil dari jerih payah perjuangan penuh kesakitan tahun 1998. Proses kelahirannya merenggut nyawa yang tidak sedikit. Ketakutan mengudara di awan-awan gelap otoritarianisme Orde Baru Soeharto. Namun, dengan kegigihan para mahasiswa dan pejuang demokrasi, Soeharto akhirnya lengser. Siapa yang mengenal sejarah akan dengan hati-hati menjaga prinsip-prinsip demokrasi.
Kesalahan Jokowi yang bermain-main dengan demokrasi sungguh sukar dimaafkan. Namun baiklah, maaf adalah hak dari setiap manusia, termasuk Jokowi. Namun, sebelum maaf diberikan, ada pesan yang perlu disampaikan dan digarisbawahi.
Baca juga:
Pak Presiden, maaf itu bukan barang murah. Hidup begitu mudah apabila setiap kesalahan dalam skala besar atau kecil dapat terhapus hanya dengan ungkapan maaf. Setiap orang akan sewenang-wenang berbuat salah jika maaf begitu murah dan mudah. Ada konsekuensi yang harus ditanggung jika ingin dimaafkan. Konsekuensinya adalah hukuman. Penjara adalah konsekuensi dari pemaafan bagi pelaku kejahatan. Louis XVI dan Marie Antoinette mendapat pemaafan dari rakyatnya dengan konsekuensi kepala mereka dipenggal. Napoleon Bonaparte menerima pemaafan dari para pemimpin Aliansi Suci dengan pengasingannya di Elba dan St. Helena. Pengadilan Nuremberg dan Tokyo merupakan bentuk pemaafan atas kesalahan para penjahat Perang Dunia II. Kediktatoran Soekarno dan Soeharto dimaafkan dengan konsekuensi kelengseran yang menyakitkan.
Presiden yang terhormat, seharusnya permintaan maaf itu datang bersamaan dengan renungan: “hukuman apa yang pantas saya dapatkan karena kesalahan yang sengaja saya lakukan ini?”. Tentu Jokowi tak akan sedikitpun memikirkannya, apalagi merenungkannya. Biarlah. Namun yang pasti Pak Presiden, pemaafan selalu berkonsekuensi hukuman. Hukuman yang paling berat dan menyakitkan adalah noda hitam abadi pada nama Anda dalam sejarah Indonesia, bahwa Anda adalah perusak demokrasi dan pemelihara dinasti. Pahitnya hukuman sejarah yang akan Anda terima adalah tanda rakyat memaafkan Anda, Pak Presiden. Maaf diberikan.
Editor: Prihandini N