I. Bara Api
Barangkali kita jangan saling menatap, kecuali jika untuk meratap. Ada yang memantul pada bola matamu dan belum dapat aku pahami dari mana datangnya. Gerangan, aku mengerti bahwa kita telah menjelma bencana. Sayangku, sudah berapa lama kita duduk di bangku panjang ini, bersila di atasnya? Di halaman belakang rumahku, kita pernah membicarakan laki-laki, kemudian kita menyadari bahwa tidak pernah ada yang demikian di antara kita kecuali satu sama lain. Kecuali sama-sama perempuan.
–
II.
Kesadaran itu, datangnya lamban. Dua minggu diam-diam, dua minggu berjingkat-jingkat, dan sisanya adalah interogasi sebab jumlah kehadiranmu di rumahku semakin tak wajar saja jumlahnya. Ibu-ibu kita maklum, sebab demikianlah teman baik. Sayangku, kendati demikian mereka semakin curiga dan khawatir, sebab saat tertawa pada satu sama lain, ada di mata kita bara api yang tidak seharusnya. Tidak sepatutnya. Tidak pada dua perempuan yang saling.
–
III
Kabarnya—apakah ini baik atau buruk, berkah atau bencana—di suatu sore yang lambat dan teledor, kita tidak perlu lagi diam-diam, berjingkat-jingkat, apalagi terbata-bata menjawab pertanyaan yang berakar daripada ketakutan tidak masuk akal. Tidak lagi. Di telepon terakhir sebelum hancur jiwaku dan habis warasmu dikoreksi, aku berkata, “kita ketahuan. Strip foto dua perempuan itu lupa aku simpan di laci.”
–
IV
Aku menggigil, merendam duka di dalam bak mandi yang membeku dan membabi-buta sebab sudah pukul sebelas malam. Kamu terseok-seok, tidak ada hukuman selain yang seberat-beratnya. Semoga tidak ada lagi yang sorenya lambat dan teledor. Di tumpukan buku yang rapat-rapat kusimpan di lemari agar tidak terkena inspeksi, ada kumpulan puisi dari masa yang sudah lama sekali. Bukankah dia seberkas berita bahwa sudah pernah ada perempuan-perempuan yang saling mencintai dan kita tidak lebih merupakan kebangkitan kembali?
–
V
Barangkali kita jangan saling menatap, kecuali jika untuk meratap. Sudah dua apa kita tidak bertemu? Bulan, tahun? Kemudian aku dapati kamu diam-diam dan berjingkat-jingkat ke bangku panjang. Kita tidak boleh kedapatan lagi. Lagipula ini sudah pukul sebelas malam, yang kendati lambat, tetapi tidak teledor. Kamu menyerahkan setumpuk puisi yang kamu tulis selama pengasingan. Seseorang yang malang nanti bersaksi telah mendengar dua perempuan yang saling: saling menangis, saling bercumbu, kemudian saling tertawa. Di mata mereka, ada bara-bara api yang tidak seharusnya, tidak sepatutnya.
–
VI. Dua Perempuan yang Saling
Kita masih tertawa-tawa. Kuperhatikan dari mana datangnya bara api yang memantul pada bola matamu, dan begitu juga aku. Selain jatuh cinta, rupanya, dia datang dari rumah yang perlahan-lahan raib dimakan api di depan bangku panjang di halaman belakang. Api yang bangkit dari apa, kiranya? Hancur dan habis, aku mendengar orang-orang mulai berteriak, bertanya-tanya, dan ribut. Sayangku, bagaimana jika ditemukan batang-batang korek api yang pada sisa kayunya ada kita? Kamu tersenyum, kita tentu akan menjadi seberkas berita. Seseorang yang malang akan bersaksi. Gerangan, tidak ada api yang lebih mencurigakan dan mengkhawatirkan, kecuali kita yang sama-sama perempuan dan saling.
*****
Editor: Moch Aldy MA