Ketika membaca poster diskusi yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada Minggu (15/9), saya menemukan tulisan yang membubuhkan kata “hakikat kebudayaan”. Hakikat, katakanlah, merupakan sesuatu yang substantif, bernilai penting, inti, bahkan mungkin juga mulia dan suci. Dalam banyak hal misalnya, mulai dari agama, ideologi, kebangsaan, etnisitas, dan sejenisnya, kita sering terkoneksi dengan suatu konsep yang berhubungan dengan istilah hakikat. Hakikat sendiri diandaikan sebagai sebuah “kebenaran” yang muncul bukan sebagai representasi, melainkan sebuah nilai yang murni dari sesuatu itu.
Diskusi ini memang berbicara tentang kebudayaan, tetapi mengenai “hakikat kebudayaan” sendiri, saya masih ragu untuk mengatakan “ada”. Alasannya adalah setiap kali saya menyimak sesuatu yang disebut-sebut merupakan hakikat dari satu hal, maka saya akan sangsi dan menganggapnya sekadar representasi atau klaim atas hakikat. Sirkulasi yang lucu ini sering kali membuat saya cukup berhati-hati untuk benar-benar bisa menerima dengan final suatu definisi. Toh, seperti ditolak Adorno misalnya, definisi sering kali berfungsi mengukuhkan bentuk-bentuk pemahaman yang kaku dan reduksionis, yang justru memutilasi kompleksitas dunia-kehidupan.
Meski demikian, itu hanya keraguan dalam kesan pertama ketika membaca kata “hakikat”, diskusi di sana—yang diisi oleh Sujiwo Tejo, Melani Budianta, Trie Utami, Tatan Daniel, dan Okky Tirto—menyigi, atau merumuskan, rancangan Kementerian Kebudayaan, untuk membuat lembaga ini otonom dan tidak bercampur-baur dengan subjek lain seperti pendidikan atau pariwisata.
Dalam pembukaan diskusi itu, kami diberi suguhan sebuah film dokumenter sehubungan dengan sikap para seniman Taman Ismail Marzuki dalam merespons revitalisasi kawasan tempat mereka beraktivitas. Apa yang problematik sebenarnya hanya karena tiadanya komunikasi antara pemangku kebijakan, pemodal, dengan mereka: seniman. Sisanya, entah terkait dengan komersialisasi fasilitas, komodifikasi produk-produk kesenian, dan sejenisnya, adalah hasil dari absennya konsultasi sebelum revitalisasi.
Saya mencoba menghubungkan kasus khusus (revitalisasi Taman Ismail Marzuki) dengan wacana perumusan Kementerian Kebudayaan ini, dan mendapat sedikit gambaran kasar. Dan di sini, pertama-tama, saya perlu mengakui bahwa saya tidak bisa mengingat setiap kata yang diucapkan para pembicara, melainkan hanya akan menguraikan apa yang saya tangkap.
Revitalisasi Ruang Kebudayaan
Mengulang kembali pembicaraan mengenai revitalisasi Taman Ismail Marzuki melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 63 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 16 Tahun 2022, kita bisa membaca operasi revitalisasi ini pada akhirnya bergerak dengan derap langkah yang kira-kira terkesan komersial, Pasalnya, penugasan revitalisasi kepada perusahaan swasta tertentu tanpa pelibatan seniman yang menghidupi ruang-ruang di sana justru menjadi titik yang memungkinkan terjadinya konflik. Hasilnya, upaya revitalisasi justru menjauhkan tujuan vitalisasi itu sendiri dari proyek ini.
Pemahaman politisi atas sebuah ruang barangkali berbeda dengan pandangan seniman. Jika ruang dalam pemahaman politisi yang berkonsolidasi dengan perusahaan cenderung berbicara tentang konstuksi dan matemasi, seniman melihat ruang itu sebagai sebuah ekosistem di mana mereka mampu terkoneksi dengan lanskap budaya yang memberi mereka bahan bakar untuk memproduksi karya.
Di sini konsep ruang dari Henri Lefebvre dalam bukunya La production de l’espace akan membantu.
