A lifetime learner.

Mata Tuhan

Amalia salsa

5 min read

Bagaimana rasanya terjun dari lantai delapan tanpa pengaman apa-apa, apakah badan yang akan melayang ini tak sempat merasakan sensasi terbang meski sekejap? Atau hanya tersisa perasaan sakit panjang yang menghujam lebih dalam lalu menusuk sampai seluruh nyawa ini mati seketika. Meski begitu, kupikir bukankah menyenangkan setelah jatuh dan divonis mati, seluruh beban luruh bersama darah yang mengucur deras. Tugas harian dan tanggungan baju kotor bukan lagi hal yang harus dibereskan sebab, semua tanggung jawab tidak pernah diberikan kepada orang yang sudah mati.

Ah, sayangnya itu semua hanya menjadi pertanyaan di dalam pikiran, aku memiliki tekad ingin terjun dari lantai delapan tapi, hingga saat ini yang kulakukan hanya melihat jalanan aspal dari ketinggian delapan lantai sambil berandai-andai dengan pertanyaan-pertanyaan serupa. Secara sains sudah pasti dengan massa yang kumiliki aku akan jatuh dengan kecepatan yang cukup cepat dan kemungkinan besar langsung mati atau sekarat yang berujung mati, karena jarak dari flat tempatku tinggal ke rumah sakit tidak bisa ditempuh dengan cepat, butuh waktu sejam apalagi lalu lintas kota disfungsional ini tidak mungkin mampu menyelamatkan nyawa seorang pengecut yang ingin mati tapi tidak juga tahu cara mati paling elegan dan tidak menyakitkan itu seperti apa.

Menurutku, setiap orang yang menjalani hidup pasti pernah terbesit di pikiran mereka seperti apa rasanya mati secara mendadak atau seperti apa rasanya mati karena memang sudah waktunya mati. Karena pengalaman kematian hanya akan dirasakan dan diketahui jika orang itu sendiri yang mengalaminya. Sebab, jika kita mati itu berarti kita tidak akan pernah kembali ke dalam realitas nyata. Mungkin juga, kebanyakan dari manusia ingin tahu siapa orang pertama yang akan menangis jika dirinya mati, siapa yang akan datang ke pemakaman dan meninggalkan pemakaman itu dalam urutan terakhir. Tapi tidak denganku. Alasan-alasan seperti itu tidak menjadi dasar yang membuat keinginanku mati dari lantai delapan. Aku hanya ingin mati. Meninggalkan semua kehidupanku yang membosankan. 

Agar cerita perencanaan kematian ini lumayan panjang aku sedikit menjelaskan seperti apa tempat tinggalku dan dengan siapa saja aku bertetangga secara singkat. Flat tua yang berlokasi di daerah Selatan memiliki delapan lantai dan bewarna putih tulang ada banyak keropos di tembok kanan-kirinya. Bisa saja sebenanrya aku menunggu gempa bumi dengan kekuatan yang tidak begitu besar untuk merobohkan bangunan tua ini bersama mayatku, tetapi aku tetap ingin bunuh diri dengan cara melompat dari lantai delapan. Lebih terasa seperti adegan mati karena bunuh diri ketimbang menjadi korban gempa.

Orang-orang menyebut bangunan yang selalu aku beri julukan runtuh segan berdiri juga memalukan adalah apartemen lama yang dibangun oleh pemerintah setempat. Buatku, kata apartemen terlalu mewah. Flat lebih cocok untuk menggambarkan keseluruhan gedung tanpa lift dan basemen ini. Aku tinggal bersama banyak tetangga. Selama ini aku hanya tahu tiga nama; Lusi, Ridwan, dan Siti. Mereka bertiga sama-sama pecundang yang rela hidup bertahun-tahun di kota besar nan difungsional dengan upah sedikit. Tidak jauh berbeda dengan diriku.

