“Bersama Playboy Indonesia, Erwin telah menorehkan catatan penting dalam sejarah perjalanan demokrasi Indonesia. Perlawanan Erwin pada setiap upaya untuk menghentikan penerbitan di Kelinci adalah sebuah langkah besar dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi di Indonesia. Ketika kita memilih tunduk pada pembungkaman, maka selamanya kita akan menghamba pada sensor, pembungkaman, dan pemberangusan. Dan Erwin menolak untuk tidur.”
—Okky Madasari, Rabbit in Prison (2023)
***
Saya sempat terpekur beberapa waktu saat membaca ulasan singkat atau blurb dari Okky Madasari (Okky)—sastrawan bergelar PhD di bidang sensor & produksi pengetahuan—atas buku Rabbit in Prison (A true story of a Playboy editor’s behind bars) karya Erwin Arnada.
Lewat OM Institute yang Okky gagas dan dirikan, rangkaian kalimat bertajuk “Menelanjangi Mimpi & Intelektualisme Erwin” yang dituliskan perempuan super sibuk ini, sungguh menghenyak alur berpikir saya. Ingatan saya kembali ke masa 2005-2010 saat kasus Erwin Arnada merebak dan jadi topik pembicaraan berbulan-bulan, bahkan berlanjut bertahun-tahun, menghebohkan jagat informasi dan infotainment. Gegar gegap gempita pokoknya. Yang pro (membela) Erwin banyak pun dengan yang kontra.
Saya kemudian berusaha mendalami sekian banyak paragraf yang ditulis Okky tentang majalah dengan artikel-artikel “bergizi yang layak dikonsumsi” oleh publik. Kebebasan pers pun menjadi sorotan penting karena di balik sekian ribu rangkaian diksi yang dihadirkan oleh setiap penulis tentu ada pertanggungjawabannya. Dan ketika seorang jurnalis memutuskan untuk mengadaptasi sebuah jenama hendaknya harus bijak dalam bersikap dan mengambil serangkaian langkah. Termasuk menghadirkan penjelasan bagus tentang produk jurnalistik yang (akan) diadopsi tersebut agar tidak menimbulkan syak wasangka di tengah sekian juta publik yang mengamati.
Apalagi di saat Erwin Arnada mengimpor Playboy, kesehatan serta tumbuh kembang pers dan demokrasi di Indonesia masihlah terbilang belum sempurna. Setelah sekian tahun terbelenggu kebijakan serta otoritarianisme rezim Orde Baru. Pers— di masa itu—hidup dalam tekanan dengan banyaknya aturan. Bisa mendadak dibredel karena sebuah kesalahan kecil. Penguasa adalah pemegang izin absolut tanpa bisa dibantah.
Setelah Orde Baru runtuh dan demokrasi bangkit, semua sendi kehidupan mendadak “pencilakan”. Semua mencari celah untuk merasakan aroma kebebasan yang dulunya barang mewah. Setiap sendi kehidupan—termasuk dunia pers—menggeliat cepat dan semangat untuk berlari mengejar ketinggalan. Banyak para pemikir, politikus, cendekiawan, sastrawan, budayawan, dan berbagai profesi bergengsi mendadak berkibar dengan konsep yang dulu tak pernah berani untuk dihadirkan.
Kemudian kasus adopsi Playboy ini merebak. Asumsi saya, banyak yang tidak siap dengan keterbukaan saat roda jurnalisme yang tetiba bisa berlari kencang.
Efek domino pun kemudian bermunculan. Hadirnya pengamat lapangan seperti organisasi keagamaan bagaikan api yang membakar asumsi dan kesadaran banyak orang. Apalagi semua “tekanan” yang dihadirkan memakai alasan kepatutan, kesopanan, dan larangan agama, semakin menggelora dari hari ke hari. Inti penolakannya adalah tak pantas gambar-gambar (baca: foto-foto) wanita seksi dan atau telanjang dihadirkan sebagai isi utama sebuah majalah. Terutama di sebuah negara agamis dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang memegang teguh moralitas atas dasar ajaran agama di atas segalanya.
Benarkah Playboy Indonesia akan tampil demikian? Benarkah langkah-langkah yang diambil Erwin Arnada mendapatkan sambutan baik masyarakat seperti yang diharapkan oleh Playboy grup milik Hugh Marston Hefner ini?
