Seorang pelajar yang menggemari ilmu filsafat dan politik

Pendidikan Pembebasan Sejak dalam Pikiran

Ahmad Faiz Yusuf

3 min read

Dalam beberapa minggu belakangan, saya dibuat cukup kaget ketika menyadari bahwa pendidikan yang kita laksanakan saat ini tidak pernah menyentuh hal-hal paling esensial dalam kehidupan kejiwaan manusia. Alih-alih pendidikan mampu membebaskan manusia, pendidikan saat ini justru mengekang jiwa dan menghimpit gerak raga kita. Bahkan pendidikan kita tidak mampu untuk mencapai sisi permukaan dari diri manusia itu sendiri.

Pendidikan saat ini merupakan pendidikan yang berorientasi pada kehidupan yang lebih eksploitatif, bahkan lebih parah dari apa yang dibayangkan Marx, Bakunin, ataupun Proudhon yang hidup pada masa awal revolusi industri yang telah terjadi di masa lampau. Dalam pendidikan yang saat ini kita laksanakan, justru berorientasi kepada pembiasaan kita dengan hal-hal yang eksploitatif.

Lebih parahnya lagi, dalam beberapa mata pelajaran di sekolah saya, bercorak fasistik. Dengan pendidikan, mereka mampu memberikan indoktrinasi, demagogi, dan secara leluasa mereproduksi kebencian terhadap manusia-manusia yang senasib dengan kita (tertindas).

Selama ini, pendidikan kita tidak pernah memiliki hasrat untuk memberikan pembebasan. Pun di dalam pendidikan itu sendiri, kita tidak pernah diberi kebebasan yang sebenar-benarnya. Pendidikan kita saat ini justru memaksakan orientasi yang dicap sebagai universalitas kepada kita, dan menjauhkan diri kita dari esensi manusia. Lalu, bagaimana corak pendidikan kita saat ini?

Baca juga:

Pendidikan Gaya Kapitalis

Pendidikan ini merupakan suatu gaya pendidikan yang membuat manusia sangat nampak tidak manusiawi, baik perlakuan kepada manusia, ataupun kelakuan dari manusia itu sendiri. Pendidikan ini mampu membuat manusia menghilangkan rasa-rasa empati dalam dirinya sendiri. Pun pendidikan semacam ini seringkali membutakan mata manusia untuk melihat keadaannya sendiri. 

Pendidikan seperti ini mampu menjadikan manusia nampak seperti halnya mesin pembuat baterai. Manusia bekerja untuk mendapatkan laba atau kapital, pun laba atau kapital juga berfungsi sebagai baterai untuk membuat energi mereka seolah terisi kembali. Sistem pendidikan ini sangat berorientasi kepada kapital, dan membuat manusia justru sangat terkekang dengan pekerjaan itu sendiri.

Corak pendidikan ini sangat ironis, pendidikan ini justru terlihat lebih depolitis. Dengan begitu, sering kali membuat orang-orang merasa apatis dengan nasib sesama manusia, karena pendidikan ini tidak mengajarkan tentang sesuatu yang membuat seseorang mampu untuk melihat keadaannya dengan apa adanya. Pun juga membuat orang-orang nampak begitu pragmatis untuk mencapai tujuannya, sehingga justru seringkali membuat manusia saling menindas dengan sesama manusia. Mereka membuat manusia begitu individualis, dan mungkin saja yang paling miris adalah membuat manusia tak mampu untuk berbuat secara komunal, kecuali masih dalam lingkup tindakan yang pragmatis.

Pendidikan Gaya Fasis

Pendidikan ini mungkin akan lebih nampak politis dibandingkan gaya pendidikan kapitalis. Kendati politis, bukan berarti modelan pendidikan dengan gaya ini merupakan hal yang positif. Pendidikan ini justru lebih nampak membodohkan daripada mencerdaskan. Pendidikan seperti ini tidak hanya membuat manusia terlihat nirempati, tetapi juga menjadikan kebencian terhadap sesama manusia,  yang berbeda kelompok, menjadi unsur dominan. Demagog merupakan hal yang sentral dalam pendidikan ini untuk menuju ke hal-hal lain yang juga sangat banal.