Lusi, perempuan paruh baya yang memilih untuk hidup sendirian di umurnya yang mencapai lima puluh tahunan.  Dia selalu mengeluh jika token listrik merengek untuk dibayar atau membanting pintu ketika anak-anak mereka menangis di tengah malam. Buat apa menikah kalau memang tidak bisa menghidupi lebih dari satu kepala. Mereka cukup memiliki rasa humanis yang besar, mereka sering mengajakku makan malam di rumahnya yang tidak seberapa itu ketika hari libur atau akhir pekan sambil berbincang hal-hal yang remeh dan ringan. Mungkin hidup tidak selalu layak untuk dicaci maki, meskipun aku terlalu bingung memahami perasaan syukur itu sendiri.

Rasa syukur selalu menjadi konsep yang membingungkan. Aku bisa saja mengatakan “Terima kasih Siti atas undangan makan malamnya, aku bersyukur memiliki tetangga sepertimu.”

Meski di lubuk hati yang paling dalam aku tidak merasakan dengan benar apa itu rasa syukur kecuali perutku yang kenyang dan aku bisa menghemat uang untuk makan setiap bulannya. Apakah dengan berkata seperti itu aku sudah bisa dapat dikatakan mensyukuri kehidupan ini? Entah. Membingungkan. Persis seperti hari-hari yang aku jalani. Bosan dan membingungkan.

Di sela-sela rutinitas yang membingungkan dan pertanyaan tentang apa rasanya mati dari lantai delapan, aku memang benar-benar berencana mati dengan melompat dari lantai delapan di balkon persis depan kamarku. Aku memikirkan cara paling mudah mengakhiri semuanya; pekerjaan banyak dengan upah tak seberapa, kota yang disfungsional, dan tempat tinggalku yang sempit dan sepi. Namun, untuk lompat dari lantai delapan aku perlu memikirkan matang-matang di waktu mana yang paling tepat untuk terjun. Apakah siang? Ah, terlalu banyak manusia yang berlalu lalang. Atau malam hari? Sebenarnya ini waktu yang bisa dibilang tepat untuk melakukan perencanaan bunuh diri, keesokannya mayatku langsung dikubur dan orang-orang tidak tahu mengapa ada mayat seorang laki-laki muda dengan darah yang keirng di depan flat tua.

Langit yang mendung mungkin lebih tidak pecundang ketimbang nyaliku yang selalu ciut untuk melompat terjun dari lantai delapan. Buktinya, hingga saat ini aku masih menghadap laptop, mengerjakan setumpuk perkerjaan yang bergulir terus dari hari ke hari. Minum kopi yang rasanya biasa saja, bertemu orang-orang yang sebenarnya tidak benar-benar aku kenal dan peduli.

Aku kembali pulang ke flat sederhana delapan lantai dan memastikan apakah aku harus bunuh diri dengan segera atau aku tunda sampai aku benar-benar siap untuk mati. Tapi, apakah manusia memiliki perasaan sesiap itu untuk merasakan nyawanya dicabut oleh malaikat maut? Apakah manusia-manusia yang mati melalui percobaan bunuh diri sebenarnya juga mengalami keraguan dan ketakutan seperti yang aku alami? Atau aku yang terlampau pengecut? Aku berjalan membawa pertanyaan-pertanyaan yang jawabanya entah ada di mana.

Sebelum benar-benar sampai ke lantai delapan aku harus melewati undakan tangga setara dengan dua putaran lagu berdurasi tiga menit. Tiada hari tanpa musik dan sepertinya suara Bon Jovi akrab dengan pikiran kematian serta rasa pengecut yang tiada ampun. Tapi, akhir-akhir ini aku sedang mendengarkan lagu Indonesia, album Lagipula Hidup Akan Berakhir yang dirilis oleh Hindia hampir semua trek aku putar dan menjadi teman berjalan menuju ke lantai delapan. Mendengar lagunya seperti mengaminkan rencana pembunuhan diri yang ingin kulakukan, hidup memang bajingan dan dilahirkan adalah petaka yang tiada habisnya.