Rabbit in Prison dan yang Diceritakan di Dalamnya
Buku dengan ukuran 12.5×19.5cm yang ditulis oleh Erwin Arnada dengan cetakan pertama pada Oktober 2023 dan disunting oleh Moch Aldy MA (IG @genrifinaldy dan X @MochAldyMA) yang juga Redaktur Omong-Omong Media ini, tampil dengan visual yang sangat menarik. Di setiap lembaran yang padat-berisi, diselipkan lampiran berbagai liputan media saat kasus Playboy merebak menuju pengadilan. Diselingi banyak kalimat bijak yang mewakili lubuk hati penulisnya.
Di bagian depan, kita akan bertemu dengan rangkaian ucapan terima kasih yang begitu mendalam dari Erwin Arnada, rangkaian review dan sambutan, selembar sambutan berjudul “Kepingan Sejarah dalam Rabbit in Prison” yang ditulis Butet Kartaredjasa (aktor alias Pengecer Jasa Akting) dan dua lembar kalimat-kalimat “nonjok” yang dihadirkan Todung Mulya Lubis. Ahli hukum yang memang secara resmi ditunjuk Erwin Arnada sebagai pengacaranya. Sambutannya tersebut berjudul “Nilai Kebebasan Pers & Perjuangan Erwin Arnada”.
Khusus untuk sambutan dari Todung Mulya Lubis yang ada di paragraf sebelum penutup, berikut adalah rangkuman tulisan beliau sebagai pembela Erwin Arnada:
“Erwin Arnada adalah seorang wartawan pemberani, melawan arus, mengibarkan bendera kebebasan pers meski benderanya adalah majalah Playboy. Dia mesti dihargai karena bersikap jujur dan terbuka. Tetapi dia didiskriminalisasi dan dihukum penjara. Saya membela Erwin Arnada karena percaya bahwa Erwin tidak bersalah, bahwa dia menjalankan kebebasan pers, bahwa dia bukan orang yang menjual obscenity. Erwin memuja keindahan. Dan itu sekaligus news and beauty. Itu bukan crime.”
Benarkah Erwin Arnada adalah korban produk hukum dan penghakiman massa seperti yang disampaikan Todung Mulya Lubis di atas?
Saya membuka informasi tentang isi buku sebagai langkah awal. Daftar isinya terdiri dari 19 bagian/bab yang mengisahkan tentang rangkaian kejadian penting. Dimulai dari ide “melamar” Playboy yang sempat diragukan dan ditentang oleh banyak pihak, khususnya teman-teman baik Erwin. Kemudian rentetan teror yang dilakukan banyak pihak hingga harus mengungsi ke Bali, serta rangkaian hantaman terhadap mental Erwin yang terurai pada Bab 10 di halaman 112 yang berjudul “Rabbit vs Goliath”. Lalu ada cerita tentang proses penyerahan diri, kehidupan di dalam penjara dan rangkaian catatan penting di Bab 19 yang berjudul “Jounalism is Not a Crime.”
Saya membaca setiap lembar buku ini dengan dada berdebar-debar dan kerap menggoreskan stabilo dan stiker penanda. Semua saya lakukan agar jika ingin membaca kembali bagian-bagian yang saya anggap penting, dan membuat review atas buku ini, saya tak perlu kelimpungan bolak-balik halaman tanpa tujuan pasti. Satu hal yang sering saya lakukan saat memutuskan untuk membuat rangkaian analisis.
Satu pertanyaan penting setelah saya membaca 1/3 dari buku atau lembar awal dari buku Rabbit in Prison adalah “Apa sih yang menginspirasi Erwin, sehingga membuatnya kekeh membawa Playboy ke Indonesia?
Sudah jelas-jelas majalah Playboy ini ditolak secara resmi karena dominasi vulgar yang dihadirkan? Emang gak ada ya majalah internasional lain yang lebih layak dan bisa diterima publik dengan lebih baik? Dari sekian juta produk jurnalistik yang berkualitas dan tidak mancing-mancing kemarahan umat muslim, masak sih gak ada yang appropriate untuk negara dengan warga muslim terbanyak di dunia? Erwin Arnada ini muslim bukan? Masak tidak sensitif dengan isu agama?”
