Mempertahankan Kepemilikan Tubuh di Bawah Bayang-Bayang Kapitalisme

Akbar Mawlana

2 min read

Tulisan Bung Naufalul Ihya dengan judul Saat Tubuh Menjadi Segumpal Angka-Angka Kapital memang tidak bisa terbantahkan, tubuh telah mengalami kapitalisasi. Namun, gagasannya tentang tubuh telah menjadi segumpal angka kapital seolah menjadikan sang pemilik sekadar objek pasif terhadap kapitalisme.

Padahal, pada era postmodern tubuh bukan lagi objek. Bung Naufal melupakan fakta bahwa individu sebagai pemilik tubuh juga memiliki kehendak atas tubuhnya. Secara sosiologis, bung Naufal melihat tubuh terjebak pada paradigma fakta sosial. 

Pandangannya yang terjebak fakta sosial membuat dirinya hanya melihat individu selalu terperangkap dalam struktur ekonomi kapitalis. Ini tercermin dari pandangannya yang terbatas terhadap pencapaian uang dalam melihat fenomena obrolan seksualitas Nikita Mirzani dan Dinar Candy dalam podcast Deddy Corbuzier. 

Tulisan ini tidak mendukung praktik kapitalisme terhadap tubuh, melainkan ingin membangun perspektif lanjutan terhadap tubuh dengan memakai paradigma definisi sosial. Tubuh sebagai definisi sosial lebih berorientasi terhadap subjektivitas individu sebagai pemilik tubuh. Dengan begitu, individu bebas memodifikasi, membentuk, dan mengontrol tubuhnya sesuai kehendaknya.

Baca juga:

Esensi Tubuh Era Postmodern

Kebebasan individu untuk memodifikasi, membentuk, dan mengontrol tubuh merupakan bagian lanjutan dari postmodern. Esensi tubuh dalam postmodern adalah membiarkan tubuh menjadi berbeda. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena realitas masyarakat sudah menyatu dan sukar terlepas dari kapitalisme. Dari mulai kita bangun hingga tertidur lagi, jerat kapitalisme terus menghantui kehidupan sehari-hari.

Jerat kapitalisme tidak akan berakhir, dunia yang kita tinggali saat ini telah masuk pada kapitalisme tingkat lanjut. Kapitalisme tingkat lanjut membawa berbagai ideologinya ke dalam semua aspek kehidupan. Lalu, bagaimana kita bisa terlepas dari kapitalisme? Deleuze memberikan jawaban, biarkan hasrat kita “bersahabat” dengan kapitalisme. Hasrat kita tidak bersifat menghancurkan, ia bisa menjadi cara untuk “berada” di dunia.

Fenomena praktik kecantikan yang dilakukan para muslimah merupakan contoh cara memosisikan diri dari jerat kapitalis yang berkelindan dengan patriarki. Jika menilik dari sudut pandang agama, tentunya praktik kecantikan muslimah adalah cara yang jauh dari keimanan. Para tokoh agama menafsirkan muslimah yang solehah adalah yang mensyukuri pemberian Tuhan tanpa melakukan perubahan.

Namun, fenomena yang terjadi saat ini justru menunjukkan kebalikannya. Catatan lapangan tentang praktik kecantikan muslimah di Surabaya yang saya lakukan menunjukkan bahwa keimanan bukan sekadar proses mensyukuri pemberian Tuhan tanpa melakukan perawatan. Mereka justru memaknai proses perawatan tubuh sebagai salah satu cara menikmati nikmat Tuhan.

Para muslimah di Surabaya menilai bahwa mereka harus melakukan perawatan meski menghabiskan biaya mahal. Kendati mahal, mereka merasa bahagia karena bisa merawat tubuh yang diberikan Tuhan. Selain itu, saat melakukan perawatan tubuh, mereka merasa terlepas dari belenggu patriarki.

Fenomena lain yang bisa menjadi contoh adalah perempuan yang “menjual” tubuhnya untuk menghasilkan uang. Uang yang diperoleh nantinya berguna untuk menunjang gaya hidupnya.

Apakah perempuan yang “menjual” tubuh untuk menunjang gaya hidupnya salah? Dalam analisis Marxian, cara tersebut memang tindakan yang terbius kenikmatan kapitalisme. Namun, bagaimana jika para perempuan melakukannya dengan penuh kesadaran? Bahwa itu memang sepenuhnya keputusan mereka. Mereka bahkan tak merasa tersiksa saat memberikan jasanya pada orang lain. Mereka justru bahagia saat mendapatkan uang untuk bisa memuaskan keinginan membeli banyak barang. Sebaliknya, jika tidak mempunyai uang, rasa sedih menyelimuti mereka.

Perihal kapitalisasi tubuh dalam dunia digital, ada riset dari Pembayun yang melihat pornografi di dunia cyber. Pembayun melakukan wawancara terhadap perempuan yang menjadi aktor cyberporn.  Dalam proses wawancaranya, para perempuan yang menjadi aktor tidak menyesali tubuhnya menjadi barang komersial lantaran menikmati profesi itu sebagai sumber mata pencaharian.

Baca juga:

Manusia Autentik 

Fenomena-fenomena di atas memiliki kesamaan pada aspek pencapaian pemenuhan hasrat dan nilai material sebagai orientasinya. Dari fenomena tersebut, kita juga bisa melihat bahwa perempuan memanfaatkan tubuh mereka sebagai cara “berada” di dunia. Meski jika menggunakan analisis Marxis, tubuh mereka sudah terjebak dalam perangkap kapitalisme.

Inilah yang oleh Deleuze disebut sebagai identity difference: identitas adalah kekuatan sekunder dan kembali hanya sebagai perbedaan. Perbedaan ada di balik segalanya. Oleh karenanya, biarkan perbedaan hadir sebagai upaya resistensi dari ketidakberartian kehancuran dunia akibat kapitalisme.

Lalu, pertanyaan dilematisnya adalah, sampai mana batas individu membiarkan hasrat tubuhnya menyatu pada nilai kapitalisme? Tidak ada variabel yang membatasi kehendak individu untuk memanfaatkan kepemilikan tubuhnya. Sebab, jika ada variabel pembatas, individu tidak lagi menjadi manusia autentik.

Dalam The Will to Power, Nietzsche menjelaskan manusia autentik adalah manusia yang menghancurkan moralitas. Masyarakat membangun moralitas hanya sebagai tirai penghalang bagi individu untuk menjalankan dan merasakan dunia berdasarkan kehendaknya. Masyarakat menciptakan moralitas untuk membuat individu tidak bebas, mengingat kebenaran moral adalah kebenaran yang sifatnya relatif.  

Kepada Bung Naufalul Ihya, dalam kalimat penutupnya yang menyatakan manusia telah kehilangan moralnya akibat kapitalisasi tubuh, saya ingin membongkar kembali kalimat penutup tersebut: moral hilang bukan akibat dari kapitalisasi tubuh, justru normalisasi moral yang membuat manusia semakin tunduk di era kapitalisme tingkat lanjut. 

Akbar Mawlana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email