Sering kali kita melihat kasus pelecehan seksual dilakukan oleh laki-laki. Akan tetapi, tidak sedikit juga dari mereka yang menjadi korbannya. Laporan studi kuantitatif barometer kesetaraan gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID pada tahun 2020 menunjukkan 33% laki-laki mengalami kekerasan seksual baik dari lawan jenis ataupun sesama jenis. Sedangkan hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menunjukkan pada tahun 2017 sebanyak 8,3% anak laki-laki berumur 13-17 tahun mengalami kekerasan seksual. Jumlah ini dua kali lipat dibanding kekerasan seksual terhadap anak perempuan yang menyentuh angka 4,1%. Lalu berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.
Minimnya Perhatian Publik
Data mengenai kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki di atas justru berbanding terbalik dengan respons masyarakat dan berita yang ditayangkan di media. Bisa dibilang perhatian masyarakat dan media mengenai kekerasan seksual yang dialami laki-laki masih sangat kurang. Masyarakat, terlebih kalangan laki-laki sendiri merasa bahwa mereka tidak seharusnya merasa dilecehkan. Hal ini membuat mereka akhirnya memilih bungkam. Besarnya pengaruh maskulinitas menjadi salah satu pemicu anggapan bahwa laki-laki tidak seharusnya merasa dilecehkan. Para laki-laki kebanyakan merasa bahwa laki-laki korban pelecehan itu cupu dan lemah karena tidak bisa melawan. Hal ini didasari oleh kondisi fisik laki-laki yang terbilang lebih kuat jika dibandingkan dengan perempuan.
Baca juga:
Beberapa waktu lalu, berita tentang kasus pelecehan seksual datang dari dunia industri hiburan K-Pop oleh salah satu anggota boy group OMEGA X yang berada di bawah naungan Spire Entertainment. Pelecehan yang terjadi meliputi pemaksaan untuk meminum minuman beralkohol, pelecehan seksual dengan menyentuh wajah, paha, dan tangan, bahkan ancaman verbal berupa aksi bunuh diri oleh pelaku. Kasus ini menyuguhkan fakta bahwa dunia industri menjadi salah satu ruang penyumbang kekerasan seksual terbesar terhadap laki-laki.
Tidak hanya itu, kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan pun bisa dialami oleh laki-laki dengan perempuan sebagai pelakunya. Hal ini dibuktikan dengan satu kasus yang terjadi di Probolinggo, Jawa Timur, pada tahun 2021 lalu. Seorang laki-laki berumur 16 tahun diperkosa oleh perempuan berusia 28 tahun. Belum selesai sampai di sana, pada tahun yang sama pun beredar kasus perundungan serta pelecehan seksual yang dialami salah satu karyawan laki-laki di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Laki-Laki juga Rentan
Kekerasan seksual terhadap laki-laki juga memberikan dampak yang luar biasa. Kasus tersebut bisa menyebabkan trauma dan mengganggu psikis korban. Bahkan apabila kekerasan seksual terjadi pada anak laki-laki, hal ini akan mengganggu perkembangan psikologisnya. Tidak hanya ancaman akan terjangkit penyakit menular seksual, kasus kekerasan seksual ini juga memberikan dampak sosial yang membuat korban menjadi rentan depresi serta merasa kehilangan maskulinitasnya. Dampak lain yang akan dirasakan adalah meningkatnya probabilitas tindakan bunuh diri.
Baca juga:
Kekerasan Seksual Tidak Memandang Gender
Kekerasan seksual tidak memandang gender. Pelakunya tidak selalu laki-laki dan korbannya pun tidak selalu perempuan. Kekerasan seksual bisa terjadi dengan laki-laki sebagai korban dan perempuan sebagai pelaku, bisa juga terjadi antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Stereotip maskulin yang ada di masyarakat tidak bisa dijadikan tameng bagi para laki-laki untuk merasa aman dengan kondisi seperti sekarang. Maskulinitas yang dibangun oleh masyarakat terhadap laki-laki akhirnya melanggengkan kekerasan seksual. Mereka dituntut untuk menyimpan dan tidak melaporkan peristiwa yang terjadi, ditambah dengan ketakutan akan dihakimi dan ketidakpercayaan karena mereka mengemban status sebagai laki-laki dalam struktur sosial masyarakat.
Sering dikaitkannya laki-laki dengan sesuatu yang berbau seksual membuat mereka dianggap tidak mungkin mengalami kasus pelecehan seksual. Banyak anggapan bahwa alih-alih merasa dilecehkan, mereka seharusnya menikmati momen tersebut. Sekarang sudah saatnya untuk menghilangkan stereotip mengenai kekerasan seksual terhadap laki-laki. Jarang terlihatnya kasus serupa bukan berarti kasusnya tidak banyak dan tidak berdampak. Pondasi dari edukasi mengenai kekerasan seksual juga harus dikuatkan agar tidak ada lagi stigma yang berdampak buruk terhadap para penyintas.
Editor: Prihandini N