Rangkaian pertanyaan di atas juga muncul bergejolak saat saya terlibat dalam diskusi hangat bersama teman-teman. Khususnya dengan beberapa rekan yang dulu pernah bekerja sama di sebuah NGO binaan USAID yang bergerak di dunia media. Kami berdebat bukan karena pantas atau tidak pantas tapi tentang realistis atau tidak. Sementara di saat yang sama media cetak itu lahir bagaikan jamur yang tumbuh subur di pinggir jalan. Tapi inti dari diskusi kami pada waktu itu adalah “Playboy Indonesia belum waktunya lahir”.
“Erwin kuwi loh kesusu. Marai heboh ra karuan. Sakjane loh sosialisasi melekat dulu, baru bergerak,” ujar salah seorang teman, senior di bidang media yang sekarang jadi pemred sebuah media cetak ternama di tanah air.
Saya akui pendapatnya jitu.
Lalu saya kembali ke buku, khususnya ke halaman 7. Di situ tertera alasan kuat mengapa Erwin berani dan bertekad mengadopsi Playboy.
“Aku tertarik ambil lisensi Playboy karena aku tahu label majalah ini mendapat ‘Award Winning Journalism’ berkat artikel feature dan interviunya. Bukan karena gambar-gambar wanita di dalamnya.”
Lalu dilengkapi dengan tambahan penjelasan yang ada di halaman 93.
“Kelinci Indonesia menargetkan pembaca yang sadar akan konsep jurnalisme yang berwawasan luas. Sesuai dengan filosofi Playboy yang diakui sebagai jurnalisme pemenang penghargaan.”
Saya mengerutkan kening.
Tapi apa alasan ini terdengar meluas dan tersosialisasikan dengan baik ke publik? Khususnya sampai ke telinga para penolak dan mereka yang kontra dengan hadirnya Playboy Indonesia?
Nyatanya tidak.
Those are flying with the wind. Spreading with the dusts and became nothing.
Nggak ada yang (bersedia) mendengarkan. Namun di tengah huru-hara yang jumpalitan dari waktu ke waktu, Playboy Indonesia (sementara waktu) bisa bernafas lega.
Playboy Indonesia menang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena Jaksa Penuntut Umum keliru memilih landasan hukum. Selang beberapa waktu, Erwin menerima penghargaan Courage Under Fire yang merupakan apresiasi Playboy Enterprise (kandang utamanya Playboy di Amerika) atas keberanian dan komitmennya membela brand Playboy. Pada suatu halaman di dalam buku, terlihat foto di mana Erwin memegang lembaran sertifikat penghargaan tersebut dan berfoto berdampingan dengan Hefner, bapaknya Playboy Enterprise.
Demi menghindar dari keriuhan yang tak henti, Kelinci Indonesia pun memutuskan untuk hijrah ke Pulau Dewata. Di sinilah, Playboy Indonesia diterima dengan baik dan sempat bertumbuh kembang.
Hefner memuji kualitas Playboy yang dipimpin Erwin. Khususnya komitmen untuk konsep dan kualitas jurnalisme yang jauh di atas rata-rata dibandingkan dengan majalah pria dewasa lainnya di Indonesia. Terbukti ketika dua artikel Playboy Indonesia memenangkan Penghargaan Jurnalistik Nasional yang diselenggarakan Sampoerna Foundation pada April 2007.
Tapi semua kelegaan itu berakhir pada 9 Oktober 2010. Erwin harus kembali ke Jakarta untuk “menyambut” hukuman penjara karena telah kalah di tingkat kasasi MA. Ia divonis dua tahun penjara dan ia sudah berniat untuk menyerahkan diri serta mengikuti rangkaian proses untuk berada di Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Majalah pria dewasa ini pun tersungkur seiring dengan terjeblosnya Erwin ke penjara.
Sebuah Perjalanan Hidup yang Sarat Ajaran
Saya pun kemudian berada di Bab 12. Satu bagian yang memulai cerita lain dari rangkaian kehidupan Erwin. Hingga ke Bab 17, Erwin menceritakan suka-duka sebagai warga binaan. Menyatu dengan sekian banyak tahanan yang menjadi pesakitan dari ragam kasus tindak kejahatan. Mulai dari perkara remeh-temeh, pembunuhan, penipuan, hingga korupsi, kejahatan kerah putih yang hingga kini terus merebak tanpa batas.
