Dalam diskusi bertema spiritual di acara Anugerah Cerpen Kompas 2021, Joko Pinurbo menyampaikan uraian konsep religiositas dalam karya sastra tanah air. Ia membagikan istilah penting yang digunakan Romo Mangun dalam buku Sastra dan Religiositas, yaitu ateisme kaum beragama. Jokpin mengungkapkan sekiranya fenomena ateisme kaum beragama (AKB) ialah kaum atau orang yang beragama secara formal; mereka yang memercayai Tuhan dan memercayai Tuhan hidup dalam diri dan kehidupan mereka, tetapi perbuatannya seakan-akan mencerminkan Tuhan tidak ada. Ini sebetulnya sindiran terhadap panasnya isu agama di Indonesia maupun seluruh dunia beberapa tahun terakhir. Mulai dari ketakutan akan simbol-simbol, kritik terhadap kebebasan, ujaran kebencian, aksi persekusi, politik identitas, diskriminasi kelompok, hingga yang paling brutal genosida dan teroris yang konon membawa-bawa nama agama.
Mendengar istilah ‘ateisme kaum beragama’, saya akui, saya belum familiar dengan istilah ini. Tetapi, agaknya, AKB bukanlah sebuah gagasan yang baru dan asing lagi buat saya pribadi. Hampir begitu mudah menemukan komentar para teis setiap kali terjadi kasus-kasus berkaitan dengan agama. Misalnya, ketika ramai berita kejahatan oleh teroris, segera akan muncul tanggapan berduyun-duyun dari kaum teis kalau teroris tidak punya agama. Teroris itu ateis. Teroris itu bukan cerminan agama. Atau misalnya peristiwa genosida yang dipicu oleh pemimpin umat suatu agama. Lagi-lagi muncul pula pembelaan, bahwa itu cuma perbuatan orang ateis yang berkedok agama. Semua itu, kata mereka, dilakukan semata-mata demi memuaskan hasrat pribadi pelaku, bukanlah membawa misi agama yang mengajarkan kasih dan damai. Pembelaan demi pembelaan terus dilontarkan oleh para teis. Dan seperti biasa, ateis selalu dijadikan biang keroknya. Mereka lupa, ateisme tidak terpaut pada dogma. Ateisme adalah negasi dari agama. Para ateis meniadakan Tuhan sehingga mereka hidup untuk berfokus mengejar makna diri; tak mengemban misi suci apa-apa, apalagi meluaskan dogma dan mengancam orang-orang karena alasan itu.
Labelisasi ateis
Saya merasa fenomena labelisasi ateis ini merupakan suatu komedi hipokrit oleh kaum beragama. Dan ini sangat lucu. Lucu karena ungkapan semacam itu bisa-bisanya lahir dari pikiran-pikiran orang dewasa sekaligus kaum intelektual di abad semodern sekarang. Mereka seakan tutup mata kalau gagasan agama membawa perdamaian terkadang kontradiksi dengan pengalaman yang mereka hadapi sehari-hari. Kekacauan, kebencian, dan kekerasan sebagian kerap kali dipicu oleh isu agama. Meskipun di sisi lain, agama jugalah yang mengajarkan manusia persatuan, tolong-menolong, dan kasih sayang.
Membahas tentang AKB, mendadak saya jadi teringat kejadian menggelikan minggu lalu. Saya tak sengaja menyaksikan anak kecil tersandung sandal jepit di jalan aspal. Sontak saja anak itu menangis tersedu-sedu karena siku dan lututnya lecet. Barangkali juga karena merasa malu ditertawakan orang-orang di sekitar tempat itu. Apa yang membuat saya hampir ikut-ikutan meledak tertawa?
Alih-alih ibunya menjelaskan bahwa lain kali si anak perlu berhati-hati saat berjalan, malah wanita itu menghibur si anak dengan memaki-maki sandal jepit lantas melemparkan sandal jepit itu ke parit. Sandal jepit tetaplah sandal jepit. Itu hakikatnya benda mati yang tidak akan memprotes bahkan jika dia dibakar sampai berubah hangus.
Kondisi ‘sandal jepit dan bocah terjatuh’ tadi betapa pun begitu mirip dengan labelisasi AKB. Kita begitu mudah mencuci tangan dan menunjuk kesalahan ‘ke luar’ dari diri kita, semata-mata demi menahan ego dan rasa takut seandainya menyakiti harga diri kita sendiri, harga diri sebagai umat beragama. Pelabelan AKB, secara tidak sadar, merupakan usaha penyangkalan kaum teis (yang di dalamnya ada saya) agar bisa menyingkirkan kelompok yang tidak sejalan dengan nilai positif-positif yang kita akui dan kita anut.
