Editor bahasa Jawa Pos

Glosarium Korupsi

Achmad San

3 min read

”Nanti Ibu ditelepon sama orang kita ya? Tapi apel Washington ya, Bu.”

”Ok. Berapa kilo?”

Dialog di atas terjadi antara Mindo Rosalina Manulang alias Rosa, direktur marketing Permai Group, dan Angelina Sondakh, anggota DPR Fraksi Partai Demokrat kala itu, lewat pesan singkat BBM (19 Juni 2010). Percakapan itu mencuat kembali di media baru-baru ini, tepatnya 3 Maret 2022, tatkala istri almarhum Adjie Massaid tersebut menghirup udara bebas setelah dipenjara hampir satu dasawarsa.

Ada diksi yang mencolok dari potongan percakapan itu: apel Washington. Bersama apel Malang, apel Washington kala itu memang menjadi satu di antara sekian banyak kode rahasia korupsi yang dilakukan para pelaku rasuah di negeri ini. Apel Washington merupakan kode yang digunakan untuk mengganti istilah uang dolar Amerika, sedangkan apel Malang guna menyulih kata uang rupiah.

Tentu apel hanya salah satunya. Seiring dengan laku rasuah yang tiada henti-hentinya, khususnya mulai era Orde Baru hingga periode pemerintahan saat ini, istilah korupsi memiliki beragam bentuk atau varian dengan modus dan tujuan tertentu pula. Menurut Dadang S. Anshori dalam artikelnya, Stigma Negatif Bahasa Korupsi dalam Pemberitaan Media Massa (2018), istilah korupsi memiliki puluhan wajah yang terklasifikasi dalam bentuk, antara lain, idiomatik, metafora, eufemisme, dan disfemisme.

Apel Washington dan apel Malang termasuk dalam wajah metafora. Apel Washington, dalam konteks tersebut, bukan berarti apel yang berasal dari ibu kota Amerika Serikat itu. Apel Malang bukan pula buah yang berasal dari daerah berjuluk Kota Apel tersebut. Karena itulah, dua istilah ini masuk kategori metafora. Metafora tak lain adalah majas yang menggambarkan ungkapan tidak sebenarnya. Melainkan hanya gambaran yang memiliki persamaan. Maka, apel Washington mengacu ke dolar Amerika, sedangkan apel Malang merujuk pada rupiah.

Masih banyak kata atau frasa metafora yang merujuk pada perilaku korupsi. Anshori, masih dalam artikel yang sama, menemukan istilah-istilah bungker korupsi (yang jika ditafsirkan bermakna ruangan aman untuk korupsi), duit sebakul, celengan buncit, rekening gendut, pencucian uang, rekening jumbo, sarang penyamun, dan skandal kakap. Semuanya ditemukan dalam majalah Tempo bertajuk korupsi yang ditelitinya selama 20 edisi.

Kasus rasuah impor daging yang melibatkan pengusaha Ahmad Fathanah dan eks Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq juga memunculkan istilah-istilah atau kode-kode rahasia. Dua di antaranya daging busuk dan arbain miliar cash.

“Saya bilang ke sopir saya, jangan jauh-jauh ya dari situ. Di situ ada daging busuk,” kata Ahmad Fathanah saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kala itu (17 Mei 2013).

“Kenapa pakai istilah daging busuk?” tanya jaksa kemudian.

“Karena ini kan masalah perdagingan,” jawabnya.

Daging busuk yang dimaksud sang pelaku rasuah adalah uang senilai Rp 980 juta di dalam mobil Land Cruiser Pardo yang ditumpanginya.

Daging busuk, barangkali, hanya muncul dalam istilah korupsi perdagangan tersebut. Tapi, bau busuk, bau amis, dan bau bacin jelas tidak. Ketiganya boleh dibilang merupakan bahasa lain korupsi yang tidak hanya ditemukan pada satu kasus. Judul sejumlah media massa juga galib menyertakan istilah di atas apabila menyangkut peristiwa korupsi. Misalnya, Bau Amis Korupsi di Karanganyar: Bos Perusahaan Daerah Sebar Kredit ke Istri dan Saudara Sendiri (TribunSolo.com). Lihat juga: ATM untuk Pengawas dan Bau Busuk Korupsi di Citarum (CNN Indonesia). Atau ini: Bau Bacin Perkara Bahasyim (perpustakaan.kpk.go.id). Ketiga istilah tadi, juga kode daging busuk ala Ahmad Fathanah, meminjam istilah Anshori, merupakan korupsi berwajah idiomatik.

Anshori juga menemukan berjibun idiomatik lain yang mengacu pada korupsi. Di antara istilah yang ditemukan, ada beberapa yang mungkin hanya muncul pada kasus tertentu dengan korupsi bidang tertentu juga. Di antaranya, jualan, kebocoran, operasi, uang pelicin, selingkuh, biaya komitmen, buka jasa, cek haram, dana gelap, duit haram, duit kotor, jasa pengawalan, kotak sumbangan, ladang emas, praktik haram, penggelapan dana, perdagangan pengaruh, praktik kotor, setoran gelap, transaksi gelap, uang semir, uang lelah, serta uang persahabatan. Terbaru, term uang pelicin terdapat pada judul berita KPK Dalami Dugaan Uang Pelicin Terkait Promosi Jabatan ASN di Bekasi (IDN Times, 12 Februari 2022).

Istilah dalam agama pun ternyata tak luput dari praktik durjana para koruptor. Mereka tega menyusupkan istilah berbau agama ke dalam percakapan mereka karena sudah sama-sama paham dan tentu agar pihak lain tidak gampang curiga. Ada juz dan liqo dalam kasus suap sebuah proyek jalan yang melibatkan duo politikus PKS: Yudi Widiana dan Muhammad Kurniawan. Kode liqo dipakai untuk menyulih kata pertemuan, sementara juz digunakan untuk menyubstitusi kata miliar. Korupsi pengadaan Al-Qur’an di Kementerian Agama yang menggemparkan jagat masa itu juga memakai istilah berbau agama seperti santri, murtad, hingga pengajian. Istilah-istilah tadi lebih masuk kategori bentuk metafora.

Adapun eufemisme dan disfemisme, dua kategori terakhir, melihat korupsi dari kacamata penghalusan dan pengasaran. Eufemisme adalah bahasa-bahasa korupsi yang diperhalus. Ambil contoh tarif sedekah, uang jasa, duit tak halal, praktik tak terpuji, penyimpangan tender, rekening mencurigakan, uang muka, imbalan, komisi, menyalahgunakan, penyelewengan, penyimpangan, dan transaksi mencurigakan.

Baca juga: Wadas dan Manipulasi Kebenaran

Disefimisme sebaliknya: ia menjadikan istilah-istilah korupsi lebih kasar. Kita dapat melihat dalam kata ataupun frasa gerombolan penjahat, mafia pajak, percaloan anggaran, syahwat melahap dana, uang sogok, pencurian uang publik, para pencuri, mengijon proyek, makelar anggaran, makelar pajak, gangsir anggaran, calo anggaran, dan bandit.

Dari aspek bahasa, melimpahnya istilah yang berkelindan dengan korupsi menjadi hal yang menarik untuk dikaji sebagai bagian dari pengayaan ilmu pengetahuan. Tapi, dari kacamata yang lebih luas, sosial dan pendidikan misalnya, semua kosakata dan frasa di atas mencerminkan beragamnya tindak tanduk rasuah yang terjadi di tengah masyarakat kita. Karena itu, tak mengherankan jika muncul kode-kode baru tiap kali sebuah kasus korupsi terbongkar. (*)

Achmad San
Achmad San Editor bahasa Jawa Pos

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email