Aroma obat bercampur bau menyengat cairan antiseptik memenuhi udara. Dinding putih rumah sakit memantulkan kemuraman dan rasa sepi. Kesepianmu. Dirimu yang berjalan tertatih, menumpukan sebagian berat tubuhmu pada lenganku. Aku berkeras tak membolehkanmu keluar dari kamar mewah yang kau tempati. Namun, kau mengeluh bosan. Karena meski fasilitas di kamar itu serba ada, kau tetap saja terbaring sebagai pasien. Makanan yang kau santap tetap hambar tanpa garam, agar darah tinggimu tak kumat.
“Guntur sudah datang?” tanyamu menanyakan keberadaan anak pertamamu. Aku menggeleng.
“Bagaimana dengan Astri?” kau menanyakan anak keduamu. Aku lagi-lagi menggeleng.
“Aldi?” nama anak bungsumu terlontar dari bibirmu yang kering dan berkerut. Aku hanya bisa menghela napas panjang.
Sinar matamu yang redup makin mendekati padam saat tahu tak satu pun dari mereka datang menjengukmu hari ini. Begitu pun kemarin. Dan hari sebelumnya lagi, dan sebelumnya lagi.
Aku teringat saat tak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan putra pertamamu dua minggu lalu, terakhir kali ia mengunjungimu. Setengah membentak ia berkata tak bisa sering berkunjung karena sibuk, menepis permintaanmu agar ia sering datang. Ia keluar dari kamar dengan wajah kusut, mengabaikanku yang berdiri di luar, menanti dengan sabar selesainya pembicaraan kalian. Saat aku masuk, kulihat matamu berkaca.
“Dulu, hidupku tak begini,” sambil berjalan setapak demi setapak, kau membuka suara. Kau memulai cerita yang telah kau tuturkan ribuan kali. Aku hanya bisa diam mendengarkan. Tak ada ruginya mendengarkan cerita dari seorang yang tak lagi memiliki pendengar, pikirku.
“Aku dulu seorang pejabat. Hidupku berkelimpahan. Rumahku di mana-mana. Mobilku gonta-ganti. Ingin ke luar negeri, ibaratnya tinggal menjentikkan jari.”
Aku mengernyitkan dahi setiap mendengar ceritamu. Tak henti bertanya dalam hati tentang berapa gaji pejabat kita hingga bisa memperkaya diri sedemikian rupa.
“Aku dulu orang penting. Tanda tanganku dihargai tinggi. Para pengusaha mengantre, sibuk berusaha merebut hati untuk memperoleh tanda tanganku. Agar proyek mereka lolos.”
Aku rasa, kini aku tahu dari mana asal kekayaanmu.
Kita sudah sampai di taman rumah sakit yang asri. Aku menuntunmu ke sebuah bangku. Kau duduk sambil memegang kantung urine. Ceritamu belum usai. Aku rasa, tiba saatnya untuk bercerita tentang keluargamu, karena binar matamu selalu berubah sendu saat membicarakan mereka.
“Anak-anakku… Dulu, saat ibu mereka masih hidup, mereka adalah anak-anak yang baik. Tapi, sikap mereka berubah seratus delapan puluh derajat saat hanya tinggal aku sendiri. Saat tak ada istriku yang menengahi, kami seperti orang asing.”
“Mengapa bisa begitu?” Aku tak bisa menahan rasa ingin tahu.
Kau mendesah panjang. Pandanganmu menerawang jauh seakan mencari jawaban di antara lorong-lorong panjang rumah sakit.
“Aku tak pernah ada buat mereka. Jika bukan karena sibuk bekerja, aku sibuk dengan hal lain. Aku alpa di hari-hari bersejarah. Aku juga tak tahu apa yang mereka suka dan tidak suka. Tak terasa puluhan tahun berlalu. Saat aku tersadar, mereka sudah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri. Kehidupan tanpa aku di dalamnya.”
Ada gurat penyesalan di matamu. Mungkin kau berharap bisa mengulang waktu, melakukan hal secara berbeda.
Aku masih ingat saat kau datang setahun lampau dan mulai mempekerjakanku sebagai perawat pribadi. Anak keduamu datang menjenguk ditemani suaminya. Kau melengos saat melihat lelaki pendamping putrimu, seakan enggan melihat sosoknya. Astri bergegas keluar dari kamar dengan tersedu melihat buruknya perlakuanmu terhadap pria yang dicintainya. Sejak itu, ia tak pernah datang lagi.
Kau lalu bercerita bahwa kau tak pernah merestui pernikahan mereka. Lelaki itu tak punya apa-apa. Menurutmu, menikahinya hanya akan membuat anakmu turun derajat. Tapi istrimu dulu mendukung, sehingga mereka bisa menikah dan membentuk keluarga.
