Penulis Lepas dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta

Ketika COP Kembali Gagal Menjawab Dilema Penanganan Krisis Iklim

M. Ghaniey Al Rasyid

2 min read

Bumi, laiknya makhluk hidup, dapat merasa. James Lovelock gandrung dengan hipotesisnya tentang Gaia. Bagi Lovelock, bumi itu organisme hidup. Manusia perlu sadar bahwa tempat tinggal mereka bisa merintih kesakitan atau berucap bahagia, tergantung bagaimana manusia memperlakukannya.

Para ilmuwan berlomba-lomba mengurai benang kusut permasalahan iklim bumi hari ini. Corong-corong asap yang mulanya timbul sekadar untuk memenuhi kebutuhan umat manusia lama-kelamaan bertambah kian banyak tak terkendali. Sulit mengendalikan corong-corong ini ketika kebutuhan hidup umat manusia terus mengalami kenaikan.

Cuaca kian tidak menentu, gletser mencair, hingga daratan tenggelam diterjang air laut membuat panik negara-negara. Kemudian, mereka membentuk Conference of Parties (COP) sebagai usaha “tak main-main” untuk menekan laju perubahan iklim. Di sana, berbagai usulan optimis untuk merawat bumi bagi masa depan diajukan.

Baca juga:

COP26 yang sebelumnya diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia dilanjutkan dengan COP27 di Mesir, tepatnya di Sharm El-Sheikh. Beberapa negara yang menghadiri gelaran tersebut tampaknya sudah mempersiapkan langkah-langkah praktis untuk mengatasi keadaan dilematis dalam penanganan krisis iklim.

Wakil Presiden Republik Indonesia unjuk gigi menyoal permasalahan Iklim. Dalam opininya yang berjudul Mendorong Akselerasi Aksi Iklim yang terbit di Kompas awal November lalu, Amin mengingatkan perlunya kesadaran komunal dan moral untuk mengatasi permasalahan iklim dunia.

Banyak yang menaruh harapan pada forum COP. Namun, ada pula yang tak sepakat dengan forum yang diinisiasi elit-elit negara ini. Salah satunya adalah Greta Thunberg. Greta menilai, COP tak cukup serius merumuskan dan menggarap solusi bagi isu krisis iklim. Aktivis muda ini punya narasi tersendiri untuk membangun kesadaran publik dunia terhadap kondisi iklim yang, bisa dibilang, berhasil mengguncang dunia.

Pajak Karbon

Turunan dari hasil COP26 ialah agenda mengurangi emisi karbon. Terhitung sejak 1 April 2022, pemerintah menambah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 mengenai penyelenggaraan Nilai Ekonom Karbon. Bila dijabarkan, UU Nomor 7 Tahun 2021 mengatur komoditas yang akan dibebani oleh pajak karbon, yakni bila pada komoditas tersebut terdapat: (a) kandungan karbon dalam pembelian barang; (b) emisi gas rumah kaca yang dilepaskan langsung dari proses produksi—pada bagian ini, penentuan pajak akan dibebankan berdasarkan karakteristik dan jenis kondisi kimiawi yang berpotensi menyumbang kenaikan emisi karbon.

Opini berjudul Era Baru Pajak Karbon gubahan Pramono Dwi Susetyo yang terbit di Kompas awal tahun ini menjabarkan dengan begitu optimis bagaimana ketegasan negara menekan emisi karbon melalui regulasi pajak karbon untuk mengatasi efek rumah kaca.

Baca juga:

Moralitas Ekologi

Biosentrisme perlu ditonjolkan dalam menyoal permasalahan iklim. Lynn White mengkritik konsep antroposentrisme yang ia tuding sebagai biang kerok kerusakan hingga kehancuran ekologi. Lebih lanjut, Aldo Leopold mengaitkan biosentrisme dengan land ethic (etika lingkungan) sebagai pendekatan dalam menangani krisis iklim. Bagi Leopold, pendekatan penanganan krisis iklim yang benar secara moral mengutamakan perlindungan, keutuhan, keindahan, dan stabilitas seluruh komunitas ke depannya.

Kendati demikian, usaha untuk meredam efek rumah kaca melalui regulasi materialis seperti Pajak Karbon tetap jadi sandaran harapan untuk mengatasi efek negatif komposisi kimia dari produksi dalam rangka pemenuhan kebutuhan umat manusia. Bagaimanapun, produksi dan pasar adalah keniscayaan dalam berjalannya dunia ini.

Pembangunan ekonomi dipacu begitu hebatnya hingga mengorbankan lingkungan. Situasi demikianlah yang perlu kita hindari. Disiplin ekologi terasa begitu berat di tengah kondisi sosial yang terpaku pada kemakmuran yang hanya dinilai sejauh mana uang yang didapatkan, bukan kebijaksanaan dalam mengelola kebutuhan sumber daya alam. 

Kondisi ini memang begitu pelik. Greta Thunberg melengking mengkritik pertemuan pembahasan keresahan iklim yang luarannya mengawang-ngawang, tidak radikal, bahkan sama sekali tidak mrantasi. Di sisi lain, Leopold mengharapkan adanya moral dan penerapan kebijakan lingkungan yang mengakomodasi semua pihak untuk masa depan umat manusia yang lebih baik.

 

Editor: Emma Amelia

M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Penulis Lepas dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email