Koalisi Indonesia Maju (KIM) tampak ingin melanjutkan euforia kemenangan Pilpres 2024 melalui Pilkada serentak bulan November nanti. Pelbagai orkestrasi politik diupayakan agar partai yang tergabung dalam KIM dapat memenangkan kontestasi. Salah satunya adalah mengajak partai-partai yang berada di luar barisan pada saat Pilpres, seperti Nasdem, PKB, PKS, PPP, Perindo, hingga Hanura untuk bergabung. Hasilnya koalisi gemuk yang disebut KIM Plus pun terbentuk.
Ancaman Koalisi Super Gemuk
KIM Plus, yang terdiri dari 12 partai politik, yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, Garuda, Gelora, PSI, Nasdem, PKB, PKS, Perindo, dan PPP secara meyakinkan mampu mendominasi proses kandidasi di beberapa daerah, seperti Sumatera Utara, Lampung, Banten, Daerah Khusus Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sulawesi Tengah. Alih-alih memperbanyak opsi, koalisi super gemuk ini justru memunculkan potensi calon tunggal.
Menurut Bivitri Susanti dalam acara Kumpul Warga Komunitas Bijak dengan tema “Kotak Kosong dalam Pilkada, Masih Sehatkah Demokrasi Kita?”, calon tunggal dalam konstelasi Pilkada sejatinya bukan barang baru, pada 2015 terdapat 3 daerah dengan calon tunggal. Kemudian pada tahun 2017 calon tunggal ada di 9 daerah, selanjutnya di tahun 2018 calon tunggal ada di 16 daerah, dan terakhir dalam Pilkada 2020 terdapat calon tunggal di 25 daerah. Meningkatnya tren kemunculan calon tunggal jelas menimbulkan kekhawatiran bagi jalannya demokrasi bangsa.
Baca juga:
Semakin banyaknya kemunculan calon tunggal di setiap edisi Pilkada menjadi alarm bahwa demokrasi di Indonesia bergerak mundur. Partai politik yang sejatinya berkewajiban melahirkan calon-calon pemimpin, kini memiliki kecenderungan untuk melakukan apa saja demi meraih kemenangan—realistis dan pragmatisme pun dikedepankan. Fenomena KIM Plus adalah realitas politik yang diorkestrasi dengan maksud meniadakan pertarungan yang kompetitif, sehat, dan berimbang demi memenangkan pasangan calon yang telah disepakati bersama.
Alih-alih demi stabilitas politik, koalisi super gemuk ini adalah upaya untuk melanggengkan dan mempertahankan kekuasaan belaka. “Memborong” partai politik pemilik kursi legislatif daerah untuk menciptakan calon tunggal adalah upaya mematikan demokrasi.
Hadirnya calon tunggal dalam iklim demokrasi justru menegasikan ruang bagi pertarungan ide yang menjajakan pelbagai solusi alternatif persoalan yang dihadapi rakyat. Rakyat dipaksa untuk sepakat dengan visi, misi, dan program yang dibawa oleh si calon tunggal tanpa ada ruang-ruang elaborasi ide yang signifikan.
Ancaman Terhadap Oase Demokrasi
Di saat kedaulatan rakyat yang semakin terjepit, Mahkamah Konstitusi hadir bagai oase di tengah keringnya gurun pasir demokrasi melalui putusan yang memberi ruang lebih luas bagi rakyat mempergunakan kedaulatannya. Melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK meruntuhkan tembok ambang batas atau barrier to entry 20 persen bagi partai politik atau gabungan partai politik yang ingin mengusung pasangan calon di Pilkada.
Artinya, kini seluruh partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon di Pilkada sesuai dengan syarat dalam putusan tersebut. Putusan ini memberikan arti yang signifikan terhadap suara yang dimiliki oleh partai politik peserta pemilu nonparlemen. Suara yang mereka miliki dapat menjadi modal besar untuk mengajukan pasangan calon ke hadapan rakyat.
Namun, tangan-tangan kekuasaan terlihat enggan melihat rakyatnya memperoleh angin segar yang dihembuskan oleh MK. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI secara kilat menyusun agenda pembahasan RUU Pilkada. Berkat dominasi KIM Plus di parlemen, pembahasan soal RUU Pilkada berhasil diselesaikan tidak lebih dari 7 jam. Alih-alih menjadikan Putusan MK sebagai pedoman dalam melakukan revisi, nyatanya Anggota Baleg DPR RI tidak mengindahkan Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut.
Pembahasan dan hasil yang ditetapkan justru bertentangan dengan hasil Putusan MK. Hasil dari pembahasan di Baleg DPR RI tetap memberlakukan ambang batas 20 persen kursi di legislatif sebagai syarat bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon, sedang Putusan MK diterapkan bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di legislatif.
Baca juga:
Keputusan ugal-ugalan yang dilakukan Baleg DPR-RI tersebut adalah wujud nyata pembangkangan terhadap konstitusi. Yance Arizona, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, menyebut bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah penjelmaan dari prinsip-prinsip konstitusi. Sehingga secara sederhana, keputusan Baleg DPR RI terkait RUU Pilkada yang tidak berpedoman dengan Putusan MK sama saja dengan melawan konstitusi.
Situasi hari ini mengingatkan kita pada Machiavelli yang secara tegas memisahkan antara politik dan etika. Machiavelli beranggapan bahwa penguasa harus melakukan segalanya untuk mencapai tujuan, termasuk di dalamnya menegasikan etika. Dan hari ini, ajaran Machiavelli betul-betul diresapi dan diaplikasikan dengan baik di Indonesia oleh tangan-tangan kekuasaan. Menanggalkan etika, menabrak konstitusi, memutus urat malu, bukankah penguasa hari ini sangat Machiavelli?