Hubunganmu dengan anak ketigamu sepertinya lebih buruk. Selama kau bolak-balik rumah sakit dan akhirnya menginap terus di sini, tak sekali pun aku pernah melihat batang hidungnya. Kabarnya, ia menjadi animator di negeri seberang. Kau selalu mencibir profesinya yang kau nilai remeh.
“Dia membuat film kartun untuk anak kecil. Apa itu pekerjaan yang pantas dilakukan oleh orang dewasa?” begitu ucapmu saat itu.
Tapi, lagi-lagi istrimu dulu mendorongnya sepenuh hati, memberinya semangat saat ia memutuskan masuk ke sekolah desain. Kau menentangnya habis-habisan sampai mengusirnya dari rumah dan memutus uang sakunya. Namun kau tahu, istrimu memberinya uang diam-diam untuk menyambung hidup dan meneruskan pendidikan.
Lalu, apa yang terjadi pada anak pertamamu, Guntur? Oh, aku ingat. Kau berharap anak kesayanganmu itu bisa meneruskan jejakmu, menjadi pejabat negara. Entah berapa duit kau gelontorkan guna memuluskan niatmu. Kau menyogok sana-sini demi memuluskan jalannya. Anakmu sendiri sepertinya tak memiliki niat yang sama. Saat karirnya menanjak, ia bilang padamu ingin keluar dari pekerjaannya untuk berwirausaha. Kau bercerita padaku jika kau marah besar saat itu. Tapi lagi-lagi, istrimu mendukung keputusannya yang berseberangan dengan keinginanmu.
Bicara tentang istrimu, aku teringat tahun lalu bertanya padamu tentangnya. Itu pun setelah banyak kisah tentangnya yang kau ceritakan. Seorang wanita berhati lembut dan penyayang. Wanita yang ingin kau habiskan masa tua bersama.
“Ia meninggal bertahun lampau, dua bulan setelah aku pensiun,” ujarmu sendu. Nantinya aku tahu dari Guntur jika ibu mereka terkena serangan jantung setelah menghadapi tantrummu yang mengalami post power syndrome.
Suatu hari, kau sempat berkata padaku dengan nada menyesal, “Jika saja aku tahu umurnya tak panjang, mungkin aku akan lebih menghargainya. Ia terlalu naif, tak pernah tahu kelakuanku di belakangnya. Semua wanita lain itu…” ucapanmu yang terkesan seperti pengakuan dosa terpotong. Aku pura-pura tak tahu maksudmu.
“Jika aku mati kelak, apakah mereka akan menyesal?” pertanyaan sama yang kau lontarkan setiap kali kau kecewa pada anak-anakmu yang tak pernah datang menjenguk.
“Lihat saja sekarang. Mereka jarang berkunjung. Selalu beralasan tak sempat atau sibuk,” rajukmu.
“Jika aku mati, apa mereka baru peduli? Mungkin mereka baru tersadar arti diriku jika aku sudah tiada. Menurutmu apakah mereka akan tersedu di atas pusaraku nanti?”
Kau menoleh ke arahku, mencari jawaban. Aku tak tahu harus menjawab apa, jadi hanya bisa terdiam. Matamu berkaca, sepertinya tahu jika itu semua hanyalah penyangkalan diri. Kau tak mau mengakui bahwa jarakmu dan anak-anakmu telah sedemikian jauh hingga tak dapat dipertemukan lagi.
“Saat istriku meninggal, banyak sekali yang datang menyampaikan belasungkawa. Kebanyakan adalah teman-teman pengajiannya. Anak-anakku menangis tanpa henti. Bahkan, kami harus menyeret Astri dari pemakaman karena ia enggan meninggalkan ibunya sendirian di sana. Pasti pelayatku akan lebih banyak darinya, kan? Temanku dulu banyak. Pejabat, pengusaha, artis. Dulu, mereka selalu berebut ingin bertemu.”
Aku tak berkomentar apa-apa mendengar ocehanmu. Kenyataannya, setahun aku merawatmu, tak satu pun dari mereka datang menjenguk.
***
Pagi itu rinai hujan turun menciptakan kabut tipis di udara. Pusaramu basah. Satu persatu pelayat yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari perlahan meninggalkan pemakaman. Harapanmu sirna, tak ada teman-teman pejabatmu yang datang melayat. Mereka tak pernah datang saat kau masih dirawat, dan tak muncul saat kau dimakamkan. Pertemanan yang kau agung-agungkan dalam ceritamu, ternyata ikut berakhir saat masa jabatanmu sebagai pegawai negara usai.
Aku melihat anak-anakmu dari kejauhan. Mata mereka menatap kuburmu dengan tatapan kosong. Tak ada bekas air mata di sana.
Astri, anak keduamu menabur bunga di atas makam. Disusul Guntur yang menyirami tanah kuburan dari kendi air yang ia bawa. Aldi yang semalam bergegas datang dari negeri jiran, hanya berdiri diam di samping kedua kakaknya.
Setelah ritual usai, mereka meninggalkanmu tanpa menoleh lagi.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Bagus dik, teruskan berkarya.