Budi selalu bangun pagi kecuali pada tanggal merah. Dia berseragam, berdasi, bertopi, berkaos kaki, bersepatu hitam, dan beransel penuh buku pelajaran. Perempuan berjilbab berkacamata sudah menunggunya di pintu gerbang. Budi tidak boleh terlambat!
Setelahnya, Budi masuk ruangan yang tidak terlalu besar, cukup untuk 20-30 anak. Budi duduk di bangku bersama teman dan lainnya. Ada aturan tak kasat mata, entah kapan itu dimulai, yang jelas gema aturan itu terdengar setiap waktu melintasi zaman, bahwa di ruangan itu, Budi dan lainnya tidak boleh banyak tingkah. Sekalipun kegiatan di ruangan itu membosankan dan tak berguna baginya.
Budi juga harus tertib dan tidak boleh banyak omong, apalagi tidur. Hanya ada satu yang diperbolehkan, menyimak dengan diam omongan orang di depan ruangan itu. Menganggukkan kepala lebih dianjurkan ketimbang membantah. Jika melanggar semua itu, berarti Budi anak nakal. Bahkan, Budi bisa kena ancaman tidak bisa lanjut ke jenjang berikutnya.
Baca juga:
Begitulah aturan baku dan patennya, entah siapa pencetusnya. Tidak ada waktu untuk negosiasi atau sekadar merenung tentang akibat dari aturan itu. Semua anak seperti Budi sudah hafal di luar kepala. Apa dan bagaimana semua itu diterapkan beserta konsekuensi. Persis seperti kutukan ketimbang kegiatan olah pikiran.
Setelahnya, bel berbunyi, pertanda awal aturan itu berlaku. Berjam-jam Budi hanya menerima materi, mencatat, mengulang, mencatat lagi, mengulang lagi, sesekali mengerjakan pilihan ganda, dan ujian pengulangan. Di sana, istirahat tidak lebih dari 30 menit dalam sehari. Di beberapa tempat lain, istirahat berlangsung 2 kali dalam sehari. Setelah itu, Budi wajib kembali seperti tadi. Duduk di bangku, mengeluarkan buku, tidak boleh banyak bicara, dan menerima semua penjelasan orang di depan kelas selama 8 jam.
Bila semua keadaan itu Budi langgar, Budi akan dicap nakal, tidak penurut, bahkan diberi nilai buruk. Untuk kasus lebih berat, akan dibawa ke suatu ruangan yang penuh interogasi seperti di pengadilan. Di ruangan itu, orang seperti Budi akan dibuat takut, kapok, tak berdaya. Pengisi ruangan itu terkenal kejam dan menakutkan. Dalam kasus lanjutan, orang tua di rumah juga akan diberi laporan. Dan Budi juga tahu, di rumah, orang tuanya lebih percaya pada sistem lingkungan itu ketimbang pembelaan kebebasan berpikir dirinya.
Setiap sebulan sekali, Budi diwajibkan membayar untuk semua kegiatan membelenggu itu. Nominalnya berdasarkan kualitas ruangan, ketersediaan sarana dan prasarana, serta kemewahan fasilitasnya. Lain tempat lain harga. Yang membuat Budi bingung, asal kewajiban membayar itu terpenuhi dengan tertib, segala konsekuensi atas aturan mengikat dan membelenggu tadi hilang. Kehebatan sistem bayar-membayar di lingkungan tersebut menjadi pelicin yang bisa dipilih oleh siapa saja yang mau. Saking hebatnya sistem bayar-membayar itu, anak seperti Budi bisa menjadi penguasa yang mendapatkan karpet merah dan jalan tol tanpa hambatan.
Tempat semacam itu disebut sekolah. Selama 12 tahun, tempat itu akan membentuk dirimu. Persis seperti bengkel pembentukan diri manusia (penjara). Atas dasar kebaikan, kemajuan, dan kebaruan dirimu diperlakukan seperti barang pabrik yang bisa dibentuk dengan aturan baku dan standar tanpa celah untuk diinterupsi. Konsep itulah yang menjadi warisan tunggal modernisme.
Modernisme dan Kultur Pendidikan
Pandangan dunia dalam modernitas adalah pandangan dunia yang seragam, melampaui batas-batas geografi, bangsa, negara, sosial, dan kebudayaan. Modernisme adalah “ideologi tunggal” yang melaluinya umat manusia diklaim dapat mencapai kemajuan, kesejahteraan, dan kebahagiaan—melalui kekuatan sains dan teknologi.
Jadi jangan heran bila orang saat di sekolah bisa matematika dibilang cerdas, pintar, dan menjadi bintang sekolah. Sementara orang pandai melukis, orasi, berwirausaha, dianggap biasa saja. Dan jangan kaget juga, bila orang tua lebih bangga anaknya bisa menghapal rumus ketimbang luwes dalam berkesenian. Itu sebabnya, lembaga jual beli soal (bimbel) begitu laris manis di negeri ini. Alih-alih ikut serta mencerdaskan bangsa, lembaga tersebut ternyata hanyalah bentuk kapitalisasi kecil yang berhasil memanfaatkan momentum.
Konsep warisan modernisme inilah yang menjadi kultur pendidikan Indonesia selama ini. Dapat dikatakan, warisan tersebut adalah ideologi kaku dan intoleran. Idelogi tersebut hanya memberi toleransi pada sesuatu yang menjanjikan kemajuan dan kebaruan. Tak ada kelenturan, inklusivitas, dan toleransi di dalamnya. Padahal objek utama dalam pendidikan adalah manusia, individu yang ditakdirkan bebas, unik, dan dinamis.
Baca juga:
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pendidikan Indonesia sedang salah kaprah mengenai fundamentalnya. Paham modernisme sudah lama terdekontruksi oleh perkembangan zaman. Jadi sangat bisa dipahami pernyataan bahwa pendidikan Indonesia tertinggal 128 tahun.
Menurut pengamat pendidikan Budi Trikorayanto, setidaknya ada tiga masalah yang masih membelenggu pendidikan Indonesia, yakni kualitas pengajar (guru), sistem pendidikan yang membelenggu (seperti permasalahan Budi di atas), dan lembaga pendidikan yang perlu pembenahan (kapitalistik).
Diskursus lama (kesejahteraan guru, kesenjangan sekolah, dan ketimpangan sosial) masih saja menjadi bahan bakar yang diulas berkali-kali. Namun, keberkali-kalian itu, masih saja belum bisa menghasilkan kebijakan yang revolusioner dan terarah. Padahal, anggaran pendidikan dari APBN setiap tahunnya mendapat jatah paling banyak. Entah karena efek budaya korup atau lainnya, yang jelas pendidikan kita masih jauh dari sebuah pencapaian yang minimal. Semua harus mulai merenungkan hal ini.
Editor: Prihandini N
One Reply to “Kutukan Modernisme Pendidikan Indonesia”