Lahir di Kangean. Sedang belajar berdoa dan mengatur silsilah.

Kesadaran Penciptaan

Syauqi Khaikal Zulkarnain

4 min read

Pertama, tulisan ini hendak menerang-jelaskan sebuah kesalahpahaman yang kerap kali hinggap di benak pembaca sekalian soal diskursus seni dan kebudayaan mutakhir kita. Singkat saja, apa yang membedakan diskursus seni-budaya dengan diskursus pelestarian seni-budaya? Banyak orang lantang berkata-kata soal urusan seni dan budaya namun sebetulnya sama sekali belum menyentuh duduk persoalan yang hendak dibahas, berhenti pada urusan pelestarian, cuma sekadar omong-omong soal bagaimana seni dan kebudayaan yang merupakan warisan luhur bangsa itu mesti dilestarikan.
Tulisan ini tak hendak membahas upaya-upaya pelestarian itu lagi, sekalipun hal tersebut tetap penting dan kadang masih relevan. Namun sampai kapan kita akan sepenuh-penuhnya menetek pada masa lampau? Dalam banyak kasus, kesalahan dalam memberi arti soal diskursus seni-budaya dengan diskursus pelestarian seni-budaya ini membikin kita berputar pada satu poros semu yang sebetulnya tak perlu lagi kita sentuh. Ada yang lebih substansial untuk dibahas dan diberi arti. Bukan lagi soal bagaimana ketoprak dan wayang mesti terus digiatkan agar tetap dinikmati khalayak ramai. Bukan cuma sekadar hitungan kalender dalam penanggalan Jawa yang mewajibkan tiap-tiap orang untuk memakai batik dan/atau pakaian raja-raja.
Demi membaca pemandangan ini saya mesti repot membikin sebuah anekdot yang tak begitu lucu, sebab saya memang tak pandai guyon seperti kebanyakan budayawan blangkonan itu. Begini, selama kapitalisme masih merajai bumi manusia, batik sebagai produk kesenian dan kebudayaan masyarakat Jawa itu tak akan pernah hilang-lenyap. Itu faktanya, dan sebab itu pula penulis mendakwa diskursus pelestarian seni-budaya, dalam hal ini soal batik, melalui berbagai kegiatan turunannya merupakan satu agenda yang membuang-buang tenaga. Meninggalkan substansi dan dipaksakan.
Selama pariwisata masih dijadikan tulang punggung perekonomian suatu daerah, seni pertunjukan macam reog, tari kecak, dan wayang akan tetap digelar sebagai dagangan. Lalu apa yang hilang? Tentu saja penghayatan akan nilai. Sejarah mencatat bahwa seni dan budaya merupakan satu agenda besar penanaman nilai-nilai luhur bangsa dari tiap-tiap generasi. Lalu apa yang sudah dicatat soal kesenian dan kebudayaan angkatan kita selain upaya-upaya pelestarian yang membikin lupa untuk mencipta?
Baca juga:
“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan”, begitulah paragraf awal Surat Kepercayaan Gelanggang itu dihadirkan dalam tulisan ini. Sebuah surat yang pendek tegas namun berhasil sepenuh-penuhnya membuka mata banyak orang soal pentingnya cita-cita dan pedoman. Ke mana mestinya arah gerakan kebudayaan dan penciptaan kesenian angkatan kita harus diarahkan?
Pendek saja, diarahkan pada satu kondisi di mana kita memiliki satu penghayatan pada proses penciptaan. Oleh karenanya, diskursus soal kesenian dan kebudayaan memang akan senantiasa diproduksi secara eksklusif oleh seorang seniman dan lalu dibikin inklusif ketika sudah diluaskan pada publik pembaca sekalian. Diskursus seni dan budaya adalah sepenuh-penuhnya milik seniman, sementara seniman adalah mereka yang berani mencipta dengan berbagai ukuran nilai yang membersamainya.
Kesadaran Penciptaan
Ada beberapa hal penting di balik proses penciptaan. Maksudnya, ada garis besar yang kemudian menjadi acuan awal bagi seorang seniman dalam prosesnya mencipta. Garis besar tersebut adalah masyarakat, sebagaimana diri seorang seniman yang sejak awal merupakan bagian daripada masyarakatnya. Maka sekalipun diskursus yang sejak awal tadi secara eksklusif diproduksi oleh ‘sang pencipta’, tapi ‘sang pencipta’ sama sekali tak boleh meninggalkan ‘hamba pembacanya’. Simpul sederhana inilah yang kemudian akan senantiasa membikin satu kesan unik dalam proses penciptaan kesenian dan kebudayaan.
Relasi yang demikian bukan hendak diarahkan pada suatu kondisi di mana seniman menjadi sosok yang tak dapat disentuh. Justru seniman mesti hadir di bumi manusia, timbul tenggelam dalam urusan masyarakat banyak, tidur di gubuknya si miskin, merekam-mencatat setiap gejala, membiarkan banyak minor detail khalayak ramai yang tak sempat dicatat saluran resmi hadir dalam ciptaannya. Sejak awal seniman memang harus sudah organik (meminjam istilah Gramsci). Itulah syarat yang wajib mengikut dalam kesadaran penciptaan seorang seniman. Berangkat dari simpul itulah kemudian agenda-agenda seni dan kebudayaan dimulai. Mengutip perkataan seorang kawan yang seniman, “Seni dan kebudayaan adalah bunga, masyarakat adalah tanahnya”.
