Aktor dan bintang iklan Kim Seon Ho yang meraih popularitas atas perannya di drama Korea Start Up dan Hometown Cha-Cha-Cha melakukan kekerasan seksual terhadap mantan kekasihnya. Berdasarkan pengakuan korban, Kim Seon Ho memaksa dan memanipulasi korban untuk melakukan aborsi yang berisiko. Tidak hanya itu, sebelumnya, Kim Seon Ho juga memaksa korban berhubungan seks tanpa pengaman.
Kim Seon Ho pun telah mengaku memaksa korban melakukan aborsi. Permintaan maaf itu disampaikan kepada publik secara tertulis melalui surat terbuka. Agensi Kim Seon Ho, Salt Entertainment, turut meminta maaf dan tidak membantah laporan bahwa artis mereka telah melakukan kesalahan. Seluruh kontrak dan aktivitas Kim Seon Ho di industri hiburan dibatalkan menyusul rilis pernyataan tersebut.
Untuk sudut pandang lebih lengkap tentang kekerasan seksual:
- Kekerasan Seksual Pesantren Shiddiqiyyah: Saya Dianiaya dan Diancam UU ITE
- Pesantren Darurat Kekerasan Seksual
- Tak Ada Toleransi untuk Predator Seksual
Belum ada kejelasan apakah kasus ini akan berlanjut hingga ke ranah hukum. Akan tetapi, segala pembatalan kontrak, penarikan dukungan, dan boikot yang ditujukan kepada Kim Seon Ho setidaknya adalah bentuk sanksi sosial dan komitmen untuk tidak memberi panggung pada pelaku kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual oleh Kim Seon Ho ini tentu mengejutkan para penggemar drama Korea. Selama ini, Kim Seon Ho sering kebagian jatah memerankan karakter laki-laki baik-baik. Banyak penggemar yang kecewa dan merasa tertipu oleh image baik Kim Seon Ho di depan kamera. Namun, tidak sedikit pula penggemar yang masih mendukung dan membela Kim Seon Ho.
Bukan Kali Pertama
Kasus Kim Seon Ho bukan yang pertama di industri hiburan Korea Selatan. Masih segar di ingatan publik, terkuaknya skandal Burning Sun yang menyeret banyak pesohor Korea Selatan seperti penyanyi Jung Joon Young, Seungri BIGBANG, Yong Jun Hyung eks-Highlight, dan Jong Hoon eks-FT Island pada tahun 2019. Kekerasan seksual dalam skandal ini meliputi pemerkosaan, pelacuran paksa, dan penyebaran konten seksual yang diambil tanpa sepengetahuan para korban. Hampir tiga tahun berlalu, publik masih belum puas dengan tindak lanjut skandal Burning Sun oleh otoritas Korea Selatan. Pasalnya, ada banyak orang penting dalam skandal ini yang berhasil menghindar dari jerat hukum karena kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki.
Selanjutnya, kasus kekerasan seksual oleh Park Yoo Chun, aktor sekaligus anggota boyband JYJ, terhadap empat perempuan pada tahun 2016. Park Yoo Chun sempat menuntut balik keempat korban yang telah berani melapor atas dasar tuduhan palsu. Tindak lanjut kasus ini sempat ditangguhkan sampai Park Yoo Chun selesai menjalani wajib militer pada tahun 2017. Pada tahun 2018, salah satu korban menuntut balik Park Yoo Chun dan menang. Park Yoo Chun dikenai sanksi ganti rugi sebesar 100 juta won kepada korban yang baru berhasil ia lunasi pada Januari 2021.
Kasus kekerasan seksual juga menjerat mantan anggota boyband Stray Kids, Kim Woo Jin, pada tahun 2019. Kasus ini terungkap ketika salah satu korban buka suara melalui cuitan di Twitter. Setahun kemudian, Kim Woo Jin buka suara perihal kasus ini dan menyatakan bahwa ia tidak bersalah. Agensi yang menaunginya, JYP Entertainment dan 10x Entertainment, turut mengupayakan penghentian kasus ini dengan membantah dan merilis bukti-bukti yang melemahkan laporan bahwa Kim Woo Jin telah melakukan kekerasan seksual. Belakangan, Kim Woo Jin kembali menuai kecaman publik karena merilis video klip yang menampilkan cuitan korban kekerasan seksual yang melibatkan dirinya.
#MeToo dan Peran Agensi
Satu korban saja rasanya sudah terlalu banyak. Namun kenyataannya, kasus kekerasan seksual terus ada, bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Gelombang gerakan #MeToo berhasil mendorong lebih banyak orang dari seluruh penjuru dunia untuk buka suara perihal kekerasan seksual yang pernah mereka alami, tidak terkecuali Korea Selatan.
Pasca skandal Burning Sun mengemuka, semakin banyak warga Korea Selatan yang bergabung ke gerakan #MeToo dengan membagikan pengalaman kekerasan seksual yang menimpa mereka. Hal ini kemudian mengungkap kondisi darurat kekerasan seksual di Korea Selatan yang sebagian besar berupa kasus “molka” atau “kamera tersembunyi”, yakni tindak perekaman dan penyebaran konten seksual tanpa konsensus. Pelaku, terlepas dari status sosialnya sebagai pesohor maupun orang biasa, harus dibuat merasa tidak aman, apalagi bisa melanjutkan hidup dengan nyaman seakan tidak punya beban moral setelah melakukan tindak kekerasan seksual.
Selama ini, agensi yang menaungi pesohor-pesohor industri hiburan Korea Selatan memegang peran penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual oleh selebritas. Agensi berwenang mengadakan penyelidikan secara privat atas laporan kekerasan seksual yang melibatkan artisnya hingga merilis pernyataan yang membantah atau mengonfirmasi kebenaran laporan tersebut, sebelum akhirnya laporan ditindaklanjuti oleh otoritas Korea Selatan.
Andil agensi dalam penanganan laporan kekerasan seksual oleh selebritas ini layak dipertanyakan akuntabilitasnya. Apakah agensi benar-benar melakukan penyelidikan secara bertanggung jawab? Atau justru mengintimidasi korban dan memutarbalikkan fakta dengan embel-embel melakukan penyelidikan?
Publik tidak pernah tahu apakah agensi menjalankan wewenangnya secara bertanggung jawab dan berperspektif korban atau sebaliknya.
Bagaimana pun, agensi dapat dikatakan berada di pihak si artis yang selama ini mendatangkan keuntungan bagi mereka. Tidak menutup kemungkinan, agensi akan mengupayakan segala cara untuk membersihkan nama artisnya yang cemar karena melakukan kekerasan seksual. Agensi, terlebih agensi besar, punya sumber daya, koneksi, dan pengaruh yang siap dikerahkan untuk menutupi kasus kekerasan seksual artis mereka.
Fakta ini semakin menunjukkan pentingnya untuk mengutamakan berpihak pada penyintas yang berani buka suara perihal kekerasan seksual oleh artis. Hindari perbuatan yang mendiskreditkan pengalaman penyintas, apalagi sampai merundung penyintas demi membela artis idola. Sebab, berbeda dengan si artis, penyintas sering kali tidak memiliki sistem dukungan yang kuat saat hendak memperjuangkan keadilan bagi dirinya.
Ketahui lebih banyak tentang ketidakadilan dalam penanganan kasus kekerasan seksual:
4 paragraf pertama patah ya argumennya. sudah ada bukti-bukti lain yang menunjukkan fakta sebaliknya. ini lebih mirip amber heard ke jhonny depp. berani buat artikel lanjutannya kah?