Krisis iklim kini benar-benar sudah terjadi. Gelombang panas yang terjadi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, pada bulan April hingga Mei tahun ini adalah salah satu fakta yang tidak bisa dibantah lagi. Krisis iklim kini telah menjadi ancaman terbesar yang ada di depan hidung kita.
Terkait dengan itu, penyebab utama krisis iklim harus dihilangkan, atau paling tidak dikurangi. Penyebab krisis iklim adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK). Bahan bakar fosil adalah sumber utama dari emisi GRK itu. Penggunaan energi fosil harus digantikan dengan energi terbarukan.
Mengganti energi fosil ke energi terbarukan tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Beruntunglah kemudian Indonesia memperoleh ‘bantuan’ pembiayaan untuk transisi energi. Indonesia memperoleh komitmen pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar sekitar Rp300 triliun pada tahun lalu. Pertanyaannya, bagaimana bila ternyata wajah program transisi energi itu ternyata bopeng sebelah?
Publik Menanggung Kerugian
Sebagai pembayar pajak, publik pada akhirnya akan menanggung kerugian dari wajah bopeng sebelah transisi energi dalam JETP tersebut. Telebih bila istilah ‘bantuan’ pembiayaan untuk transisi energi hanya penghalusan dari istilah utang. Bagaimana tidak, publik harus tetap membayar utang luar negeri untuk membiayai program transisi energi yang ternyata palsu.
Baca juga:
Di mana letak kepalsuan program transisi energi dalam JETP? Beberapa waktu yang lalu, Asian Development Bank (ADB) memublikasikan iklan untuk rekrutmen staf yang mengisi beberapa posisi di sekretariat JETP. Dalam iklan tersebut, disebutkan bahwa capaian salah satu posisi puncak di sekretariat JETP adalah menyukseskan program prioritas transisi energi JETP. Salah satu program prioritasnya adalah CCS (Carbon Capture and Sequestration). Lalu, apa itu CCS?
CCS merupakan salah satu teknologi yang diklaim mampu memitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).
Sekilas tidak ada persoalan dengan teknologi CCS ini. Namun, bila ditelisik lebih jauh lagi, CCS merupakan solusi palsu transisi energi.
Pertama, penggunaan CCS akan memperpanjang penggunaan energi fosil. Transisi menuju energi terbarukan akan diganjal dengan penggunaan teknologi CCS.
Kedua, CCS menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) lainnya. CCS menghasilkan emisinya sendiri, yang sering tidak diperhitungkan karena energi yang dikonsumsi dalam proses penangkapan. Laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengungkapkan bahwa kemampuan CCS untuk memberikan pengurangan emisi yang berarti dalam dekade berikutnya sangatlah rendah, sementara biayanya akan sangat tinggi.
Ketiga, penggunaan teknologi CCS sangat mahal dibandingkan dengan penggunaan teknologi untuk energi terbarukan seperti angin, air, dan matahari. Bila kemudian proyek CCS ini dipaksakan masuk dalam pembiayaan JETP, hanya akan menghamburkan uang yang sebagian diperoleh melalui utang luar negeri.
Publik tentu akan dirugikan bila transisi energi dalam JETP memaksakan solusi palsu CCS dalam proyek yang akan dibiayainya. Publik, melalui pajaknya, akan ikut membayar utang luar negeri untuk membiayai penggunaan teknologi CCS yang tidak efektif menurunkan emisi GRK ini.
Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, siapa yang diuntungkan bila CCS terus dipaksakan masuk dalam proyek yang dibiayai JETP? Jawabannya jelas industri energi fosil. Industri tersebut akan terus bisa beroperasi dengan penggunaan teknologi CCS yang pembiayaannya disubsidi skema JETP. Padahal, seperti diungkapkan sebelumnya, sebagian pembiayaan JETP ini adalah utang luar negeri. Dan itu artinya publik memberikan subsidi terhadap industri fosil tersebut.
Baca juga:
Menunggu Solusi
Wajah JETP yang bopeng sebelah ini tentu tidak bisa terus dipertahankan bila kita ingin transisi energi yang benar-benar berhasil di Indonesia. Pemerintah masih punya cukup waktu untuk mengeluarkan solusi palsu transisi energi dengan teknologi CCS ini dari proyek yang dibiayai JETP. Pembiayaan penggunaan teknologi CCS ini harusnya dibiayai oleh industri fosil, bukan dengan skema JETP yang sebagian adalah utang luar negeri.
Tentu sebagian pemilik modal di industri fosil menginginkan penggunaan teknologi CCS dibiayai dengan skema JETP, sebab itu artinya secara tidak langsung mereka mendapatkan subsidi dari publik untuk terus beroperasi dengan energi fosilnya. Hampir dipastikan ada lobi-lobi tingkat tinggi untuk terus memasukkan teknologi CCS dalam proyek yang dibiayai skema JETP.
Jika kemudian para pengambil kebijakan di pemerintahan lebih mengikuti lobi-lobi politik pemilik modal dengan memasukkan solusi palsu transisi energi CCS tersebut, dapat dipastikan transisi energi akan menemui kegagalan. Publik, sebagai pembayar pajak, hanya akan menanggung pembiayaan dari proyek gagal yang dibiayai oleh utang luar negeri itu.
Editor: Prihandini N
One Reply to “JETP, Wajah Transisi Energi yang Bopeng Sebelah”