Pagi-pagi buta besok harinya
Kujemput kau kembali
Berjalan-jalan lagi ke Malioboro
Membangunkan orang-orang tidur
Di sepanjang Jalan Katamso.
(Disebabkan Malioboro, 2023)
Penggalan puisi di atas adalah contoh. Soal bagaimana minor detail masyarakat miskin kota Yogyakarta dicatat dan diberi tempat. Tukang-tukang becak yang menggantungkan sebagian besar nasibnya untuk mengantar wisatawan ke Malioboro. Tidur melingkar di sepanjang Jalan Katamso dan sama sekali tak diurus Raja Yogya sebab Katamso cuma jalan biasa, bukan bagian dari sumbu filosofis Yogyakarta yang jadi tempat berbagai magnet pariwisata digantungkan pada kain-kain batik dan bakpia. Pemandangan semacam inilah yang luput untuk dicatat dalam diskursus pelestarian seni-budaya, namun hadir dalam kesadaran penciptaan milik angkatan kita.
Apalah arti kesenian bila terpisah dari derita lingkungan? Apalah arti berpikir jika terpisah dari masalah kehidupan? Kepadamu, W.S. Rendra bertanya. Jadi, kemampuan untuk merekam berbagai hal yang luput adalah bagiannya orang yang berkesenian. Seniman adalah orang yang mengumpulkan remah-remah kecil berantakan masyarakat banyak, mengumpul-satukan, lalu dicatat dan diberi tempat. Keadaan inilah yang jarang hadir dalam diskursus pelestarian seni-budaya, pemandangan inilah yang sepenuh-penuhnya dimiliki oleh orang yang berani mencipta, kemudian ditumpahkan dalam diskursus soal kesenian dan kebudayaan generasinya sendiri.
Baca juga:
Ukuran selanjutnya tentu saja soal isi kepala dan bagaimana ia ditegas-sampaikan, termasuk soal letak keberadaannya sejak awal. Maksudnya begini, setelah melirik jauh pada keadaan di sekitarnya, seorang seniman selain harus berani mencipta juga mesti berani menegaskan posisi pandangannya terhadap dunia. Orang-orang yang banyak bercakap-cakap soal kesenian dan kebudayaan haruslah mereka yang isi kepalanya berangkat dari penghayatan dan hajat hidup orang banyak. Keadaan ini kemudian menuntut seorang seniman untuk berteriak melalui ciptaannya. Terlampau banyak kejadian yang luput untuk dicatat, tugas nasional orang-orang yang bergelut dalam urusan ini adalah mengumumkannya.
Kebebasan untuk menegaskan banyak persoalan baru dalam jalannya kesenian dan kebudayaan baru adalah apa-apa yang tak dapat diakomodir oleh gerakan kesenian dan kebudayaan dari masa-masa sebelumnya. Poin penting dari gerakan kesenian dan kebudayaan di kita punya masa ialah keberanian masuk menemu malam dan menyalakan lampu pijar peradaban agar ukuran nilai tak lagi dikaburkan perangkat kebudayaan yang usang. Dalam jalannya gerakan baru ini kita tak sepenuh-penuhnya melahirkan satu hal yang benar-benar mutakhir; sebab dalam kelahiran kesenian dan kebudayaan senantiasa ada satu pokok menjulang, yakni manusia. Itulah sebabnya tulisan ini dalam salah satu sisinya berangkat dari pencarian, pembahasan, dan bahkan telaah terhadap kesalahan lain-lain manusia.
Penghargaan seorang yang berkesenian terhadap keadaan keliling adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman. Sebagaimana yang sudah disebutkan pada paragraf–paragraf yang telah lalu, penelusuran ihwal bagaimana semestinya jalannya kesenian dan kebudayaan angkatan kita mesti patuh pada upaya mencatat dan mendengar berbagai rangsang suara (termasuk suara yang sumbang), dan lalu kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.
“Seorang seniman harus seorang perintis jalan, Adik”, ungkap Chairil Anwar pada suatu masa. Doktrin itulah yang kemudian jadi kewajiban seorang seniman, kalimat pendek-tegas milik Chairil itulah yang kemudian menuntun hadirnya diskursus kesenian dan kebudayaan di masa-masa yang akan datang. Soal kehadiran angkatan muda yang berani bercakap-cakap soal arah kebudayaannya sendiri, yang berangkat dari pelbagai rangsang suara masyarakatnya, yang kemudian dibiarkan bercerita demi kelahiran dunia baru yang jauh lebih sehat dan ideal.
Diskursus kesenian dan kebudayaan baru ditandai dengan lahirnya seniman-seniman muda yang berdesakan mencari jalan agar dapat muncul dan diberi tempat sebagaimana mestinya. Sembari lalu menunggu kelahiran mereka, sudah siapkah kita melepas-bebaskan pikiran dari romantisme sejarah pada produksi (ciptaan sekaligus pencipta) kesenian dan kebudayaan masa lampau? Ingat, melepas-bebaskan bukan berarti melupakan. Keduanya harus dicatat, keduanya harus diberi tempat. Inilah catatan kedua di tengah banyaknya catatan pertama soal pelestarian-pelestarian itu. (*)
Editor: Kukuh Basuki
Syauqi Khaikal Zulkarnain
Syauqi Khaikal Zulkarnain Lahir di Kangean. Sedang belajar berdoa dan mengatur silsilah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email