Bagaimana jika tempat yang seharusnya mengajarkan ilmu agama, kebaikan, dan moralitas, seperti pesantren, justru menjadi tempat yang paling tidak aman dari kejahatan seksual?
Dari penelusuran Omong-Omong, dalam satu tahun terakhir saja setidaknya terbongkar enam kasus kekerasan seksual yang menimpa para santri di berbagai wilayah Indonesia. Di Kabupaten Tebo, Jambi seorang pemimpin pondok pesantren melakukan kekerasan seksual terhadap enam orang santri perempuan. Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, seorang santri perempuan melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya ketika menuntut ilmu di pondok pesantren NHAB. Pelakunya adalah salah satu guru laki-laki yang mengajar di pondok pesantren tersebut.
Kekerasan seksual di lingkungan pesantren tidak hanya menimpa santri perempuan, tetapi juga santri laki-laki. Di kabupaten Aceh Utara, Aceh, dan kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, terjadi tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru pesantren terhadap belasan santri laki-laki.
Tidak semua kasus kekerasan seksual di pondok pesantren terbongkar – bahkan kalaupun sudah dilaporkan belum tentu diproses hukum. Sebagaimana kesaksian Ayu Masruroh atas kekerasan seksual terhadap belasan santri perempuan di pondok pesantren Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur, oleh anak pendiri pesantren yang sudah terjadi sejak 2017.
Kasus-kasus ini sampai ke masyarakat karena ada korban atau saksi yang berani bicara, yang kemudian disebarluaskan oleh media. Masalahnya, tak banyak korban bisa bersuara. Kebanyakan korban pasti trauma dan ketakutan untuk mengungkapkan apa yang mereka alami. Pelaku pasti adalah orang yang lebih punya kuasa, dalam relasi paling sederhana, ketika korban seorang santri, pelakunya adalah guru atau pemilik pesantren.
Ditambah lagi fakta bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang berkuasa secara kultural, modal, maupun politik. Kasus kekerasan seksual di pondok pesantren Shiddiqiyyah adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan pelaku dan keluarganya bisa membuat proses hukum berhenti (Kebal Hukum: Kejanggalan Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren Shiddiqiyyah), pelaku bebas, dan justru yang melaporkan dipersekusi.
Santri yang berani bersuara juga kerap mendapat stigma dari masyarakat. Bahkan, tidak jarang pengalaman mereka dimentahkan semata-mata karena masyarakat menolak percaya bahwa tokoh-tokoh yang dipandang sebagai ahli agama itu bisa melakukan tindak kekerasan seksual.
Dari sisi hukum, upaya membawa laporan kekerasan seksual tersebut ke meja hijau sering berhadapan dengan keterbatasan aturan hukum yang mengatur tindak kekerasan seksual, serta syarat berupa barang bukti dan saksi mata terjadinya tindak kekerasan seksual.
Tantangan lain datang dari pihak pelaku yang lagi-lagi memanfaatkan kuasa dan pengaruhnya untuk memengaruhi tindak-tanduk aparat penegak hukum dalam menangani laporan kasus kekerasan seksual. Kondisi-kondisi seperti ini membuat kasus kekerasan seksual dapat dengan mudah ditutupi dan dilupakan andaikata tidak ada pihak-pihak yang senantiasa tabah memperjuangkan keadilan bagi para penyintas.
Dalam situasi ini, ada santri-santri yang terus berupaya membangun keberanian dan keteguhan bersuara melalui inisiatif-inisiatif untuk membangun ruang aman bagi para santri. Salah satu dari inisiatif tersebut adalah Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (ForMujeres). Tidak hanya mengadvokasikan agenda anti kekerasan seksual, ForMujeres juga aktif memperkenalkan gagasan kesetaraan di kalangan santri. Ide-ide ini menjadi modal penting untuk menjadikan pesantren ruang aman bagi siapa saja yang hendak menuntut ilmu agama, bebas dari ancaman kekerasan seksual yang membayang-bayangi. Komunitas ini juga aktif mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekeraasan Seksual versi sebelum direvisi menjadi RUU TPKS hingga usaha menyebarkan kesadaran bersama akan adanya ancaman kekerasan seksual di institusi pesantren.
Membaca pemberitaan tentang kekerasan seksual yang menimpa para santri sangat menyakitkan hati. Menyelami pemberitaan tersebut membangkitkan amarah dalam diri, terlebih jika pelaku kekerasan seksual adalah figur-figur berkuasa yang seakan kebal hukum karena punya pengaruh kuat di dalam lingkungan pesantren maupun di masyarakat. Hal ini seharusnya mempermalukan para guru agama, ustaz dan kyai serta umat Islam di seluruh Indonesia.
Sudah sangat mendesak untuk pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, melakukan reformasi terhadap sistem pengajaran pesantren dan sistem asrama secara umum. Sudah sangat darurat untuk DPR segera mengesahakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi undang-undang.
Organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah, seperti KOMNAS HAM, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga harus segera turun tangan berkolaborasi merancang sistem nasional pencegahan terhadap kejahatan seksual di sekolah-sekolah agama seperti pesantren-pesantren dan sekolah berbasiskan pesantren.
Dalam kasus kekerasan seksual ini kita harus bersepakat bahwa satu korban saja sudah terlalu banyak dan jangan tunggu sampai jatuh korban baru lagi. Pesantren sudah darurat kekerasan seksual.
Semangat kak, kebenaran akan menang, kedhzoliman akan kalah