Suara Bumi dalam Perikemanusiaan

Rangga Nur Muharram

3 min read

Dalam masa pembuangannya di pulau Ende, Sukarno duduk melamun selama berjam-jam di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut. Sukarno mungkin tak pernah membayangkan, bahwa lautan dengan hempasan ombak yang dia pandang itu, kini tercekik oleh muatan mikro plastik. Laut yang tidak pernah bisa diam itu, kini banyak menyerap karbon dioksida, menjadikannya acidic dan dapat mengancam ekosistem terumbu karang beserta spesies di dalamnya.

Tepat di bawah naungan pohon sukun, Sukarno memikirkan konsepsi Pancasila. Sukarno melihat Pancasila sebagai gabungan antara buah pemikiran Barat dan nilai-nilai tradisional yang tertanam dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Seperti yang diakuinya, “Pantjasila itu bukan tjiptaanku pribadi, melainkan aku sekedar menggalinja dari bumi Ibu Pertiwi.”

Melanjutkan renungan Sukarno itu, perlu bagi kita untuk mendialogkan Pancasila dengan ancaman-ancaman ekologis yang saat ini ada di depan mata. Seperti kenaikan kasus bencana alam (banjir, kebakaran hutan dan longsor), menurunnya tingkat kesehatan serta kualitas hidup, kepunahan massal, hingga kerusakan hutan yang tentu saja semua itu berkorelasi dengan krisis iklim dan aktivitas manusia yang merusak.

Bukankah masyarakat adat leluhur kita, telah memberi contoh bagaimana hidup harmonis dengan alam dari generasi ke generasi? Paradigma ekologis telah lama mengakar dalam budaya sebagian besar nenek moyang kita. Suku-suku adat seperti suku Kanekes, suku Rimba, Adat Kasepuhan Ciptagelar memiliki dasar ontologis etis terhadap hutan dalam menjaga keseimbangan lingkungan tempatnya berpijak.

Apakah Pancasila tidak dibangun dengan kesadaran ekologis?

Baca juga Pembangunan vs Deforestasi: Bu Menteri Tahu Apa?

Makna Peri-Kemanusiaan

Dalam beberapa dekade mendatang, cuaca ekstrem akan jadi rutinitas di planet Bumi dalam perjalanan siang dan malamnya. Perlahan, bumi menjadi tidak layak huni bagi manusia. Rantai krisis ini akan sambung-menyambung dari krisis iklim ke krisis politik hingga berujung pada krisis kemanusiaan.

Tragisnya, dekade kritis ini sendiri lahir karena dominasi dari perilaku umat manusia atas ekosistem Bumi. Kekeliruan yang didorong oleh paradigma antroposentris, lalu berlanjut pada kegagalan praxis hidup sebagai makhluk Bumi. Jika kita menariknya kepada awal modernitas, paradigma antroposentris ini lahir dan tumbuh dari perkembangan Barat.

Percepatan perubahan iklim global yang dimulai dari tahun 1750, telah menunjukkan lompatan yang dramatis ketika memasuki abad ke-20 pertengahan. Transformasi pesat dari aktifitas manusia yang mengubah ekosistem Bumi tersebut dipicu oleh logika kapitalisme barbar yang tumbuh di iklim pemikiran modern Barat. Berdiri di atas cogito Cartesian yang menempatkan ontologi manusia di atas alam, ternyata memberikan justifikasi dominasi manusia dalam penaklukan dan eksploitasi sumber daya alam.

Baca juga Editorial: Jokowi Govt Justifies Forest Destruction for Development, But What Development?

Karakter kolonial terbentuk dari sini, implikasi besarnya yaitu muncul struktur hierarki rasialisme dan feodalisme yang kemudian menjadi nadi dari tangan-tangan kolonialisme & imperialisme di dunia ketiga. Atas nama “rasionalitas”, muncul sikap angkuh dan cenderung buta terhadap kehadiran yang liyan — alam dan organisme hidup dianggap sebagai mesin yang tak berkesadaran, serta menganggap kehadiran manusia dan kebijaksanaan lain sebagai inferior sekaligus primitif.

