Mahasiswa Pascasarjana Prince of Songkhla University, Thailand

Omong Kosong Pemberantasan Korupsi

Ibnu Fikri Ghozali

3 min read

Dalam pidato perdananya pada 20 Oktober 2024, Prabowo menegaskan komitmen pemerintahannya untuk memberantas korupsi. Ia menyebutkan bahwa perbaikan sistem, penegakan hukum yang tegas, dan digitalisasi adalah langkah-langkah utama dalam memerangi korupsi. Ini adalah sebuah upaya yang harus didukung dengan tindakan nyata dan komprehensif, tidak sekedar retorika semata. Namun, tantangan yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia sangat besar dan kompleks sehingga tidak dapat diselesaikan hanya dengan janji-janji.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa meskipun banyak pemimpin yang berjanji untuk memberantas korupsi, sistem yang ada sering menggagalkan upaya tersebut. Seiring berjalannya waktu, praktek korupsi semakin meluas, didorong oleh lemahnya transparansi, rendahnya akuntabilitas, serta dominasi kepentingan politik dan ekonomi yang kadang-kadang justru memperburuk keadaan. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan langkah-langkah yang lebih radikal dan terstruktur, bukan hanya reformasi kosmetik.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh pemerintahan Prabowo adalah penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, seperti yang dilaporkan oleh Transparency International pada tahun 2023. IPK Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara dengan skor 34. Ini mencerminkan penurunan signifikan dari skor 38 pada tahun 2021. Skor ini menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam ‘zona merah’, sejajar dengan negara-negara yang memiliki tingkat korupsi yang sangat tinggi. Penurunan ini adalah indikator bahwa meskipun berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan, Indonesia belum berhasil memperbaiki persepsi global terhadap tingkat korupsi di dalam negeri.

Baca juga:

Turunnya IPK ini juga menjadi refleksi kegagalan dalam memperkuat lembaga antikorupsi, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, KPK mengalami pelemahan signifikan, terutama setelah revisi UU KPK pada tahun 2019 yang mengurangi independensi lembaga tersebut. Revisi ini dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan menurunnya efektivitas KPK dalam memberantas korupsi, serta memperburuk persepsi masyarakat terhadap komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Dengan demikian, pemerintahan Prabowo dihadapkan pada tantangan besar untuk memulihkan citra dan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga antikorupsi di Indonesia. Prabowo harus memastikan bahwa lembaga-lembaga ini tidak hanya memiliki kewenangan yang kuat, tetapi juga dukungan politik yang cukup untuk menjalankan tugasnya dengan bebas dari intervensi.

Dalam hal ini, pendekatan hukum yang komprehensif seperti yang dijelaskan dalam buku Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya karya Prof. Dr. H. Elwi Danil sangat cocok. Prof. Danil menekankan bahwa pemberantasan korupsi memerlukan perubahan pada substansi hukum, struktur hukum, serta budaya hukum yang mendalam. Korupsi bukan hanya tindak pidana biasa, melainkan sebuah kejahatan luar biasa yang memerlukan instrumen luar biasa untuk menanggulanginya. Pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan penegakan hukum yang tegas, tetapi juga dengan merombak sistem hukum yang ada agar dapat menanggulangi korupsi secara lebih efektif dan terstruktur.

Salah satu langkah yang diusulkan oleh Presiden Prabowo adalah digitalisasi sistem pemerintahan. Digitalisasi berpotensi besar untuk mengurangi kebocoran anggaran dan meningkatkan transparansi. Sistem pemerintahan yang berbasis digital dapat mempermudah pengawasan dan meminimalisasi praktik korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa serta alokasi anggaran negara.

Namun, di balik semua ini, pemberantasan korupsi harus dilaksanakan dengan keadilan yang merata. Penegakan hukum yang selektif, di mana hanya pihak-pihak tertentu yang diadili, akan menciptakan ketidakpercayaan yang lebih besar terhadap sistem hukum negara. Oleh karena itu, reformasi yang dijanjikan oleh pemerintah harus mencakup seluruh lini pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kasus Harvey Moeis menjadi contoh nyata ketidakadilan dalam penegakan hukum terkait dengan korupsi besar di Indonesia. Harvey Moeis terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara sebesar 300 triliun rupiah, namun hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara. Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan. Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun ada peraturan hukum yang mengatur tentang pemberantasan korupsi, pelaku-pelaku besar dengan pengaruh politik dan ekonomi sering kali dapat menghindari hukuman yang setimpal. Keputusan hukuman yang sangat ringan ini menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem peradilan di Indonesia.

Dalam konteks adagium hukum, Fiat Justitia ruat caelum, pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan tegas dan tanpa kompromi. Penegakan hukum harus didasarkan pada prinsip keadilan, tanpa memandang status sosial, kekuasaan, atau kedudukan seseorang. Jika negara ingin menanggulangi korupsi secara efektif, para pelaku korupsi harus dihukum dengan setimpal, terlepas dari siapa mereka atau seberapa besar pengaruh yang mereka miliki.

Kasus Harvey Moeis seharusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara adil dan konsisten, serta mengurangi celah-celah yang memungkinkan para koruptor dengan kekuasaan tertentu untuk terhindar dari hukuman yang layak.

Baca juga:

Reformasi birokrasi yang transparan dan akuntabel, serta penguatan lembaga pengawas seperti KPK, adalah langkah-langkah penting yang harus diambil untuk memastikan bahwa korupsi dapat diberantas secara merata. Pemerintahan Prabowo harus membuktikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya untuk memperbaiki citra politik, tetapi juga untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih, efisien, dan transparan.

Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan, bersama dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap pengelolaan anggaran negara, akan memberikan tekanan positif bagi pemerintah untuk menjalankan tugasnya secara bersih dan bebas dari praktik korupsi.

Sebagai negara yang menganut prinsip hukum, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berbicara tentang keadilan, tetapi juga menegakkannya dengan cara yang tegas dan tanpa kompromi. Pemberantasan korupsi adalah ujian besar bagi pemerintahan Prabowo.

Dalam menghadapi ujian ini, pemerintahan harus berpegang teguh pada prinsip keadilan, dengan keyakinan bahwa hanya dengan menegakkan hukum secara adil dan tegas, negara ini dapat bebas dari belenggu korupsi yang merusak. Langkah konkret dan pengawasan yang efektif akan menjadi kunci untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bersih dan transparan, jauh dari praktik korupsi yang merugikan rakyat.

 

 

 

Editor: Prihandini N

Ibnu Fikri Ghozali
Ibnu Fikri Ghozali Mahasiswa Pascasarjana Prince of Songkhla University, Thailand

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email