Pelabelan ini seolah menampik bahwa ‘beberapa’ penganut agama itu berasal dari rahim yang sama. Tidak berdoa kepada Tuhan yang sama. Tidak membaca kitab suci yang sama. Mereka dialienisasi dan dilabeli AKB. Dan sebaliknya, para AKB sudah pasti mempunyai julukan tersendiri bagi umat beragama yang tidak selaras dengan nilai-nilai dan cita-cita mereka. Malahan, bagi mereka agama adalah segala-galanya. Kecintaan mereka pada agamalah yang membuat mereka tahan dan sanggup melakukan apa pun, meskipun harus bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Sebab, bagi mereka, dogma itu tak boleh dibantah dan ditawar-tawar, bahkan di beberapa kasus, banyak pelaku yang mengakui terang-terangan alasan mereka berani berkorban demi membela Tuhan dan orang yang mereka sucikan. Lantas, layakkah mereka ini dilabeli AKB? Di manakah letak kesamaannya dengan kaum ateis?
Saya pribadi benar-benar merasa malu bila melihat tindak-tanduk oknum beragama yang tega melakukan perbuatan yang tidak terpuji, apalagi sampai melanggar hak-hak orang lain. Mereka terang saja mencoreng citra agama. Namun, saya tidak pernah mengatakan bahwa mereka bukanlah bagian dari agama. Saya tidak pernah menganggap mereka berada di luar lingkaran agama. Melabeli dan menuduh mereka sebagai bagian dari ateisme itu hanyalah bentuk ketidakdewasaan kita dalam beragama. Padahal, sesalah-salahnya mereka itu tetap saja bagian dari kaum teis.
Mereka mungkin menempatkan agama sebagaimana kemampuan daya nalar mereka, sebagaimana kedalaman pikiran mereka dan kesanggupan akal mereka mencerna ajaran-ajaran yang ada, atau sebagaimana kesesuaian dengan cita-cita mereka. Pendek kata, mereka beragama dengan cara mereka sendiri (meskipun sering dikatakan radikal dan menyimpang). Begitu pula kita beragama sesuai pilihan, yakni mengedepankan nilai-nilai kebaikan, mengerjakan kebajikan, mencerdaskan spiritual, dan menghargai kemajuan zaman.
Baca juga:
Pelabelan yang Menipu
Jadi, jelas terlalu terburu-buru bila kita mengamini AKB itu bukan penganut agama, sekelompok orang bertopeng agama, dan paling kronis mengateiskan mereka. Pada dasarnya, pelabelan itu menipu diri kita sendiri. Menganggap suatu agama tanpa cacat cela dan sepenuhnya sempurna justru sumber dari bahaya yang sesungguhnya. Kita tidak boleh lupa sekiranya “ragam bentuk” penganut dengan segala kelebihan dan kekurangannya itu ialah produk dari agama. Jika mengatakan agama tidak bisa dicerminkan dari penganutnya, lalu dari apa? Kitab bukanlah benda hidup. Kitab hanyalah kata-kata yang tidak punya peran jika tak dijalankan oleh penganutnya.
Kini, mari kita lihat dengan mata kepala sendiri, lihat sekeliling, benarkah para ateis—yang kita anggap tak percaya Tuhan—itu yang telah banyak membunuh manusia begitu mudahnya? Apakah para ateis yang konon percaya bahwa alam semesta dimulai dari ketiadaan dan tanpa campur tangan ilahi sepenuhnya bertanggung jawab dalam mengajak sesama saling memersekusi? Kelompok manakah dewasa ini yang paling menentang ide-ide kesetaraan HAM? Konflik atas isu apa yang paling tidak pernah selesai sampai sekarang?
Saya tidak mengatakan kalau menjadi ateis maka seseorang terbebas dari keburukan-keburukan para teis. Justru yang hendak saya katakan, baik teis maupun ateis sama-sama dapat terjerumus ke dalam lubang serupa. Daripada kita sibuk menunjuk kening dan bermain lempar batu sembunyi tangan, mengapa tak sebaiknya kita berkontemplasi dan berwawas diri. Benarkah AKB adalah kelompok yang tidak taat menjalankan agama dengan benar? Atau jangan-jangan kitalah—yang merasa bukan AKB hari ini—sesungguhnya penganut agama yang kurang taat?