Dalam teks Tjamkan Pantja Sila!, Sukarno berucap; “bahwa dengan sengadja kita selalu memakai perkataan kemanusiaan dan peri-kemanusiaan. Kemanusiaan adalah alam manusia ini, de mensheid.”

“Peri-kemanusiaan adalah djiwa jang merasakan bahwa antara manusia dengan lain manusia adalah hubungnnja, djiwa jang hendak mengangkat membedakan djiwa manusia itu lebih tinggi daripada djiwa binatang. Kalau saja memakai perkataan asing, kemanusiaan adalah mensheid, peri-kemanusiaan adalah menselijkheid. Kemanusiaan adalah alam manusia,…peri-kemanusiaan adalah lain. Djikalau kita berbuat sesuatu jang rendah jang membikin tjelaka kepada manusia lain, kita berkata melanggar peri-kemanusiaan, kita melanggar hukum menselijkheid.”

Dengan mengambil contoh Peri-kemanusiaan yang terkandung dari dalam tiap agama, Sukarno lebih lanjut menambahkan; “Djangan kira peri-kemanusiaan hanja kepada sesama manusia sadja, kepada tiap-tiap machluk jang hidup kita djalankan kebaikan, itu adalah pula peri-kemanusiaan.”

Melalui definisi ini Sukarno telah memberi pijakan luas agar peri-kemanusiaan dalam Pancasila tidak tereduksi menjadi kemanusiaan rasial antar bangsa, suku dan agama. Ia lebih menekankan internasionalisme, yakni kemanusiaan yang menghilangkan batas-batas tajam antar bangsa dan antar agama. Konsepnya lahir dari iklim gerakan nasionalisme global.

Menurutnya, nasionalisme dan internasionalisme harus wahyu-mewahyui satu sama lain. Satu yang belum tegas dalam pengertian Sukarno adalah peri-ekologis. Kekurangan peri-ekologis inilah yang membuat Pancasila hingga saat ini masih berjarak terhadap alam. Pancasila didominasi oleh unsur antroposentris, ia masih hanya menyangkut soal manusia, dan untuk kehidupan manusia semata.

Dalam kabut krisis iklim di era Anthropocene sekarang, telah muncul diskursus yang menuntut peninjauan ulang atas kedudukan manusia dalam relasinya dengan alam. Sebab, alam bukan lagi dianggap sebagai entitas eksternal di mana manusia ada dan hidup, tetapi merupakan elemen konstitutif dari pakaian biologis manusia.

Kita tak bisa merdeka tanpa ketahanan tanah sebagai tempat rantai produksi makanan, laut dan sungai sebagai sumber mata air, hingga udara yang kita hirup yang sebagian besar hasil dari proses fotosintesis pepohonan. Setiap napas yang kita hirup, setiap tetes cairan yang kita minum, dan setiap potongan makanan yang kita makan berasal dari alam, ini sekaligus menghubungkan kita secara mendalam dengannya.

Fakta dasar sederhana ini sering kali kita abaikan atau anggap remeh. Memahami Pancasila harus didasari oleh kesadaran bahwa sesungguhnya manusia dan alam sama-sama berbagi kehidupan.

Identitas ekologis berkolerasi dengan keamanan ekologis. Kedaulatan rakyat dan kedaulatan alam melebur. Maka dari itu peri-ekologis dan peri-kemanusiaan harus wahyu-mewahyui satu sama lain. Lantas mengapa Pancasila setelah melalui berbagai proses sejarahnya, kurang mencerminkan karakteristik spiritual-naturalis, sehingga alam hanya terepresentasikan sebagai simbol belaka? Padahal karakteristik yang terdapat pada budaya, agama hingga adat istiadat masyarakat Indonesia kental dengan nilai-nilai ini.

Dalam menghadapi krisis iklim, kita sangat perlu mengambil contoh nilai-nilai ekologis etis yang terdapat pada masyarakat adat. Itulah sesungguhnya akar dan jiwa Pancasila.

Rangga Nur Muharram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email