Tubuh bagi idol k-pop bukan hanya merupakan sarana aktualisasi diri yang kompleks, tetapi juga penunjang dan pemain peran yang krusial dalam melakoni pekerjaan mereka. Tubuh mereka lebih lekat pada fungsinya dalam dimensi publik sehingga kebanyakan penggemar tidak menyadari bahwa ranah personal-eksistensial tubuh idol tidak bisa dilanggar dan diganggu gugat oleh siapapun.
Hanya karena idol k-pop menyajikan penampilan menggunakan tubuh mereka, bukan berarti penggemar dapat seenaknya memperlakukan dan mengatakan berbagai hal tentang tubuh tersebut. Hanya karena idol k-pop menggunakan dimensi publik tubuhnya, bukan berarti penggemar dapat merangsek dimensi personalnya. Namun, banyak penggemar melanggar batasan ketubuhan para idol, misalnya berupa sexualizaton, pelecehan seksual, pornification, dan paksaan skinship.
Baca juga:
Sexualization terjadi ketika seseorang dianggap sebagai objek seks dan dinilai berdasarkan fitur fisik dan keseksiannya semata. John Lie dalam K-pop: Popular music, cultural amnesia, and economic innovation in South Korea (2015) dan Bohye Song dalam Seeing is Believing: Content Analysis of Sexual Content in Korean Music Videos (2016) mencatat bahwa sexualization mewabah di industri k-pop sejak awal tahun 2000-an dan memuncak sekitar tahun 2010. Dalam industri k-pop, sexualization tidak mengenal jenis kelamin; baik perempuan maupun laki-laki dapat menjadi korban.
Sexualization ini umumnya berupa lolita complex, dollification, standar kecantikan yang ketat, konsep artistik sensual yang eksesif, pemaksaan fantasi seksual penggemar atas idol dengan dalih “fan service”, serta penggunaan fetish, kink, dan fesyen erotis dalam produk k-pop. Lolita complex sangatlah mengkhawatirkan karena mewajarkan ketertarikan seksual terhadap perempuan usia belia. Dollification pun sama halnya; memaksa idol menjadi objek seksual yang submisif dan senantiasa “sempurna” seperti boneka. Salah satu dampak buruk sexualization yang sering luput dari pembahasan adalah normalisasi pelecehan seksual.
Pelecehan seksual adalah upaya dan tindakan seksual non konsensual, permintaan vulgar untuk pemenuhan hasrat seksual, dan bentuk ketertarikan seksual non konsensual lainnya; misalnya male gaze, catcalling, dan ujaran yang bernuansa seksual. Dalam konteks k-pop, pelecehan seksual terhadap idol sering dianggap sebagai konsekuensi pekerjaan. Padahal, para idol adalah performer; memberikan penampilan terbaik adalah bagian dari profesionalitas mereka.
Sayangnya, pelecehan ini terlampau sering berlalu tanpa konsekuensi berarti sehingga semakin marak terjadi. Hal ini tentu tidak lepas dari peranan perusahaan. Sementara penggemar harus menyadari pentingnya menjaga jarak dan menghargai privasi para idol, perusahaan yang memegang kendali atas produksi dan distribusi harus menghentikan tradisi toksik yang mengakar kuat dalam industri k-pop. Perusahaan harus berhenti memproduksi dan memasarkan imej idol yang sensual atau appealing secara seksual.
Apabila perusahaan memilih untuk terus memaksakan imej tersebut terhadap idol, maka hasilnya adalah pornification. Pornification adalah normalisasi tema dan penggambaran seksual yang eksplisit dalam kultur atau media arus utama.
McNair dalam buku Pornification: Sex and sexuality in media culture (2007) gubahan trio Paasonen, Nikunen, dan Saarenmaa menjelaskan bahwa penggambaran seks komersial tidak menembus media sebagai pornografi. Sebab, pornificafion ditandai dengan meningkatnya distribusi, penerimaan, dan pengabaian kevulgaran konten pornografi di media dan kultur populer. Contohnya adalah penggunaan tema seksual atau penggambaran aktivitas seksual dalam video musik populer. Pornification ini mewujud dalam berbagai bentuk yang dapat bersifat heteronormatif ataupun homoerotis. Dalam k-pop, contoh pornification dapat ditemukan dalam Tails oleh Sunmi, Love Shot oleh EXO, dan libidO oleh OnlyOneOf.
Tails dan Love Shot memuat apa yang dalam proses pornification disebut sebagai “predictable gendered poses and scenarios” heteronormatif yang dipengaruhi oleh pornografi soft-core. Tails, misalnya, menampilkan pose dan posisi tubuh yang sensual-provokatif.
