Meracik tulisan menjadi obat sebab ketidaktahuan seringkali menyakitkan.

Setop Menikahkan Korban Pemerkosaan dengan Pelaku!

Khoiriyasih

2 min read

Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan berita oknum polisi menikahkan secara paksa korban pemerkosaan dengan salah satu pelaku yang terjadi di salah satu kementerian. Pasalnya, selain timbul relasi kekerabatan dan upaya lobi-lobi damai yang dilakukan oleh pelaku, polisi turut menjadi mediator dalam penyelesaian kasus pemerkosaan tersebut. Kasus menikahkan korban dan pelaku pemerkosaan menandakan bahwa hak-hak dan kebutuhan korban sangat diabaikan oleh polisi yang menangani.

Pemerkosaan merupakan salah satu dari sembilan jenis kekerasan seksual. Selain menimbulkan penderitaan fisik dan psikologis, pemerkosaan juga dapat berdampak pada kondisi ekonomi dan masa depan korban. Belum lagi korban pemerkosaan bisa terpapar risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi penyakit menular seksual. Berbagai macam risiko berlipat ganda menjadi garis bawah agar korban mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang tertuang dalam UU TPKS.

Solusi menikahkan korban dengan pelaku tidak hanya merampas hak-hak korban, tetapi juga cacat logika yang menunjukkan betapa sistem hukum di Indonesia minim dari keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual.

Korban Butuh Perlindungan Bukan Pernikahan 

Selama ini, saya mengamati betapa anehnya pemikiran orang-orang yang menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaan. Seperti yang dapat diketahui, alasan pernikahan itu agar menjaga nama baik keluarga, demi kebaikan ekonomi keluarga ke depan, atau agar permasalahan cepat selesai dan tidak naik ke ranah hukum. Berbagai alasan pernikahan korban dan pelaku pemerkosaan disebutkan satu per satu, akan tetapi tidak ada satu pun yang merangkul korban.

Tawaran dan desakan keluarga sering menyudutkan korban dan menempatkan korban pada posisi paling rentan. Jadi mau tidak mau korban harus menuruti keinginan keluarga, apalagi ada campur tangan polisi yang memaksa korban menikah dengan pelaku pemerkosaan. Keberadaan polisi seharusnya fokus pada penyelesaian hukum antara korban dan pelaku, bukan untuk menyebabkan korban takut akan ancaman dan beban ganda lainnya.

Baca juga:

Perlindungan adalah kebutuhan korban adalah hal paling penting. Mulai dari perlindungan fisik, psikologis, ekonomi, serta perlindungan dari segala bentuk ancaman yang menyebabkan korban rentan mengalami beban berlapis. Perlindungan sering tersingkirkan dari berbagai tawaran yang cenderung mengutamakan kondisi lingkungan atau keluarga. Misalnya ketika perlindungan korban tersingkirkan akibat keluarga menginginkan nama baiknya tidak tercemar.

Korban pemerkosaan tidak memerlukan pernikahan sebagai sebuah solusi. Pernikahan dengan pelaku justru akan menimbulkan masalah dan beban baru bagi korban. Bagaimana tidak, korban dinikahkan dengan pelaku yang jelas-jelas memberikan luka dan trauma bertubi-tubi. Hal ini menjadi kesalahan besar karena memberikan peluang kekerasan seksual itu terulang kembali. Sayangnya, banyak pihak tidak memperhatikan. Trauma korban diabaikan dan pemulihan tidak segera didapatkan. Mereka yang berinisiatif menikahkan korban dan pelaku selalu terdoktrin pemikiran agar nama baik tidak tercemar atau masalah korban dan pelaku lekas selesai.

Pernikahan Korban dan Pelaku Pemerkosaan Harus Dilawan 

Sebagai pembaca linimasa berita, saya sering merasa kalau kasus kekerasan seksual adalah isu sensitif yang harus direfleksikan sekaligus dikritisi. Apalagi mengingat hukum di Indonesia tidak ramah terhadap korban kekerasan seksual. Rasanya perlawanan terus berkecamuk dalam pikiran. Dulu, ada satu pertanyaan ketika ingin melawan kebiasaan buruk menikahkan korban dan pelaku pemerkosaan, “saya memiliki kekuatan dan kedekatan seperti apa dengan korban untuk melawan?”

Ternyata, ada banyak jalan untuk melawan budaya buruk tersebut. Pernikahan korban dan pelaku pemerkosaan tidak menimbulkan manfaat sama sekali untuk korban. Hal tersebut justru menjadi mudarat  yang menyebabkan korban semakin tersiksa. Hal ini yang kemudian saya jadikan frame pemikiran, bahwa keberpihakan kepada korban adalah modal utama untuk mengibarkan perlawanan terhadap praktik menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaan.

Logika berpikir jangan menjadi timpang hanya karena masih ada orang-orang di luar sana yang menginginkan namanya terus harum dan membungkam korban pemerkosaan melalui pernikahan. Kita harus membersihkan kepala dari pikiran-pikiran yang menganggap pernikahan adalah jalan tempuh solutif untuk kasus pemerkosaan. Ketika seseorang di sekitar kita mengalami seksual, kita bisa menawarkan bantuan yang dapat memenuhi kebutuhan korban. Kita juga perlu turut serta mencarikan perlindungan alternatif untuk korban. Bisa berupa mencarikan ruang aman atau pendampingan psikolog atau psikiater. Namun, yang paling utama dari uluran tangan kita adalah rasa empati agar korban merasa dilindungi dan mendapat dukungan pemulihan dari orang terdekatnya sendiri.

Jika merefleksikan kasus polisi yang menikahkan paksa korban dengan pelaku pemerkosanan, bisa ditebak betapa minimnya rasa empati yang mereka miliki. Sistem hukum ‘damai’ justru berdampak buruk bagi korban pemerkosaan. Ini juga menjadi catatan merah pentingnya implementasi UU TPKS di semua elemen. Pernikahan tidak pantas dijadikan solusi dalam menangani kasus pemerkosaan. Apa pun jenisnya, kasus kekerasan seksual harus dituntaskan seadil-adilnya untuk korban. Hukuman pelaku harus dijalankan sebagaimana mestinya keinginan korban dan naskah dalam undang-undang yang berlaku.

 

Editor: Prihandini N

Khoiriyasih
Khoiriyasih Meracik tulisan menjadi obat sebab ketidaktahuan seringkali menyakitkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email