Merdeka Belajar mengantarkan kita pada paradigma pendidikan yang mengutamakan kebebasan individu dalam proses belajar. Paradigma ini berambisi memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk menentukan tujuan, metode, dan materi belajar yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka.
Salah satu prinsip dari Merdeka Belajar adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa untuk mencapai kompetensi yang mereka butuhkan tanpa pandang keterbatasan fisik, sosial, atau ekonomi. Singkatnya, konsep ini berusaha mengurangi kesenjangan pendidikan di Indonesia.
Paradigma pendidikan ini pada prinsipnya ingin memiripkan diri dengan dangdut dan negara. Mengutip Susan Browne dalam The Gender Implications of Dangdut Kampungan: Indonesian “Low-class” Popular Music (2000), “Negara ini dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Begitu juga dangdut, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.”
Ini bukan berarti perlu ada pemutaran musik dangdut setiap jam istirahat sekolah atau ketika jam pelajaran sedang kosong. Ketimbang itu, maksud saya adalah pendidikan atau sekolah perlu sesekali menjadi seperti dangdut: merakyat dan aksesibel untuk seluruh kalangan, serta menjadi identitas budaya. Tawaran untuk mengadopsi konsep dangdut untuk pendidikan saat ini adalah kritik dan upaya saya menagih janji pendidikan, juga percobaan pengendalian diri sebagai pemikir agar tetap membumikan pemikiran.
Baca juga:
Berdasarkan konsep identitas menurut sosiolog Drajat Tri Kartono dalam bukunya, Tantangan Birokrasi Progresif Indonesia (2017), setidaknya ada lima aspek dangdut sebagai identitas budaya yang dapat diadopsi dalam pendidikan. Konsep ini dapat kita refleksikan dengan studi Susan Browne tadi sebagai upaya menagih janji pendidikan secara sederhana.
Pertama: The Self of Dangdut
Diri sendiri, dalam pandangan ahli interaksionisme simbolik, adalah cara seseorang melihat dirinya sendiri ketika berinteraksi dengan orang lain. Konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan “siapa aku?”.
Dangdut menjadi bagian dari konsep diri rakyat karena mampu menjangkau berbagai kalangan. Sekolah pun semestinya demikian: merakyat dan dapat diakses oleh semua kalangan. Pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat akan dapat menjawab lirik lagu-lagu Rhoma Irama yang melukiskan duka dan derita akibat kegagalan hubungan, impitan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan hancurnya harapan.
Kedua: Demarkasi Musik Dangdut
Ciri khas musik dangdut yang membedakannya dengan musik lainnya adalah irama dari alat musik kendang atau ketipung yang menghentak-hentak. Penontonnya bergoyang untuk kebutuhan batin, untuk membebaskan ekspresi dan menikmati hiburan di tengah kesuntukan dan ketidakadilan hidup yang mereka alami.
Dengan berteriak, bersorak, dan bergoyang, mereka merongrong ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang mereka alami selama ini. Mereka menggoyang segala tatanan normatif yang hanya membuat kehidupan mereka menderita. Walaupun tidak mampu melakukan perlawanan melalui gerakan sosial, mereka bisa mengekspresikan semua ketertindasan melalui gerakan tubuh dalam pagelaran dangdut koplo. Jika pendidikan dapat menjadi pelampiasan kondisi krisis seperti ini, bukankah yang hal tersebut akan menjadi sudut pandang yang menarik?
Ketiga: Prestise Musik Dangdut
Prestise berarti kehormatan. Masalah kehormatan bersifat relatif. Kehormatan sering kali dikaitkan dengan suatu kebudayaan atau sistem sosial tertentu.
Dangdut semakin membuktikan bahwa ia telah menjadi ekspresi budaya yang dinikmati sebagai sebuah seni yang dihargai. Salah satu buktinya adalah dengan adanya acara ajang pencarian bakat penyanyi dangdut di beberapa stasiun televisi. Pendidikan pun seharusnya menjadi ajang untuk menaikkan prestise yang tegak lurus dengan kompetensi dan keterampilan, bukan hanya untuk gaya-gayaan.
Keempat: Simbol Musik Dangdut
Simbol berkaitan dengan konsep diri, beriringan dengan komunikasi, pikiran, dan perkembangan diri. Seseorang selalu berusaha melepaskan simbol atau atribut yang bukan miliknya sehingga ia memiliki ciri tersendiri.
Dangdut merepresentasikan kebahasaan dan visual yang mengeksploitasi gestur-gestur berlebihan hingga ke batas maknanya. Para pedangdut menjajal tapal batas dari apa yang dapat diungkapkan di ranah publik dengan mempergunakan kepekaan teatrikal yang kental, busana, dan gerak untuk mengungkapkan emosi.
Hanya dengan meletakkan bunyi, teks, dan pertunjukan dalam konteks komersialnya, kita dapat memahami makna simbolis dangdut. Pada akhir 1970-an dan awal sampai pertengahan 1980-an, dangdut mengisi pangsa pasar sebagai bentuk utama musik tari populer yang dibesarkan media massa. Bahkan, para penyanyi pop mulai menyeberang ke dangdut, begitu pula penyanyi “rock murni” seperti Ahmad Albar. Pendidikan pun seharusnya bisa menjadi simbol kemajuan dengan melahirkan bintang-bintang yang benar-benar berkeahlian.
Kelima: Legitimasi Musik Dangdut
Legitimasi dibutuhkan oleh suatu identitas agar diakui oleh orang atau kelompok lain. Legitimasi ditentukan oleh keyakinan anggota masyarakat bahwa wewenang yang melekat pada sesuatu atau seseorang memang patut dihormati. Apabila bagian terbesar dari masyarakat sudah memiliki keyakinan tersebut, kekuasaan tersebut dianggap absah secara sosiologis.
Dangdut terus memperluas pasar hingga ke mancanegara. Menurut tabloid Nova edisi April 1991, Kopi Dangdut menduduki urutan keempat album terpopuler di Jepang. Ini menunjukkan kekuatan pasar global dangdut dan menjulangkan kebanggaan nasional kepada musik ini di dalam negeri.
Lagu-lagu dangdut saat ini juga sering trending di YouTube. Masih ingat lagu Meraih Bintang yang dinyanyikan oleh Via Vallen sebagai lagu resmi Asian Games 2018? Itu adalah bukti bahwa dangdut memiliki nilai sosial yang diakui eksistensinya. Pendidikan pun mendapatkan legitimasi karena fungsi dan manfaatnya yang selain sebagai bukti bahwa kita pernah sekolah.
Baca juga:
Menagih Janji Pendidikan
Apakah kita bisa menagih janji pendidikan?
Bagaimana kalau pendidikan kita ternyata tidak menumbuhkan kreativitas dan malah mengunci peserta didik dalam sistem monoton yang dirancang untuk produksi massal tenaga kerja?
Rasa-rasanya, pendidikan yang kita terima selama ini hanya menjadikan kita pekerja yang patuh. Kita pun seolah dibatasi dalam mengkritisi fenomena dengan ilmu yang diajarkan oleh mereka yang berkuasa.
Lantas, apakah kita benar-benar bisa menagih janji pendidikan ketika kita adalah bagian dari sistem pendidikan itu sendiri? Apakah justru kita sendiri yang seharusnya membayar janji pendidikan?
Saya ingin menagih janji pendidikan seperti Denny Caknan menagih janji cinta dalam lagunya, Ngawi Nagih Janji. “Kowe mbiyen ngomong tresno, janji ra bakal ngeliyo…”
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Berdendang, Bergoyang, dan Menagih Janji Pendidikan”