Lefebvre mengkategorikan ruang menjadi dua jenis, yakni Ruang Abstrak dan Ruang Mutlak. Saya akan meminjam penjelasan Goenawan Mohamad dalam buku Pigura tanpa Penjara (2019) untuk ini.
“’Ruang abstrak’, dalam pengertian Lefebvre adalah ruang yang diterjemahkan dalam geometri, yang dipisahkan dari anasirnya yang konkrit—pasir, debu, batu, rumput, pepohonan, manusia, warna, dan baunya, gaung dan suasananya. Dengan kata lain, ruang yang telah jadi satuan kuantitatif, agar dapat dipergunakan buat segala hal, dari kakus sampai dengan masjid. Ruang macam itu adalah ruang yang dapat dipertukarkan. Nilainya ditentukan oleh apa yang oleh Marx disebut sebagai ‘nilai tukar’, dan bukan oleh ‘nilai guna’.”
“’Ruang mutlak’ adalah sebuah ruang yang menganding kdekatan, atau keakraban, dengan yang ilahi, yang agung, misterius dan mistis—dan pada saat yang sama menampung orang datang, untuk menghormati yang suci dan abadi.”
Barangkali, revitalisasi ruang kebudayaan Taman Ismail Marzuki dapat kita bedakan melalui apa yang diuraikan Lefebvre di atas. Pemerintah Daerah—yang bukan seniman—memandang revitalisasi sebatas rekonstruksi fisik kawasan tersebut. Pembongkaran gedung, penataan ulang layout, dsb. merupakan proses kerja khas budaya industrial. Perlu dicatat, penyebutan ini tak peyoratif. Namun demikian, hal ini merupakan satu sisi dari pembangunan tersebut, yakni bahwa proses kerja revitalisasi sebuah ruang dalam pandangan Pemerintah Daerah, kontraktor, pebisnis, dsj. adalah revitalisasi ruang abstrak, yakni membangun kembali struktur bangunan.
Perspektif yang berbeda muncul dari para pelaku budaya di Taman Ismail Marzuki. Mereka menganggap bahwa ruang tersebut bukanlah ruang abstrak, melainkan ruang mutlak. Di sana segala macam proses “trandensensi” muncul, dan manusia memahat pelbagai anasir maknawi bagi manusia sebagai makhluk budaya. Di sini azas fungsi gedung sendiri bukan persoalan dominan, oleh sebab dalam retaknya lapisan cat dalam sebuah tembok dapat dibaca sebagai riwayat historis—dan tentu begitu bermakna bagi mereka.
Apa yang menjadi masalah adalah absennya komunikasi. Toh sebenarnya kedua ruang ini, mau tidak mau, senantiasa terkoneksi, oleh sebab konstruksi tubuh juga ekosistem kebudayaan akan menuntut pemenuhan materialistis dari fasilitas. Budayawan tak bisa hidup dalam puritanisme kultural. Namun demikian, absennya komunikasi selalu menjadi akar masalah.
Komersialisasi dan Komodifikasi
Karena perbedaan persepsi antara Pemerintah Daerah dan pelaku budaya, tendensi yang hadir pun lantas berseberangan, dan inilah yang melahirkan konflik.
Meski konflik tak melulu melibatkan darah, tetapi rasa tidak terima itu justru sama berbahayanya. Tendensi bahwa taman budaya (sebagai ruang abstrak) melahirkan pemikiran kalkulatif untung-rugi tentu akan dianggap menciderai nilai kebudayaan yang tak cukup dibungkus dengan logika dagang yang radikal.
Komersialisasi kebudayaan—jika kita hendak menyebutnya demikian—sebagai suatu proses di mana nilai kebudayaan diukur, dikemas, dan dijual dalam kerangka ekonomi, akan menjadi ambivalen bagi paham estetika yang menghargai betul proses ekspresi dan kreasi. Hasil olah ekspresi dan kreasi itu pada gilirannya, apabila didikte oleh imperatif yang administratif dan “harus memberi laba” maka akan tereduksi sebatas menjadi komoditas, seperti nikel, perumahan, atau celana dalam.
