Rencana DPR untuk memiliki wewenang mencopot hakim MK dan pimpinan KPK berpotensi merusak independensi lembaga peradilan dan antikorupsi. Dalam demokrasi yang kita agung-agungkan, kekuasaan seharusnya terdistribusi secara seimbang, tidak terpusat pada satu tangan saja. Konsep checks and balance menjadi pilar penting untuk mencegah tirani dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, apa jadinya jika pilar-pilar penyeimbang ini justru digerogoti dari dalam?
Layaknya Air, Independensi Harus Bebas Mengalir
Dalam negara hukum yang demokratis, kekuasaan kehakiman haruslah independen, bebas layaknya air yang mengalir. Hakim konstitusi harus bebas dari segala bentuk intervensi, tekanan, atau ancaman dari pihak mana pun. Mereka adalah penjaga konstitusi yang bertugas memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan objektif.
Namun, rencana DPR ini jelas-jelas melanggar prinsip independensi kekuasaan kehakiman. Bagaimana bisa seorang hakim konstitusi dapat mengambil keputusan yang objektif dan adil jika mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan pemecatan oleh kekuatan politik yang berkuasa?
Tak hanya MK, KPK yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi juga terancam. Pimpinan KPK yang seharusnya tanpa lelah mengungkap kebusukan para koruptor, kini harus menghadapi ancaman pemecatan dari DPR.
Baca juga:
Kita semua tahu, korupsi adalah musuh bersama yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, alih-alih memberikan dukungan kepada KPK, DPR justru ingin melemahkan lembaga antikorupsi ini. Apakah ini yang kita inginkan? Apakah kita rela melihat para koruptor bertepuk tangan karena mereka merasa aman dari kejaran KPK?
Sudut Pandang Konstitusional
Dari sudut pandang teori konstitusionalisme, rencana DPR ini merupakan sebuah kemunduran yang sangat serius. Konstitusionalisme menekankan pada pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan hak-hak dasar warga negara.
Rencana ini jelas-jelas melampaui batas-batas kekuasaan yang seharusnya dimiliki oleh DPR. Mereka tidak seharusnya memiliki wewenang untuk mencampuri independensi lembaga peradilan dan antikorupsi. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip rule of law yang menjadi dasar dari negara hukum yang demokratis.
Lebih dari sekadar persoalan hukum dan politik, rencana ini adalah masalah kemanusiaan. Dampaknya akan sangat luas, merobek-robek rasa keadilan dan kepercayaan kita pada lembaga-lembaga negara.
Jika hakim MK dan pimpinan KPK tidak lagi independen, lalu kepada siapa lagi kita bisa berharap? Ke mana lagi kita akan mencari keadilan jika semua lembaga negara sudah dikendalikan oleh kekuasaan yang korup?
Antara Kekuasaan dan Akuntabilitas
Dalam teori politik, kita ketahui bersama bahwa kekuasaan ialah kemampuan untuk memengaruhi orang lain atau membuat mereka melakukan sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan. Kekuasaan selalu ada dalam setiap interaksi sosial, baik dalam skala kecil maupun besar.
Baca juga:
Namun, kekuasaan juga harus diimbangi dengan akuntabilitas. Mereka yang memiliki kekuasaan harus bertanggung jawab atas tindakan mereka dan harus dapat dimintai pertanggungjawaban jika mereka menyalahgunakan kekuasaan tersebut.
Negara hukum adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Semua orang, termasuk penguasa, harus tunduk pada hukum. Tidak ada seorang pun yang kebal terhadap hukum.
Rencana DPR ini jelas-jelas tidak sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Bagaimana bisa kita berbicara tentang supremasi hukum jika lembaga peradilan dan antikorupsi berada di bawah kendali kekuasaan yang berpotensi korup dan merusak marwah demokrasi.
Editor: Prihandini N