Pelan-pelan aku menuju ke lantai delapan bersama alunan album kedua Hindia dengan volume yang keras. Hidupku saat ini terbilang baik-baik saja meski membosankan dan mudah bila ditebak, aku harus berangkat pagi untuk bekerja, menunggu bus di pukul tujuh lewat tiga puluh pagi, lalu bekerja dengan modal air mineral. Makan pagi kurapel di siang hari, pulang di waktu yang sudah ditentukan pula. Aku masih berjalan melintasi balkon lantai delapan persis di depan pintu kamarku. Aku mendekatkan diri dan melihat ke arah bawah memastikan lantai ini cukup tinggi untuk diloncati, tidak perlu lagi ada rasa sakit yang berarti jika semua badan terbanting dengan amat keras.

Tidak ada waktu yang tepat untuk benar-benar mati. Bisa saja saat ini dengan kemejaku yang lusuh penuh keringat aku loncat dengan sangat siap dan mati dalam keadaan bau darah. Apakah kelelahanku sehabis bekerja bisa menjadi penilaian agar kematian yang kurencanakan tidak lagi ditandai sebagai dosa besar melainkan setengah dosa dan setengah lagi untuk dispensasi atas dosa itu. Tuhan mungkin tahu betapa rajinnya aku bekerja dan menuruti rutinitas yang itu-itu saja tanpa mengelak sedikit pun pada siapapun.

Aku tercenung lama melihat ketinggian yang sebenarnya tidak sebanding dengan lantai kantorku. Tapi rasanya lebih baik jika aku jatuh dari sini, di balkon depan pintu yang langsung menuju kamarku. Mati di rumah sendiri bagiku keputusan yang cukup keren. Lagipula bukan masalah seberapa tingginya. Semua percuma kalau rasa pengecutku masih lebih tinggi dibandingkan lantai tempatku ingin bunuh diri. Langit saat itu mulai gelap burung-burung terbang ke arah barat menuju tempat mereka berteduh.

Aku iri melihat mereka yang hidup bebas, berkelana dengan sayap mereka. Aku merasa hidupku tidak lebih baik dari seekor burung. 

Mataku masih menatap langit. Pikiranku ikut bersama burung-burung yang terbang. Namun, kupingku merasakan kesadaranku perlahan dibangunkan oleh suara lembut yang tidak asing, suara samar itu mendekat, menghampiri sisi kiri telingaku nadanya rendah. Ia semakin mendekat. Hingga terasa persis di sebelah kupingku sedangkan mataku masih terpaku melihat langit yang redup.

“Permisi. Maaf, boleh saya bertanya?” Ucap suara bernada rendah dan pelan.

Hatiku mendorong agar badan ini berpaling dari balkon dan menjawab pertanyaan yang terlontar dari suara dengan nada rendah tersebut. Isi kepalaku seperti kembali utuh tapi berkecamuk antara ingin langsung loncat atau menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu baru loncat. Aku merasa sudah sangat siap untuk bunuh diri.

Selang beberapa detik dan mungkin menuju menit kesekian sosok yang ada di sebelah kiriku melangkahkan kakinya dan menjauh sambil mengeluarkan keluhan letih yang sering aku dengar sebelum-belumnya di mana-mana, di kantor paling banyak. Entah ini pergerakan yang impulsif atau aku familiar terhadap suara keluhan itu atau suara sendu itu, aku menoleh dan mengucapkan suatu kalimat dengan nada sedikit gemetar.

“Ya..?”  Ucapku.

Matanya berkilau dan bibirnya tersenyum tipis sebelum melanjutkan bicara. Aku terpaku menatap. Sepertinya aku pernah mengenal senyum itu. Keluhan dan suara itu juga seperti pernah mampir di telinga ini berkali-kali. Aneh sekali, apakah sebelumnya aku pernah bertemu dengan senyum dan suara keluhan itu?

“Saya Keana, bapak ini Bastian, betul?”

Badanku masih kaku tapi aku tetap menjawab pertanyaannya dengan gugup.

Dia kembali tersenyum. Aku masih terpaku. 

“Bisa bicara sebentar?” Ujarnya.

Aku mengangguk. Langit mungkin tertawa melihatku berkali-kali menjadi seorang pecundang.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Amalia salsa
Amalia salsa A lifetime learner.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email