Erwin mengenalkan kepada pembaca akan beragam suasana hidup di hotel prodeo dengan segala penerimaan, keikhlasan, dan kepasrahan. Beliau juga memaparkan berbagai istilah dan sebutan yang berlaku di dalam penjara. Di halaman 153 saya kemudian mengutip paragraf reflektif yang bertuliskan:
“Nasihat terampuh dari para senior di Blok 3 LP Cipinang lainnya adalah tiap tahanan harus mau menyingkirkan sentimental dari kehidupan sebelumnya, antara lain soal jabatan, fasilitas, dan kehormatan diri.”
“Satu-satunya cara menjalani hukuman ya ikhlas saja. Lupakan yang kemarin, tunda rencana ke depan.”
Saya langsung terenyuh. Di antara himpitan dan tekanan batin yang dialami, pastilah tidak ada seorang pun yang siap untuk menyandang status sebagai terpidana, orang yang telah melanggar hukum dan ditetapkan sebagai pesakitan. Tapi nyatanya saat kita tersungkur di sisi terbawah dari roda kehidupan, semua ajaran hidup itu terangkat satu persatu.
Wadah penyampaiannya bisa bermacam-macam. Ini adalah poin penting mengapa akhirnya Erwin melebur dengan semua tahanan, melakukan banyak kegiatan positif, bahkan didapuk menjadi event organizer bila lapas mengadakan acara-acara penting. Jaringan persahabatannya dengan banyak orang berkedudukan dan populer (baca: artis), membuat Erwin merasa dirinya berarti meski di balik jeruji.
Sebagai pembaca, justru di bagian inilah setiap kalimat menarik untuk disimak. Saya terbenam pada indahnya rangkaian diksi tentang rasa yang meliputi diri mantan Pemimpin Redaksi majalah fenomenal. Erwin dengan rendah hati menceritakan dirinya dari detik tersedih saat dia harus mugshot (difoto dari berbagai sisi sambil memegang papan bertuliskan nama dan pasal penahanan), mencoba melebur dengan siapapun di dalam lingkungan lapas (para petugas, penjaga, dan sesama tahanan), hingga akhirnya “betah” menjadi bagian dari mereka.
Yang Bisa Dibawa Pulang dari Kisah Rabbit in Prison
Saya salah seorang penyuka buku-buku inspiratif seperti Rabbit in Prison ini. Novel dengan latar belakang kisah nyata, justru bisa menjadi satu perenungan panjang agar saya dapat lebih menghargai hidup, menikmati setiap langkah, dan mengajak diri untuk lebih mawas dalam mengambil keputusan, sekecil apa pun itu.
Rabbit in Prison—bagi saya—sarat dengan ajaran kehidupan. Keikhlasan akan rangkaian jejak takdir dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta membuat kita kuat menghadapi apa pun yang akan terjadi pada diri kita. Memang klise kedengarannya, ya.
Menurut saya, sih, he’s not in the right time saja. Di zaman itu kebebasan pers, berekspresi, dan berkomunikasi lantang belum sebebas seperti apa yang kita bayangkan. Makna demokrasi di negara kita—di masa itu—masih dalam status mengambang. Banyak kejadian persekusi dalam segala bidang.
Kalau Playboy Indonesia diadopsi di tahun-tahun segini dengan pengaruh media sosial yang intense, Erwin pasti punya banyak kesempatan untuk menyosialisasikan maksud dari masuknya Playboy dalam banyak kesempatan. Satu kesempatan yang bisa membawa publik lebih memahami. Rangkaian komunikasi yang sesungguhnya bisa menjadi jembatan untuk menghindari kesalahpahaman yang muncul dari berbagai unsur masyarakat; bahwa Majalah Playboy Indonesia tidak mengandung foto-foto bugil dan malah berisi tentang deforestasi hutan di Kalimantan hingga wawancara terakhir Pramoedya Ananta Toer.
Untuk itu saya setuju banget dengan pendapat Butet Kartaredjasa yang mengungkapan bahwa buku Rabbit in Prison ini wajib dibaca oleh mereka yang berprofesi dan belajar dunia komunikasi.
“I’m not a hero, nor a victim. I’m just another version of history.”
—Erwin Arnada, Rabbit in Prison (2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA