Ketika Sekolah Tak Membuat Siswa Merdeka

Apriansyah Wijaya

2 min read

Di sebuah ruang kelas yang sunyi dan teratur, seorang siswa duduk diam. Matanya menatap papan tulis, telinganya menangkap suara guru, tangannya mencatat apa pun yang dianggap penting untuk ujian nanti. Ia tidak bertanya, tidak menyanggah, tidak merasa perlu berdiskusi. Bukan karena semua jelas atau mudah dipahami, tapi karena sejak kecil ia diajarkan bahwa pertanyaan bisa dianggap pembangkangan, dan berpikir sendiri bisa berujung pada teguran. Sekolah, tempat yang seharusnya membebaskan pikiran, justru sering melatih disiplin tanpa perlawanan. Pendidikan kita, dengan segala gemerlap jargon “merdeka belajar,” masih berkutat pada pola lama: tunduk, patuh, dan jangan banyak bertanya.

Kita hidup dalam masyarakat yang percaya bahwa pendidikan adalah jalan utama menuju perubahan. Namun, jarang ada yang mau jujur bertanya: perubahan yang seperti apa? Banyak sekolah justru menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari mesin produksi besar yang disebut sistem.

Baca juga:

Mereka diajarkan menghafal, mengejar nilai, memenangkan lomba, tunduk pada aturan—tetapi tidak diajak memahami dunia di luar pagar sekolah mereka. Mereka tahu rumus luas bangun datar, tapi tak tahu kenapa tanah di desanya diambil atas nama pembangunan. Mereka tahu nama pahlawan nasional, tapi tak pernah diajak bertanya kenapa sejarah bisa ditulis sepihak. Di sekolah, kebenaran seperti datang dari langit, bukan sesuatu yang lahir dari pencarian kritis dan dialog terbuka.

Di Mana Tempat Mempersiapkan Manusia yang Merdeka?

Sekolah, dalam banyak kasus, tidak sedang mempersiapkan manusia yang berpikir merdeka, melainkan manusia yang tahu cara bertahan di dalam sistem yang sudah mapan. Inilah yang dikritik Paulo Freire dalam konsep banking education—pendidikan gaya celengan—di mana siswa dianggap wadah kosong yang hanya perlu diisi informasi. Tidak ada ruang untuk bertanya, menggugat, apalagi melawan. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi proses dua arah: membangun kesadaran, menumbuhkan keberanian, melatih daya tahan berpikir, bukan sekadar menjejalkan informasi.

Lebih menyedihkan lagi, banyak sekolah dan institusi pendidikan melarang murid membicarakan soal politik, isu sosial, atau pertanyaan-pertanyaan yang menyentuh struktur kekuasaan. Seolah berpikir kritis hanya pantas dilakukan saat sudah dewasa. Padahal, bagaimana mungkin demokrasi tumbuh kalau sejak kecil orang dibiasakan diam?

Murid dilarang ikut berdiskusi tentang ketimpangan, dilarang mengekspresikan pendapat tentang lingkungan, atau tak boleh mempertanyakan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Semua itu dianggap “tidak pantas” dibawa ke ruang kelas. Maka sejak kecil, anak-anak dilatih percaya bahwa realitas tak bisa diubah, hanya bisa ditaati.

Bukan tak ada guru yang ingin membebaskan muridnya. Banyak yang ingin membuka ruang dialog, mengajak berpikir, mendidik dengan hati. Namun sistem birokrasi yang kaku, kurikulum yang menekan, serta tekanan angka dan capaian administratif sering kali menjadikan semangat itu terhalang.

Ujian menjadi panglima, bukan proses belajar itu sendiri. Ketika angka menjadi tujuan utama, maka empati, solidaritas, dan keberanian untuk berpikir berbeda pelan-pelan hilang dari meja kelas. Pendidikan pun berubah menjadi pabrik nilai, bukan ruang pertumbuhan jiwa.

Baca juga:

Cerdas tapi Tak Peka Isu Sosial

Dalam diam dan keteraturan ruang kelas, kita sedang menyaksikan ironi yang nyaris tragis: generasi yang cerdas secara teknis tapi tumpul secara sosial. Mereka bisa mengisi pilihan ganda dengan akurat, tapi gugup saat diminta menyampaikan gagasan. Mereka tahu membuat presentasi yang menarik, tapi takut mengoreksi kesalahan otoritas. Mereka diajarkan untuk bersaing, bukan berkolaborasi. Untuk unggul, bukan peduli. Untuk taat, bukan berpikir.

Jika pendidikan adalah jalan menuju kebebasan, sudah saatnya kita bertanya ulang: kebebasan yang seperti apa? Mengapa sekolah lebih sibuk menegakkan disiplin ketimbang menumbuhkan kesadaran? Mengapa kurikulum lebih takut pada pertanyaan daripada pada ketidaktahuan? Dan yang paling penting: untuk siapa sebenarnya pendidikan ini dibangun?

Kita butuh pendidikan yang membuat manusia gelisah, bukan puas; yang mengajarkan berpikir sebelum setuju, menganalisis sebelum percaya; yang menjadikan guru bukan sebagai penguasa kebenaran, tapi mitra dalam pencarian makna. Pendidikan yang menanamkan keberanian untuk berkata “saya tidak setuju,” tanpa takut dimarahi. Pendidikan yang melatih untuk menggugat, bukan sekadar menyesuaikan diri.

Jika pendidikan hanya menghasilkan manusia yang pandai mengikuti perintah tapi tak pernah berani bertanya, maka yang lahir bukanlah warga negara, melainkan operator yang jinak. Dan kita tahu, kekuasaan tak pernah takut pada kepintaran. Ia hanya takut pada kesadaran.

Editor: Prihandini N

Apriansyah Wijaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email