“Kalian harus belajar yang giat agar kelak bisa menjadi orang sukses,” kira-kira begitu kalimat yang diucapkan guru saya ketika berusaha memberi motivasi pada siswanya. Kalimat itu melekat dalam core memory saya sampai sekarang. Awalnya, saya merasa tak ada yang salah dengan kalimat ini. Peribahasa lama pun mengatakan bahwa manusia akan menuai apa yang mereka tanam. Lebih lagi, pendidikan juga adalah cara terbaik untuk mengubah nasib seseorang.
Namun, seiring pengalaman dan pengetahuan yang bertambah, saya merasa bahwa kalimat ini ternyata tak sepenuhnya benar. Bahkan, mungkin tak benar sama sekali. Pendidikan memang masih menjadi cara terbaik untuk mengubah nasib, tetapi tetap ada jurang pembatas dalam ranah pendidikan. Kesuksesan tak selalu datang pada mereka yang pintar atau giat belajar, melainkan pada mereka yang sudah dibekali dengan privilese sejak awal. Oleh karena itu, meritokrasi dalam pendidikan adalah mitos.
Jurang Kesenjangan Sekolah Elite dan Sekolah Negeri
Di Indonesia, setidaknya sekolah dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan kualitasnya, sekolah elite (swasta atau internasional) dan sekolah negeri. Meskipun hal ini merupakan sebuah ironi, harus diakui bahwa dikotomi sekolah berdasarkan kualitasnya memang benar-benar nyata.
Sekolah elite sering kali dianggap sebagai tempat terbaik bagi siswa untuk berkembang. Kurikulum lebih mentereng, fasilitas lebih banyak, tenaga pengajar yang berkualitas, dan lingkungan belajar yang mendukung siswa untuk terus berkembang. Satu-satunya kekurangan dari sekolah ini adalah biaya pendidikannya yang sulit untuk dijangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Baca juga:
Oleh karena itu, hanya keluarga dengan kemampuan finansial yang mumpuni yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah elite. Lebih dari itu, lingkungan ini juga akan membuat siswa sekolah elite mewarisi cara berpikir, berbicara, dan bersikap yang khas dari mereka yang memiliki privilese. Siswa tidak hanya diajarkan pengetahuan dasar, tetapi juga pengetahuan untuk menjaga posisi agar tetap berada di “atas”.
Di lain sisi, sekolah negeri yang mayoritas digunakan oleh siswa dari kelas menengah ke bawah menghadapi realita yang berbanding terbalik. Akses terhadap pendidikan memang tersedia, lebih mudah ditemui, dan lebih terjangkau. Namun, kualitas pendidikan yang diberikan sering kali jauh tertinggal dibandingkan sekolah elite. Kurikulum yang terus berganti, fasilitas yang diberikan serba terbatas, hal yang sama pun berlaku pada tenaga pengajar.
Selain itu, pembelajaran pada sekolah negeri sering kali tidak dirancang untuk membekali siswa dengan modal kultural atau sosial yang memungkinkan mereka untuk melakukan mobilitas sosial. Kecil kemungkinan siswa sekolah negeri memiliki pengetahuan untuk ikut bersaing merebut posisi teratas. Hal ini juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial mereka yang berisi orang-orang senasib-seperjuangan. Sulit menemukan role model dalam situasi ini.
Sekolah Negeri Mengunci Posisi Kelas Bawah
Walaupun demikian, bersinggungan dengan orang-orang senasib-seperjuangan membuat siswa sekolah negeri tumbuh menjadi individu yang sadar akan adanya perbedaan kelas sosial. Sayangnya, hal ini tidak selalu diiringi dengan hadirnya semangat perjuangan kelas dan melawan ketidakadilan yang mereka alami.
Sebaliknya, banyak siswa sekolah negeri—terutama mereka yang tidak memiliki akses untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi—justru menjadi pribadi yang rendah diri dengan pola pikir pragmatis. Alih-alih memperjuangkan pemerataan berbagai akses dan fasilitas, mereka justru merasa tak berdaya melawan sistem. Apa yang dipikirkan tak lebih dari bagaimana caranya bertahan hidup hari ini dan besok.
Barangkali mereka bukan tidak menginginkan dunia yang lebih baik, tetapi mereka tidak diberi ruang untuk berpikir lebih dari sekadar bertahan hidup setelah lulus. Itulah sebabnya meritokrasi dalam pendidikan menjadi mitos. Sebab, sekeras apa pun usaha seseorang, jika tidak memiliki akses yang setara, maka peluang kesuksesannya akan tetap timpang.
Pendidikan yang Melanggengkan Kesenjangan
Jika meritokrasi dalam pendidikan benar-benar bekerja, seharusnya setiap siswa, dari latar belakang apa pun, memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan. Peluang kesuksesan ditentukan oleh seberapa besar usaha yang dilakukan oleh individu. Namun, pada praktiknya, yang terjadi justru jauh dari meritokrasi sejati. Kesuksesan individu akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat privilese yang mereka miliki sejak awal.
Baca juga:
Sebagai contoh, seorang anak dari keluarga kaya dapat mengakses sekolah terbaik, bimbingan belajar intensif, dan berbagai kegiatan yang menunjang pengembangan diri. Sementara itu, anak dari keluarga menengah ke bawah harus rela dengan fasilitas seadanya karena keterbatasan finansial. Dalam hal ini, kompetisi sudah tidak adil sejak awal.
Selain itu, lingkungan sosial juga menjadi salah satu modal penting yang menambah persentase kesuksesan seseorang. Sebab, lulusan sekolah elite bukan hanya memiliki ijazah dan pengalaman yang lebih banyak, tetapi juga jaringan sosial yang kuat di dunia profesional. Di lain sisi, siswa sekolah negeri jarang yang memiliki akses pada hal serupa.
Terakhir, yang membuat meritokrasi menjadi kosong makna adalah praktik komersialisasi pendidikan. Dewasa ini, pendidikan berkualitas seakan menjadi komoditas yang hanya bisa dinikmati kalangan tertentu. Sekolah swasta dan internasional berlomba-lomba menawarkan kurikulum dan fasilitas terbaik dengan harga yang semakin tinggi. Jika akses terhadap pendidikan berkualitas hanya bisa didapatkan oleh mereka yang “mampu”, meritokrasi hanya akan menjadi konsep abstrak yang tak pernah terjadi.
Editor: Prihandini N