Murka Kamehameha
lesak seluruh tenaga, sepenuh isi gunung,
bergulung-gulung di sekujur badan
penuh luka akar pepohonan.
saripati cakra yang tak sabar
segera ingin dimuntahkan
tatkala ombak amarah
pecah berdentam.
: tak sempat dilabuhkan ke tepi pesisir.
jangan kau mendekat, cahaya
badai akan segera gemuruh.
berhenti kicau burung-burung
tanah akan segera kerontang.
pulanglah para kaum nelayan
laut akan segera mendidih.
“murkaku, murka Son Go Ku,”
kelakar tokoh fiksi malang
yang urung diselesaikan
dalam cerita pendek.
(Ciputat, 2022)
–
Lirik Lagu yang Membawa
Kita Semua kepada Puisi Ini
i don’t wanna
die so young
got so
much
to do—Attention, Joji
aku manusia terakhir—menyaksikan nama
di papan nisan, harum bunga, serta kendi air
jemaat, laki-perempuan,
mulai beranjak pulang
samar langkah kaki
beserta sengguk
yang mereda
adakah cinta bekerja
seusai kematian?
aku merenung
di samping
makam
tubuhku di dalamnya, di lahat
yang memaksaku rebah
ke tanah lembab
dan basah
aku manusia terakhir,
menolak pergi dan mati
sebab haru dalam sunyi
(Ciputat, 2022)
–
Sebuah Percakapan
aku bukan nama terakhir, yang mengalir,
yang menyusut, surut dari meja tamu ini
mata tanpa kelana, menyusun hari-hari
dan musim yang berkisar di luar jendela
sebuah teras, kursi kayu,
serta hujan yang malu
merumuskan sudut dan ruang,
lalu berbincang sepanjang hari
—pada diri sendiri.
(Ciputat, 2022)
–
Seorang Anak dan Ibunya
seorang anak lelaki mencintai
ibunya yang kini dirawat bulan.
berjuta mil dari tempat berpijak
ibunya lahir dan bermakam.
ia ingin sekali menjelajah angkasa
menemui ibunya—memeluk ibunya.
setiap kali melihat cahaya bulan,
ia seperti melihat ibunya sedang
tersenyum dan berbisik:
“cinta, kau tahu, adalah bunga
yang tumbuh di keningmu.”
(Ciputat, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA