Mendengar tahun 1998 apa yang terlintas di pikiran Anda? Demo mahasiswa yang berhasil menduduki gedung DPR, mundurnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, reformasi, atau krisis moneter?
Di tahun 1998 memang banyak sekali tragedi dan momen-momen besar yang terjadi di Indonesia. Selain kejadian-kejadian yang telah disebutkan, masih banyak tragedi lainnya yang sampai sekarang masih menyisakan misteri, seperti penculikan, penghilangan paksa, dan pembunuhan terhadap para aktivis, pembantaian terhadap etnis Tionghoa, dan yang sangat jarang diangkat oleh media adalah pembantaian terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai dukun santet di Banyuwangi.
Misteri pembantaian orang-orang yang dicurigai sebagai dukun santet di tahun 1998 inilah yang diungkap oleh seorang gadis belia bernama Sari.
Sari adalah tokoh rekaan dalam novel Perempuan Bersampur Merah karya Intan Andaru yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019.
Kisahnya bermula dari rasa penasaran dan dendam Sari. Sebab, bapaknya merupakan salah satu korban pembantaian itu.
Masih lekat benar dalam ingatan Sari wajah orang-orang kampung yang ikut menyeret dan membantai bapaknya hingga tewas. Sari tak pernah lupa bagaimana kondisi jenazah bapaknya saat dimandikan sebelum dikuburkan. Ingatan tersebut menyisakan trauma mendalam bagi Sari.
Berbekal ingatan tersebut, Sari mencatat nama-nama orang tersebut dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang telah lama menumpuk di kepalanya. Mengapa orang-orang tersebut tega memperlakukan bapaknya dengan sangat biadab? Sebab sepengetahuan Sari, bapaknya adalah orang baik, beliau tidak pernah mencelakai orang lain apalagi sampai membunuh.
Kalaupun bapaknya dianggap sebagai dukun, yang Sari tahu justru bapaknya banyak menolong warga dengan “ilmunya”. Salah satunya adalah dengan kemampuan bapaknya menyuwuk (mengobati dengan doa, jampi, atau mantra) anak yang sawanan (semacam kesurupan yang sering dialami anak kecil karena berada di luar rumah menjelang magrib). Selebihnya bapak Sari berprofesi sebagai buruh tani biasa dan pemburu kodok. Kemampuannya menyuwuk bukanlah pekerjaan utama, murni hanya untuk menolong. Bahkan, imbalan dalam bentuk apa pun selalu ditolak oleh bapaknya.
Dalam perjalanannya menyusuri nama-nama yang berada dalam catatannya, Sari justru menemukan hal yang berkebalikan dari sangkaannya. Dia justru melihat sisi baik dari orang-orang yang dicurigainya punya andil besar atas kematian bapaknya. Hanya saja benang merah dari orang-orang yang dicurigainya adalah mereka semua memiliki keluarga yang sakit parah dan misterius sebelum meninggal dunia.
Selain itu penulusuran Sari atas nama-nama yang dicurigainya, membawanya pada Mak Rebyak, yang merupakan seorang Gandrung.
Pertemuannya dengan Mak Rebyak pada akhirnya membuat Sari menjadi seorang penari Gandrung. Hal tersebutlah yang membawa banyak perubahan dalam hidup Sari. Tanpa disadari, perlahan Sari mulai bisa berdamai dengan kemalangan hidupnya. Bahkan Sari mulai memiliki semangat dan harapan yang baik akan masa depan. Selain kisah tentang pembantaian dukun santet, banyak hal menarik lainnya yang terdapat dalam novel ini.
Bahaya Stigma
“Kami tak pernah sama dengan orangtua kami. Kami manusia baru yang punya kehidupan baru dan pilihan yang baru. Kami tidak lahir membawa dosa ataupun kesalahan mereka di masa lalu. Seharusnya, kami tak dihakimi atas apa yang pernah mereka lakukan.”
Sari dan keluarganya termarjinalkan di kampungnya, setelah tragedi yang menimpa bapaknya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki (paman, bibi, dan sepupunya) meninggalkan kampung setelah peristiwa nahas tersebut. Bahkan kisah cintanya dengan Rama juga kandas akibat stigma “anak dukun santet” yang menempel pada dirinya.
Stigma juga dimunculkan pada tokoh lainnya, seperti Rama kecil yang hampir kehilangan kesempatan hidup karena dianggap hina, sebab lahir dari Ibu (Mbak Nena) yang tanpa suami. Juga Ahmad yang harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk menjadi tentara, sebab ternyata kakeknya dahulu merupakan anggota dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Budaya Suku Using
Intan Andaru yang merupakan orang asli Banyuwangi tidak menampik keberadaan dukun di tempat asalnya tersebut. Namun, yang menarik dari novel ini adalah kesalahpahaman terkait dukun santet.
Dari penuturan Intan Andaru dalam novelnya tersebut, dijelaskan bahwa dukun santet dalam pengertian Suku Using adalah ilmu untuk pengasihan (seperti jaran goyang, kebo bodoh, celeng kesrek, dll). Suku Using juga membagi ilmu gaib ke dalam 4 jenis, yaitu ilmu hitam untuk menyakiti, ilmu putih untuk mengobati, ilmu kuning untuk menambah wibawa, dan ilmu merah untuk pengasihan. Sedangkan, pengertian di masyarakat secara umum santet diartikan sebagai sebuah ilmu gaib untuk mencelakakan orang lain.
Bisa jadi miskonsepsi tersebut yang mengakibatkan pembantaian dukun terjadi sangat masif di Banyuwangi. Di samping itu, alasan lain yang menjadi spekulasi di masyarakat adalah terkait alasan politik dan keamanan di masyarakat.
Sampai saat ini belum ada pernyataan tegas dari pemerintah terkait pelanggaran HAM berat ini. Selain itu Intan Andaru juga banyak membahas tentang dunia Gandrung, juga penjelasan terkait perbedaan Gandrung dan penari Gandrung, serta keprihatinannya terkait Gandrung. Ada juga Geredoan, suatu ajang pencarian jodoh yang dilakukan oleh Suku Using, dan masih banyak budaya dan kebiasaan Suku Using lainnya yang dibahas dalam novel ini.
Promosi Kesehatan
Entah ini memang salah satu tujuan dari Intan Andaru yang memiliki latar belakang sebagai Dokter, atau terjadi secara tidak sadar. Di novel ini dalam beberapa bagian terdapat narasi berisi promosi kesehatan, terkait fungsi promotif dan preventif yang memang menjadi tugas tenaga kesehatan selain fungsi rehabilitatif dan kuratif.
Misalnya, penjelasan terkait pentingnya cuci tangan dan hubungannya dengan penyakit diare (cacingan) dan tifus. Selain itu ada juga pembahasan tentang pentingnya pendidikan seks usia dini, terkait masa-masa pubertas serta mitos-mitos yang ada di masyarakat.
Sebenarnya secara tidak langsung apa yang menimpa Sari dan keluarganya juga tak lepas dari mitos (prasangka) yang terjadi di masyarakat. Bagaimana masyarakat yang lebih mempercayai dukun dibanding ilmu kedokteran modern mengakibatkan prasangka jahat terhadap orang-orang seperti bapaknya Sari.
Sebenarnya masih banyak kisah-kisah menarik lainnya dalam Perempuan Bersampur Merah, seperti perjuangan ibunya Sari yang terpaksa memanggul peran ganda setelah kematian suaminya. Bagaimana kemampuannya untuk pulih dan cara mendukung Sari menghadapi keterpurukan dan traumanya setelah tragedi mengenaskan tersebut. Bagaimana kegelisahan Mak Rebyak terhadap dunia Gandrung. Kisah Mbak Nena yang terbuang dari keluarganya akibat melakukan seks bebas. Kisah cinta segitiga antara Sari, Rama, dan Ahmad, serta masih banyak lagi.
Cara Intan Andaru membangun alur cerita juga sangat menarik. Saya sempat menganggap kisahnya anti-klimaks pada saat memasuki bagian asmara antara Sari, Ahmad, dan Rama. Serasa tragedi tentang pembantaian dukun santet dan Gandrung hanya tempelan pemanis, untuk menarik minat pembaca. Namun, semua itu terbayar kontan saat memasuki dua bab terakhir, yaitu Rahasia dan Yang Terungkap.
Dua bab penutup tersebut benar-benar menggenapi kisah perjalanan Sari, meskipun akhir cerita dari Perempuan Bersampur Merah bersifat terbuka (open ending). Seperti kisah hidup yang sebenarnya, selalu memberikan banyak kemungkinan di masa depan.
***
Editor: Ghufroni An’ars