Tendensi ini toh memang mengemuka dari proses revitalisasi Taman Ismail Marzuki sebagai sebuah industri. Gedung dan fasilitas yang diperbarui dinilai tidak memperkuat iklim kebudayaan di sana, melainkan menyulap kawasan itu menjadi sebuah destinasi yang dapat menarik banyak pengunjung. Perlu digarisbawahi, bahwa pengunjung di sini dikategorikan sebagai “pasar”, bukan “apresiator”. Apa yang intrinsik dari sebuah ruang budaya terkolonialisasi oleh sebuah sistem besar yang dikendalikan mekanisme pasar.
Konsekuensi yang disampaikan para pelaku seni-budaya di sana juga yakni adalah melambungnya ongkos sewa gedung dan fasilitas, oleh sebab seniman bukanlah “pengelola” sebenarnya, melainkan sekadar—mohon maaf sekali—komponen yang membentuk objek pembangunan. Hal ini tentu perlu diperhatikan lebih lanjut nantinya, apabila Kementerian Kebudayaan terbentuk, otonomi pelaku budaya di Taman Ismail Marzuki—dan pada gilirannya di seluruh Indonesia—perlu menjadi pusat perhatian pemerintah.
Birokratisasi Ruang Kebudayaan
Ketika menyimak uraian Prof. Melani Budianta dan Sujiwo Tejo, disampaikan sebuah sindiran yang halus tetapi tajam, yakni perihal komodifikasi produk kebudayaan (dalam hal ini kesenian) menjadi sekadar pernak-pernik dalam, misalnya, Pilkada, atau pengiring kegiatan kenegaraan yang diisi oleh para birokrat yang luar biasa berwibawa. Ada pula sentilan lain terkait penyelenggaraan kesenian, Sujiwo Tejo mencontohkan, dalam suatu acara pernikahan. Di sana suguhan musik dan/atau tarian senantiasa dilindas oleh—meminjam Goenawan Mohamad—“deras, repetitif, dan riuh rendah dari kancah orang ramai” yang dicontohkan oleh MC yang berbicara ketika musik diselenggarakan.
Cukup banyak sebenarnya yang perlu dibedah, tetapi apa yang saya simak dari diskusi ini, yakni upaya menyongsong pembentukkan Kementerian Kebudayaan, justru melahirkan kekhawatiran lain yang sebelumnya juga disentuh oleh Prof. Melani Budianta.
Akhir catatan, saya hanya hendak menyampaikan kekhawatiran saya—dan juga banyak orang, barangkali—yang agaknya perlu dipertimbangkan dengan cukup serius, teknis, juga dipenuhi komitmen ke depannya:
Sejauh mana Kementerian Kebudayaan ini dapat menjadi ruangan yang aman, nyaman, dan kontributif terhadap proses kerja para pelaku budaya nantinya? Bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan apabila pada akhirnya Kementerian Kebudayaan ini hanya menjaid gerbong tambahan bagi koalisi gendut yang belum sempat terbagi kue kekuasaan? Sikap seperti apa yang perlu diteriakkan apabila Kementerian Kebudayaan yang sebelumnya diharapkan dapat merengkuh dinamika kebudayaan ini ternyata dipenuh-sesaki oleh orang-orang sarat kepentingan politis dan golongan—dan tentu saja kapitalistis nan koruptif—sebagaimana fakta-fakta politik yang kita akrabi di negara ini?
Terakhir (dan ini yang paling membuat saya gelisah), apakah mungkin untuk menghindari kemungkinan intervensi dominan, yang memungkinkan para pelaku budaya merasa takut, atau setidaknya segan, untuk bersuara dengan jujur apabila telah dipupuk oleh fasilitas dan program Kementerian Kebudayaan yang begitu nyaman? Bukankah proses semacam ini dapat menjadi seduksi yang melahirkan—mengutip Hannah Arendt—“banality of evil” ketika nalar dan nurani tanggal dan yang tersisa adalah perubahan para pelaku budaya menjadi sekadar komponen dalam sebuah konstruksi besar kekuasaan?
Semoga para budayawan berkenan mempertimbangkan dan menyiapkannya. (*)