Sementara itu, Love Shot mempertontonkan konsep yang mirip dengan cum shot, yakni penggambaran aksi “male ejaculation on a partner’s face or body“. Cum shot memiliki peranan sebagai bukti kepuasan seksual dan adegan penutup seks atau closure. Hal ini tergambar jelas dalam koreografinya. Tak hanya menggambarkan cum shot, koreografi lagu ini juga menampilkan “rhythmic pelvic thrusts” yang dalam buku Pornification dikatakan “have very much become ‘the air that we breathe’” alias telah menjadi hal lumrah.
Berbeda dari Love Shot yang mengusung konsep heteronormatif, libidO memiliki konsep yang homoerotis. libidO menunjukkan koreografi seksual yang mengundang melalui restrained skinship dan dominance exertion seperti hinted bondage play. Media besar Korea Selatan, Koreaboo, menulis bahwa libidO adalah salah satu pertunjukkan yang memiliki “provocative choreography that initiates physical contact between members”. Physical contact atau yang dikenal dalam fandom k-pop sebagai skinship ini dibutuhkan untuk menggambarkan adanya intimasi dan dialektika tubuh.
Skinship adalah kontak fisik atau sentuhan yang merepresentasikan kasih sayang. Skinship dalam k-pop dapat bersifat non-konsensual karena dilakukan demi profit dan dukungan penggemar. Karenanya, skinship tidak menjamin hubungan yang intim antaridol di balik kamera, pun tidak menjamin bahwa idol merasa nyaman dan aman saat yang melakukan skinship. Beberapa idol bahkan tidak ragu menolak permintaan skinship dari penggemarnya. Salah satu dari idol tersebut adalah Jin BTS.
Pada acara Golden Disc Awards ke-33 tahun 2019 lalu, Jin diminta MC untuk mencium pipi Taehyung. Menanggapi ini, Jin dengan gaya khasnya menjawab, “Ah, no! How can you say that?!” Meskipun telah mendengar respons Jin, MC tetap mendesak Jin. Dia mengatakan, “People (para penggemar) want it.” Lagi, Jin menolak dengan tegas, “So am I supposed to do all things people want? No, I won’t!” Ini memperlihatkan bahwa Jin tidak nyaman melakukan permintaan tersebut.
Contoh kasus lain terekam dalam video live Rei dan Junji OnlyOneOf. Mereka menjawab pertanyaan seorang penggemar di kolom komentar, “Is skinship ever uncomfortable for you?” Rei mengatakan, “I have never felt uncomfortable doing skinship,” sedangkan Junji menolak merespons dan dengan singkat mengatakan, “This is a livestream.” Seorang penggemar menginterpretasikan jawaban—serta gestur Junji dalam video—sebagai jawaban implisit, “I’m not really uncomfortable, but I just don’t really do it for y’all (para penggemar).”
Berlawanan dengan asumsi ini, video lain justru menunjukkan bahwa Junji pernah merasa tidak nyaman melakukannya karena dia tidak menyetujui skinship yang Nine, anggota lain OnlyOneOf, lakukan secara tiba-tiba. Sekali pun penggemar menangkapnya sebagai kelakar yang “OnlyOneOf banget”, video tersebut menangkap jelas betapa terkejut dan defensifnya Junji—mengindikasikan bahwa skinship itu adalah sebuah tindakan yang mengancam bagi Junji.
Baca juga:
Setiap tubuh memiliki dimensi publik dan dimensi personal-eksistensial yang tidak boleh dilanggar dan diganggu gugat oleh siapa pun. Namun, dalam konteks idol k-pop, tubuh sering kali kehilangan nilainya sebagai kepemilikan perseorangan. Tubuh menjadi komodifikasi milik publik. Konsekuensinya, para idol mengalami berbagai pengalaman tak mengenakkan yang disebabkan oleh tuntutan perusahaan dan ekspektasi penggemar.
Padahal, sebagaimana Amar Alfikar utarakan sampaikan dalam buku Queer Menafsir: Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan (2023):
“Tubuh adalah sesuatu hal yang given. Ia merupakan lokus, titik-titik perjumpaan, yang membentuk fondasi kehidupan, gerakan, tindakan dan kesadaran. Tubuh adalah prasyarat utama dari seluruh keberadaan, eksistensi. Ia pula yang membentuk pusat hakikat dan persepsi kita akan segala hal.”
Oleh karenanya, kita perlu dan harus memperlakukan tubuh dengan penuh martabat dan penghormatan. Kita harus mencegah dan menghentikan segala bentuk pelanggaran, pelecehan, dan eksploitasi atas tubuh. Tubuh para idol k-pop adalah milik mereka sendiri; tidak satu entitas pun di dunia ini yang dapat mengklaimnya.
Editor: Emma Amelia