Pendidikan di sini lebih sering digunakan sebagai alat propaganda politik untuk mengukuhkan sistem kekuasaan yang sangat menindas, bahkan mungkin melampaui maksud dari kata “menindas” itu sendiri. Masyarakat dibuat untuk menjadi pemuja penguasa dengan berlebihan, mereka dibuat meyakini bahwa “penguasa adalah benar”.

Dengan doktrin tentang kebenaran absolut penguasa, mengakibatkan masyarakat lebih sering– atau mungkin selalu–mengamini setiap perkataan dari penguasa, dari skala kecil (kepala sekolah) hingga skala besar (pemimpin negara). Sedangkan penguasa itu sendiri lebih sering memproduksi kebencian dengan sesama manusia dan menciptakan konflik horizontal. Pun selain itu, dengan mengamini setiap perkataan dari penguasa, artinya membiarkan penguasa bertindak secara arbitrer. Dengan begitu, manusia pasti akan terkekang dengan penguasa yang totaliter.

Kultur Feodalisme Pendidikan

Jika kita menelisik lebih dalam mengenai kedua gaya pendidikan di atas, kita pasti akan tahu tentang kesamaan dari kedua gaya pendidikan tersebut, yaitu feodalisme. Unsur feodalisme merupakan hal yang paling penting untuk memulai pendidikan gaya seperti itu.

Baca juga: 

Pendidikan kita hingga saat ini masih bercorak sangat feodalistik. Entah pemerintah memang membiarkan pendidikan dengan gaya feodalistik ini demi membuat masyarakat tetap dalam keadan teratur untuk terus memuja kekuasaan? Jika mereka memang peduli dengan kita, mengapa mereka masih melanggengkan pendidikan bercorak feodal ini? Bukankah pendidikan semacam ini justru secara brutal menindas, merampas, membatasi, dan mengekang kita? Bukankah dengan cara apapun, kita selalu merasakan bahwa ada sesuatu yang sepertinya membuat diri kita ini direduksi sebagai manusia?

Pendidikan Esensial Noam Chomsky Sebagai Antitesis

Dalam bukunya Chomsky On Anarchism, Noam Chomsky seringkali mengutip perkataan dari Wilhelm von Humboldt mengenai sesuatu yang esensial dari manusia. Dia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang secara fundamental kreatif, terus mencari, dan menyempurnakan diri: “mencari tahu dan membuat sesuatu—kurang lebih, kisaran dari segala manusia”. Chomsky sangat meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang terus mencipta dan meneroka. 

Dengan begitu, maka kebebasan juga merupakan aspek fundamental yang seharusnya dimiliki manusia sebagai penunjang kebebasannya untuk terus berkreasi dan terus mencari. Karena kebebasan merupakan suatu hal yang inheren dengan tindakan kreatif dan mencari. Kebebasan merupakan pertanda bahwa tidak adanya tembok-tembok yang menghalangi manusia untuk terus berkreatif. Tidak ada pagar-pagar yang membatasi manusia untuk terus mencari atau yang memaksa manusia untuk tetap stagnan ataupun konservatif.

Pendidikan yang ditawarkan oleh Chomsky lebih bercorak untuk membentuk seorang seniman di dalam kehidupan dunia ini dibandingkan sebagai manusia pekerja. Dengan mendasarkan bahwa manusia adalah makhluk yang mencipta dan meneroka, menurutnya di dalam pendidikan itu sendiri haruslah bebas, dengan begitu manusia akan mampu berkreasi sebesar mungkin, dan menjelajah sejauh mungkin. Pun disisi lain, dengan hati seorang seniman yang humanis, pastinya juga tidak akan membiarkan seseorang tidak memiliki kebebasannya, atau setidaknya tidak membiarkan orang lain tertindas. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Ahmad Faiz Yusuf
Ahmad Faiz Yusuf Seorang pelajar yang menggemari ilmu filsafat dan politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email